Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Siapa Seniman Bikin Mural Mirip Jokowi 404: Not Found Diburu Polisi? Pakar Hukum Sebut Lebay

Banyak yang bertanya tanya, siapa sebenarnya sosok seniman yang berani bikin murah mirip presiden Jokowi bertajuk 404: Not Found.

Editor: Rasni
Humas Kementan
Siapa Sosok Seniman Bikin Mural Mirip Jokowi 404: Not Found Diburu Polisi? Pakar Hukum Sebut Lebay 

TRIBUN-TIMUR.COM - Banyak yang bertanya tanya, siapa sebenarnya sosok Seniman yang berani bikin murah mirip presiden Jokowi bertajuk 404:Not Found.

Kini si seniman dicari polisi anak buah jenderal Listyo Sigit Prabowo karena dianggap menyindir kepala negara.

Hal itu dikritik pedas oleh Pakar Hukum kenamaan dan disebut berlebihan alias lebay.

Sebekumnya viral seni murah 'Jokowi 404: Not Found' di Batuceper, Tangerang.

Aparat langsung bergerak menyelidiki kasus tersebut.

Sang seniman diburu polisi.

Menurut polisi didasari oleh pengertian bahwa presiden adalah lambang negara yang harus dihormati.

"Tetap diselidiki itu perbuatan siapa. Karena bagaimanapun itu kan lambang negara, harus dihormati," kata Kasubbag Humas Polres Tangerang Kota, Kompol Abdul Rachim, saat dihubungi wartawan, Jumat (13/8/2021) kemarin.

Dia menambahkan, tindakan pembuatan mural itu dianggap melecehkan Presiden Jokowi.

Untuk itu, Rachim mengatakan pihaknya akan terus bergerak dalam mengungkap pelaku.

"Banyak yang tanya tindakan aparat apa? Presiden itu Panglima Tertinggi TNI-Polri, itu lambang negara. Kalau kita sebagai orang Indonesia mau pimpinan negara digituin? Jangan dari sisi yang lain kalau orang punya jiwa nasionalis," terang Rachim.

Di sisi lain, Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menilai pernyataan Polri yang akan mengejar pembuat seni mural 'Jokowi 404: Not Found' di Tangerang, Banten, dinilai berlebihan alias lebay.

"Kalau polisi masih mengejar kecuali Presidennya sendiri lapor itu lebay," kata Fickar saat dikonfirmasi, Minggu (15/8/2021).

Ia menuturkan dalih Polri mengejar pembuat mural lantaran dianggap menghina lambang negara dinilai tidak relevan.

Menurutnya, presiden bukanlah bagian dari lambang negara.

"Lambang negara itu bukan Presiden, tetapi garuda pancasila. Jadi sebenarnya tidak relevan dan tidak konteks pasal tentang penghinaan terhadap presiden," ujarnya.

Dijelaskan Fickar, penerapan pasal penghinaan presiden juga dinilai tidak tepat.

Sebab sejarahnya, pasal itu merupakan peninggalan penjajahan Belanda.

"Karena (Indonesia) ini bukan negara kerajaan seperti Belanda. Pasal ini peninggalan penjajah Belanda yaitu penghinaan terhadap ratu karena Belanda memang negara kerajaan (monarchi) yang kepala negara atau rajanya baru berganti jika mati, sedangkan Indonesia itu negara demokrasi yang presiden atau kepala negaranya berganti lima tahun sekali," jelas dia.

Menurutnya, kasus tersebut baru bisa dilakukan penyelidikan jika presiden Jokowi selaku pihak yang digambarkan seni mural itu melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian.

Nantinya, kata Fickar, kasus itu tidak ditangani dengan pasal penghinaan presiden.

Sebaliknya jika Jokowi melapor ke polisi, kasus itu bisa dilaporkan dalam kasus pencemaran nama baik.

"Jadi tidak relevan penghinaan terhadap presiden kepala negara.

Kecuali menghina terhadap pribadi orangnya dan itupun orangnya yang harus mengadu.

Karena penghinaan atau pencemaran nama baik itu delik aduan atau kejahatan yang baru dapat diproses jika ada pengaduan dari korbannya langsung," tandas dia.

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved