Tribun Makassar
Bukan Cuma Isolasi Apung, FIT di Asrama Haji Juga Sepi Peminat, Apa yang Perlu Dibenahi?
Fasilitas Isolasi Terintegrasi (FIT) di Asrama Haji misalnya, hanya 74 peserta dari 1.500 tempat tidur yang disediakan.
Penulis: Siti Aminah | Editor: Hasriyani Latif
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Program isolasi di Provinsi Sulawesi Selatan sepi peminat.
Dari tiga program isolasi milik pemerintah, hanya 165 pesertanya.
Fasilitas Isolasi Terintegrasi (FIT) di Asrama Haji misalnya, hanya 74 peserta dari 1.500 tempat tidur yang disediakan.
Program ini dibuka pada 27 Juli 2021, artinya belum cukup sebulan beroperasi.
Selanjutnya, Pemprov Sulsel juga membuka FIT 2 di Gedung Badan Pengembangan SDM tepat di Jl AP Pettarani, Makassar pada awal Agustus.
Sebanyak 150 tempat tidur yang disediakan.
Kedua tempat isolasi ini layanannya hampir sama, mulai dari kursi, lemari, televisi, makanan tiga kali sehari pemberian obat atau suplemen, kontrol kesehatan hingga layanan laundry.
Bedanya, FIT 2 BPSDM menyediakan dokter spesialis kandungan, karena tempat isolasi ini juga menerima ibu hamil yang positif OTG.
Selain itu, Pemkot Makassar juga punya konsep lain untuk menampung masyarakat OTG, yakni lewat isolasi apung KM Umsini.
Kondisinya sama dengan program milik Pemprov Sulsel, juga tak diminati masyarakat.
Update terakhir pada Sabtu (21/8/2021) kemarin, jumlah peserta isolasi hanya 59 orang.
Padahal, kapasitas isolasi apung bisa mencapai 750 orang.
Sejauh ini, total warga yang telah mengikuti program ini sebanyak 184 orang.
Wali Kota Makassar Moh Ramdhan Pomanto mengonsep tempat isolasi tersebut ala rekreasi agar masyarakat nyaman. Tapi tingkat partisipasi masyarakat masih rendah.
Selain program isolasi milik pemerintah, ada juga tempat isolasi yang diprakarsai oleh dokter Hisbullah.
Yakni tempat isolasi di Balai Besar Pelatihan Kesahatan (BBPK) Antang Makassar berkapasitas 80 tempat tidur, dan isolasi di asrama mahasiswa Unhas 40 tempat tidur.
Menanggapi hal tersebut, Pakar Epidemiolog Sulsel, Ridwan Amiruddin mengatakan pemerintah perlu melakukan pembenahan terhadap program tersebut.
"Terkait FIT yang tersedia dengan tingkat hunian yang rendah itu perlu ditinjau ulang," ucap Ridwan Amiruddin kepada tribun-timur.com lewat sambungan telepon, Minggu (22/8/2021) siang.
Baik dari segi akses dan kenyamanan harus dievaluasi.
"Sudiang jauh, BBPK Antang jauh, isolasi apung lebih-lebih, ini yang membuat masyarakat memilih menjalani isolasi di rumah," ujar Ridwan.
Sementara, konsekuensi isolasi di rumah sangat tinggi.
Masyarakat susah untuk dikontrol, apalagi tempat tinggalnya tidak memenuhi syarat pelaksanan isoman.
"Bisa jadi mereka berinteraksi dengan orang di rumah tidak pakai masker, akhirnya penyebaran virus tidak ada hentinya," jelasnya.
Menurut guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unhas ini, sosialisasi dan edukasi perlu dimassifkan mengingat masyarakat banyak yang menolak mengikuti layanan isolasi tersebut.
"Selain evaluasi layanan dan akses, juga perlu edukasi massif dari pemerintah," tutupnya.(*)