Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Makassar Recover

Salah Urus Covid-19 di Sulsel, Program Lebay Hingga Komunikasi Kontraproduktif

Fakta membusuknya mayat di RSUD Daya Makassar adalah contoh kecil  betapa buruknya penanganan Covid di Sulsel.

Editor: AS Kambie
zoom-inlihat foto Salah Urus Covid-19 di Sulsel, Program Lebay Hingga Komunikasi Kontraproduktif
DOK
Mulawarman, Alumni Universitas Hasanuddin

Oleh: Mulawarman
Jurnalis dan Alumni FE Unhas

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Temuan mayat terinfeksi Covid sampai membusuk di RSUD Daya Makassar beberapa hari lalu seharusnya menjadi tamparan keras bagi Pemerintah Daerah.

Mayat yang tidak seberapa di rumah sakit saja tidak tertangani dengan baik, apalagi yang tidak terjangkau layanan kesehatan, seperti mereka yang sedang Isolasi mandiri di rumahnya.

Apabila tidak segera tertangani secara komprehensif dan terintegrasi, maka sektor kesehatan dan ekonomi di Makassar khususnya dan di  Sulsel pada umumnya akan terancam kolaps.

Apabila hal itu terjadi, maka kita semua akan merasakan kerugian dan penderitaan yang sangat memiriskan.

Ingat, pandemi ini belum mencapai puncaknya dan kemungkinan gelombang berikutnya akan bertambah parah seiring semakin ganasnya mutasi varian virus yang terus berkembang.

Fakta membusuknya mayat di RSUD Daya Makassar adalah contoh kecil  betapa buruknya penanganan Covid di Sulsel.

Alih-alih terkendali, kenaikan jumlah kasus harian dan naiknya angka kematian, menunjukkan tidak terkoordinasinya tugas antara stakeholders; khususnya antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota.

Rekor Tertinggi

Berdasarkan data Satgas Covid-19, Sulsel menjadi provinsi tertinggi kasus positifnya di luar Jawa dan Makassar sebagai episentrum Covid-19 di Sulsel.

Makasaar saat ini bahkan menjadi kota dengan penyumbang terbanyak kasus hariannya.

Per 29 Juli 2021, kasus barunya  menembus angka di atas 1.359 kasus. Bahkan pada 23 Juli sempat menembus angka tertinggi mencapai 1.286 kasus.

Tentu saja ini tamparan bagi Pemerintah Kota Makassar yang telah menganggarkan Rp370 miliar untuk program Makassar Recover (MR), dana jumbo yang telah dihamburkan tetapi hasilnya berbanding terbalik dengan perencanaannya.

Dengan jumlah kasus harian yang menembus angka ribuan, menempatkan Sulsel sebagai satu-satunya Provinsi di luar Jawa yang terbanyak kasus hariannya.

Total kasus hingga 28 Juli 2021, mencapai 80,004?yang positif, sembuh 69,617, dan meninggal 1261.

Peningkatan jumlah kasus harian ini sebetulnya tidak terlalu mengagetkan.

Sedari awal sudah banyak diingatkan baik oleh para ahli dari Unhas, termasuk epidemiolog senior maupun oleh pemerintah pusat agar waspada mengenai lonjakan kasus di Jawa dan Bali akibat serangan varian delta.

Tetapi masukan tersebut tidak digubris.

Alih-alih mendengar masukan dari para ahli epidemiologi, Pemkot Makassar justru melakukan program yang sangat kontroversil; mobilisasi ribuan satgas detektor door to door ke rumah warga tanpa dibekali APD standar dan pelatihan yang disyaratkan untuk menjadi tenaga tracer.

Mobilisasi ribuan orang inilah yang disesalkan banyak pihak, tetapi Danny Pomanto bergeming.

Pemkot Makassar tetap melanjutkan mobilisasi ribuan relawan dengan dalih melakukan pelacakan dan pendataan kondisi kesehatan warga Makassar.

Banyak yang menduga, akibat mobilisasi ribuan relawan di awal Juli itulah yang menjadi salah satu pemicu bertambahnya kasus harian Covid-19 di kota Makassar.

Berbagai kalangan sangat menyayangkan respon lambat bahkan tidak menggubris masukan para pakar dan ahli baik ke Pemkot Makassar maupun ke Pemprov Sulsel.

Akibatnya, Sulsel mengalami lonjakan kasus, di mana Makassar memiliki sebaran tertinggi.

Pemerintah daerah seakan tidak memahami bunyi alarm pandemi ini.

Cara penanganan kasus dan koordinasinya terkesan tidak belajar dari pengalaman pemimpin daerah lain yang daerahnya lebih awal  terserang Covid dengan varian delta.

DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur misalnya.

Pendekatan saintifik menjadi basis penanganan Covid di empat daerah ini. Mereka tidak melakukan tindakan coba-coba.

Mereka pun tidak asal berinovasi dengn mempertaruhkan nyawa warganya.

Di DKI Jakarta misalnya. Anies Baswedan bekerjasama dengan FKM Universitas Indonesia.

Ridwan Kamil di Jawa Barat bekerjasama dengan FKM Universitas Padjadjaran Bandung.

Demikian pula dengan Gandjar di Jawa Tengah dan Khofifa di Jawa Timur melakukan kerjasama dengan UGM dan Unair untuk memcegah meluasnya sebaran Covid-19 di Jogjakarta dan Surabaya.

Penanganan Covid di Sulsel sama sekali tidak berbasis saintifik, tetapi berbasis politik pencitraan.

Kebijakan Plt Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman, seperti tidak mau kalah dari program Danny Pomanto dalam pengadaan atau penyiapan tempat isolasi bagi pasien positif Covid-19 bergelaja ringan.

Plt Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman menyulap kamar Asrama Haji Sudiang bak hotel berbintang, untuk isolasi mandiri (Isoman) Covid. Program ini jelas berlebihan untuk tidak dikatakan lebay.

Sementara  Danny Pomanto, begitu bangga dengan program  Isolasi Apung Terpadu dengan menggunakan KM Umsini milik Pelni.

Pengadaan dua  tempat isoman bagi pasien Covid itu, jelas program gagah-gagahan Andi Sudirman dan Danny Pomanto, sporadis, tidak fokus bahkan berpotensi menghambur-hamburkan uang negara.

Dibanding fokus penanganan di hulu dengan menggencarkan vaksinasi dan mendisiplinkan prokes, sebagaimana permintaan pemerintah pusat dan masukan epidemolog dari Unhas,  Pemprov dan Pemkot malah memiih fokus penangan di hilir.

Hasilnya, penanganan Covid di Sulsel terlihat tidak terkordinasi dan terintegrasi dengan baik. Pemprov dan Pemkot Makassar bahkan terlihat berlomba melakukan pencitraan di tengah ancaman serangan varian delta yang sangat menakutkan. 

Kasus jenazah yang membusuk yang hendak dimakamkan oleh petugas dari Pemkot Makassar  karena alasan aturan, di mana  tak bisa masuk makam Covid-19 milik Pemprov Sulsel di Macanda Kabupaten Gowa, adalah bukti ketiadaan koordinasi antara Pemprov, Pemkab dan Pemkot serta buruknya kepemimpinan Andi Sudirman.

Pakar kepemimpinan dunia, John C Maxwell, menyebutkan bahwa kualitas kepemimpinan seseorang diuji saat mengelola krisis. Pandemi menunjukkan bahwa tidak hanya darurat kesehatan dan ekonomi yang kita alami, tetapi juga darurat dan krisis kepemimpinan.

Pemimpin yang hanya fokus penanganan di hilir, menunggu korban jatuh, jelas pilihan kurang tepat. Meski dengan kualitas pelayanan terbaik, tetap saja korban semakin banyak berjatuhan.

Sebagaimana diingat oleh WHO dan para ahli bahwa penanganan virus Covid ini kuncinya di Prokes ketat dan vaksinasi. Hindari kerumunan dan mobilisasi warga, jaga jarak, sering cuci tangan dan memakai masker adalah kunci mitigasi penularan.

