Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Kisah Pahlawan

Kisah Arief Rate, Pejuang Sulsel yang Dieksekusi Mati oleh Kawan Sendiri

Sebagian warga Makassar mungkin hanya mengenal Arief Rate sebagai nama jalan. Sosok Arief Rate ternyata adalah pejuang asal Sulsel yang terkenal gigih

Editor: Muh. Irham
int
Para pejuang Sulawesi Selatan dengan persenjataan seadanya saat melawan Belanda 

TRIBUN-TIMUR.COM - Di Kota Makassar, ada nama sebuah jalan yang terletak tak jauh dari Pantai Losari, yakni, Jl Arief Rate.

Bagi sebagian masyarakat Makassar, Arief Rate mungkin dikenal hanya sebagai nama jalan yang ramai kendaraan setiap hari.

Lalu siapa sebenarnya Arief Rate?

Dihimpun dari berbagai sumber, Arief Rate adalah salah satu tokoh perjuangan di Sulawesi Selatan.

Ia berjuang pada masa revolusi kemerdekaan di tahun 1940-an.

Arief Rate seangkatan dengan pejuang lainnya seperti Ranggong Daeng Romo, Andi Sose, Andi Mattalatta, Andi Abdullah Bau Massepe, Emmy Saelan, Wolter Monginsidi, dan beberapa tokoh perjuangan lainnya.

Perjuangan Arief Rate dalam mempertahankan kemerdekaan RI yang paling heroik tercatat terjadi pada 1 Januari 1949.

Dalam buku Tokoh di Balik Nama Jalan di Kota Makassar yang disusun Ahyar Anwar dan Aslan Abidin (2008), Arief Rate turut serta dalam perencanaan penyerangan tangsi-tangsi militer Belanda yang terletak di beberapa sudut Kota Makassar pada Sabtu 1 Januari 1949.

Penyerangan tersebut adalah aksi pembalasan setelah Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap oleh Belanda di Gedung Agung pada Agresi Militer II tanggal 18 Desember 1948.

Upaya gerilyawan tersebut juga mendapat bantuan dari Azis Taba, pemuda lokal yang bekerja di bidang pengangkutan Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL, Tentara Kerajaan Hindia Belanda).

Azis diminta membujuk anggota KNIL lainnya untuk bergabung dalam barisan perlawanan.

Awalnya, rencana berjalan mulus. Wolter Monginsidi, pejuang sekaligus tokoh berpengaruh di Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS), berhasil dibebaskan dari penjara yang terletak di Hoogepad (kini menjadi Jalan Ahmad Yani).

Akan tetapi, Belanda mengendus gelagat tak beres. Pembebasan Monginsidi bukanlah peristiwa biasa.

Mereka langsung mengerahkan pasukan untuk memadamkan perlawanan pemuda di sekitaran Makassar.

Terjadi kontak tembak di beberapa tempat, memecah keheningan akhir pekan.

Monginsidi tertangkap di Maricayya, hanya 12 jam setelah dibebaskan oleh para pejuang.

Perlawanan juga berhasil dipadamkan.

Beberapa pejuang, termasuk Arief, juga dipenjara.

Ia berhasil melarikan diri setelah menjadi orang kurungan selama beberapa pekan.

Namun, Monginsidi tetap mendekam dan dijatuhi vonis hukuman mati.

Arief kemudian bergabung dengan kesatuan gerilya pro-Republik pimpinan Letnan Kolonel Kahar Mudzakkar.

Kesatuan gerilya tersebut kemudian berubah nama menjadi Mobile Brigade Ratulangi (MBR) berkekuatan lima batalion.

Arief didapuk sebagai Komandan Batalion III yang bergerak di sekitar wilayah Bantaeng di selatan.

Keadaan berubah pada 27 Desember 1949. Kerajaan Belanda secara resmi mengakui kedaulatan Republik Indonesia, negara yang sudah mereka coba duduki selama empat tahun terakhir, melalui Konferensi Meja Bundar di Den Haag.

Keadaan memang mereda, namun riak konfrontasi di unsur militer malah menguat.

Mayjen Soeharto meminta para gerilyawan pro-Republik untuk masuk ke dalam APRIS, militer resmi yang diakui negara.

Akan tetapi, unit pimpinan Arief menolak.

Mereka ingin tetap menjadi unit militer independen yang bergerak di luar rantai komando.

Soeharto tak suka dengan sikap tersebut, namun enggan memperpanjang masalah.

Sejarawan Anhar Gonggong dalam Abdul Qohhar Mudzakar: Dari Patriot Hingga Pemberontak (1992) menulis bahwa banyak pejuang KGSS yang dinyatakan tidak layak masuk APRIS alias memenuhi persyaratan.

Sementara anggota KNIL, yang berjuang di sisi Belanda, bisa dengan mudahnya diterima sebagai prajurit APRIS.

Problem kian pelik pada Januari 1950. Eks KNIL di Makassar menolak mentah-mentah rencana pemerintah pusat mengirim personil APRIS ke Kota Daeng.

Mereka beralasan masih sanggup mengamankan Makassar dan Negara Indonesia Timur, nama negara bagian yang mencakup Sulawesi-Maluku-Nusa Tenggara sebagai implementasi KMB.

Namun ada pula anggapan penolakan eks KNIL didasari niat menancapkan pengaruh sebagai garda militer terdepan di Sulawesi Selatan.

Akhirnya pada tahun 1950, pertempuran antara pasukan APRIS dan eks KNIL pecah di Makassar. Pertempuran itu berlangsung dari April hingga awal Agustus 1950.

Di akhir-akhir konflik, kelompok MBR pimpinan Arief Rate akhirnya muncul setelah sekian lama bertahan di hutan.

Mereka berada di sisi APRIS. Namun, reaksi sesudahnya sangat tak terduga.

Dalam buku Suharto: A Political Biography (2001), Robert Edward Elson menyebut Arief beserta sejumlah petinggi MBR lain dieksekusi mati oleh Abdul Latief, seorang kapten dari Brigade Mataram yang turut serta dalam rombongan APRIS ke Makassar.

Misi TNI-APRIS memang tercapai. Perlawanan eks KNIL berhasil dipadamkan. Namun masih ada duri yang tersisa.

"Insiden tersebut memancing perasaan getir di benak penduduk Sulawesi Selatan terhadap orang-orang asal Jawa. Selain itu salah satu prinsip dasar Soeharto telah dilanggar (oleh eksekusi tersebut): tidak bertindak tergesa-gesa (dalam menyelesaikan masalah)," tulis Elson.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved