Nurdin Abdullah Ditangkap KPK
JPU KPK Anggap Pemberian CSR ke Nurdin Abdullah Merupakan Pemberian Pribadi
JPU KPK menilai jika pemberian CSR kepada terdakwa Gubernur Sulsel non-aktif, Nudin Abdullah (NA) merupakan pemberian pribadi
Penulis: Andi Muhammad Ikhsan WR | Editor: Suryana Anas
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menilai jika pemberian Corporate Social Responsibility (CSR) kepada terdakwa Gubernur Sulsel non-aktif, Nudin Abdullah (NA) merupakan pemberian pribadi.
Hal ini diungkap oleh JPU KPK Andry Lesmana, usai menjalani sidang pemeriksaan saksi NA selaku terdakwa penerima suap pembangunan infrastruktur, di Ruang Sidang Utama Prof Harifin A.Tumpa, Pengadilan Negeri Makassar, Kamis (28/7/2021) siang.
Pasalnya menurut Andry, CSR yang diserahkan oleh Petrus Yalim dan Thiawudy Wikarso diduga sarat kepentingan pribadi.
"Kalau kita lihat fakta persidangan, sebenarnya itu pemberian pribadi, bukan istilah CSR. Karena CSR kan pengeluaran dari perusahaan yang mengharuskan adanya proses dari keuntungan pertahunnya sekitar dua sampai tiga persen," ujar Andry.
Bahkan, kata Andry saat ditanyai, Petrus mengaku jika pemberian tersebut karena dia sudah mengenal NA
"Saksi Petrus juga menyatakan, pemberian itu karena memang ada nama NA. Tapi memang dia mengatakan niatnya untuk nyumbang, nyumbang mesjid, tapi kan kita tidak tahu sebenarnya, karena menilai niatnya benar atau tidak itu susah," jelasnya.
JPU Andry menduga, jika pemberian sumbangan tersebut sarat akan kepentingan pribadi Nurdin Abdullah.
"Kalau berdasarkan BAP, kami berpandangan seperti itu. Kita nanti lihat faktanya saat Syamsul Bahri menjadi saksi," katanya.
"Syamsul Bahri kan sebagai ajudan terdakwa, pasti ruang lingkupnya luas, tidak hanya terkait sumbangan pembangunan masjid," tutupnya.
Sekedar diketahui, Syamsul Bahri pernah dipanggil menjadi saksi saat sidang pemeriksaan saksi terdakwa Agung Sucipto, Kamis (3/6/2021) lalu.
Terungkap peran Syamsul Bahri dari fakta persidangan tersebut yaitu sebagai perantara beberapa kontraktor yang ingin menyerahkan uang ke NA.
Bahkan ada beberapa nama kontraktor yang diungkapnya pernah menyerahkan uang ke NA, yaitu Robert, Haeruddin, dan Ferry Tenriadi.
Sebelumnya diberitakan, NA didakwa dengan ancaman pidana dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001.
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Dan kedua, perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Dengan ancaman hukum minimal 4 tahun, dan maksimal 20 tahun, dengan denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.
Dilapis Pasal 5 angka 4 dan Pasal 5 angka 6 Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme jo Pasal 76 ayat (1) huruf a dan e Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam dakwaan yang dibacakan M. Asri, NA diduga menerima suap dari Anggu Rp 2,5 miliar dan 150 ribu Dollar Singapura (SGD) atau senilai Rp 1 miliar 590 juta (kurs Dollar Singapura Rp 10.644).
Selain itu Nurdin juga menerima dari kontraktor lain senilai Rp 6,5 miliar dan SGD 200 ribu atau senilai Rp 2,1 miliar (kurs Dollar Singapura Rp 10.644).
Laporam tribuntimur.com, AM Ikhsan