Untuk itulah, seharusnya Pemda dan Pemprov mengintensifkan penanganan Covid-19 dari hulu hingga hilirnya.

Sulsel harus waspada. Apabila pemerintah daerah kewalahan menangani kasus perharinya, yang terjadi efeknya akan berantai.

Mulai dari kasus positif yang terus naik, tenaga nakes yang kelelahan, krisis layanan rumah sakit, dan ujungnya ekonomi masyarakat akan semakin melemah karena berlaku PPKM. Ini jelas mimpi buruk yang sangat tidak diinginkan.

Olehnya itu, pandemi ini harus dihadapi secara bersama-sama melalui koordinasi yang intensif dengan program yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Baik Plt Gubernur Andi Sudirman Sulaiman, Wali Kota  Makassar Danny Pomanto serta bupati dan wali kota lainnya di Sulsel harus menyatukan barisan dan menyiapkan program bersama yang saling terintegrasi.

Menjadikan pandemi sebagai ajang pencitraan dan menonjolkan diri hendaknya dihindari. Di masa darurat kesehatan seperti ini, langkah nyata berbasis saintifik jauh lebih bermanfaat ketimbang melakukan program  terobosan yang justru memboroskan anggaran dengan hasil yang spekulatif.

Sekali lagi, ini momentum untuk Kita bersatu padu dan menyatukan langkah penangan Covid-19 yang integratif antara pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota.

Komunikasi yang Positif

Satu hal yang urgen untuk disampaikan dalam situasi genting seperti ini, semua pihak harus menahan diri untuk tidak membuat narasi-narasi yang kontraproduktif; narasi yang membuat masyarakat merasa diancam dan ditakut-takuti.

Aparatur pemerintahan, tokoh agama dan tokoh masyarakat sudah seharusnya memberikan teladan dalam berperilaku dalam menghadapi pandemi ini.

Khususnya dalam berkomentar, baik langsung, maupun di media sosial.

Sungguh tidak elok bila perilaku itu justru muncul dari seorang pemimpin daerah. Sangat disayangkan.

Menuduh pihak-pihak tertentu yang selama ini banyak bicara dan memberi masukan kritis malah dianggap mereka tidak paham situasi adalah tindakan yang sangat ceroboh dan berlebihan.

Justru di masa darurat seperti ini, kritikan dan masukan dari semua kalangan wajib untuk didengarkan dan dipertimbangkan.

Faktanya, publik dapat menyaksikan secara jelas jumlah kasus positif yang terus naik pada satu sisi dan buruknya langkah penanganan dan mitigasi Covid 19 di sisi yang lain. Apa yang dapat dibanggakan dari dua hal ini.

Alih-alih menuduh orang yang beri saran, masukan dan kritik sebagai orang yang tidak paham dan sakit hati, lebih baik Walikota Makassar Danny Pomanto dan pemimpin daerah lainnya fokus menangani penyebaran wabah ini.

Sikap terbuka dan positif menerima berbagai masukan adalah lebih baik, dibandingkan mempertontonkan sikap reaktif, arogan dan anti-kritik.

Untuk itu dibutuhkan kerendahan hati dari para pemimpin, baik Pemprov Sulsel, Pemkot Makassar maupun Pemkab untuk mau mendengar masukan dan melibatkan peran barbagai pihak, mulai dari perguruan tinggi atau universitas, para ahli, tokoh masyarakat, wartawan, LSM yang secara aktif memberikan saran, masukan dan kritikan untuk perbaikan dalam pengendalian wabah ini.

Melihat kasus harian dan meningkatnya angka kematian serta membaca berita mayat pasien Covid terlantar membusuk di rumah sakit, sudah saatnya para pemimpin mau mendengarkan masukan dan berbagai pihak.

Pepatah Yunani mengatakan, "Nature has given us two ears, two eyes and but one tongue. To the end we should HEAR and see more than we speak". Artinya "Alam telah memberi kita dua telinga, dua mata, dan satu lidah. Sampai akhir kita harus mendengar dan melihat lebih dari yang kita ucapkan."(*)

Makassar, 29 Juli, 2021

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved