Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Nurdin Abdullah Ditangkap KPK

Andai Tak Ditangkap KPK, Nurdin Abdullah Sudah Punya Relawan Pilgub Sulsel & Peluang Menang Besar

Kesaksian Edy Rahmat sudutkan Nurdin Abdullah, Nurdin Abdullah ditangkap KPK disebut karena butuh uang untuk Pilkada dan biaya relawan

Editor: Mansur AM
net
Sosok Edy Rahmat Sekretaris PU Sulsel perantara suap dari Agung Sucipto ke Nurdin Abdullah. Di Pengadilan kemarin, Edy Rahmat blak-blakan uang suap Nurdin Abdullah untuk relawan dan Pilgub Sulsel 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Mantan Sekretaris Dinas PU Sulsel Edy Rahmat menyudutkan bekas atasannya Gubernur nonaktif Sulsel Nurdin Abdullah di pengadilan, kemarin.

Kepada majelis hakim, Edy Rahmat mengungkap bobrok Nurdin Abdullah.

Padahal sebelum kasus memalukan ini Nurdin Abdullah dikenal publik sebagai sosok jujur.

Edy Rahmat membeberkan di antaranya perintah Nurdin Abdullah menyuap BPK senilai Rp 300 juta.

Dan meminta uang kepada kontraktor untuk relawan dan Pilgub.

Berikut update kasus Nurdin Abdullah ditangkap KPK dirangkum tribun-timur.com:

Komisaris PT Karya Nugraha, Harry Syamsuddin mengakui jika dirinya pernah menyerahkan uang sebesar Rp 1 miliar 50 juta kepada Agung Sucipto selaku terdakwa kasus suap Nurdin Abdullah (NA).

Hal ini diungkapkannya saat menjadi saksi pada sidang pemeriksaan saksi keempat kasus Agung Sucipto, di Ruang Sidang Utama, Prof Harifin A Tumpa, Pengadilan Negeri Makassar, Kamis (17/6/2021).

Katanya, uang tersebut diserahkan saat dirinya meminta bantuan kepada Agung Sucipto, untuk dibantu memenangkan proyek pembangunan irigasi di Kabupaten Sinjai yang sumber dananya dari Pemprov Sulsel.

Harry menjelaskan, awalnya Agung Sucipto meminta uang sebesar Rp1,5 miliar.

Namun, Harry hanya menyanggupi Rp 1 miliar 50 juta.

"Saya itupun baru bisa dibayar bilang kalau kredit saya di Bank Mandiri Ratu Langi cair," ujar Harry saat menjawab pernyataan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Agung pun menyepakati angka tersebut, dan meminta agar juga Harry menyiapkan usulan proposal proyek irigasi tersebut.

"Saya tahu proyek itu dari berita online, tapi saya tidak tahu proposalnya di mana. Jadi saya perintahkan ke Pak Rahman (Direktur PT Karya Nugraha) untuk mencari proposalnya," jelasnya.

Lanjutnya, setelah usulan proposal proyek tersebut di dapatkan, maka Harry kemudian menyerahkan uang tersebut di Cafe Fireflies, Jalan Pattimura, pada 26 Februari 2021.

"Setelah uangnya cair, pak Rahman yang ambil. Jadi dia yang bawa itu uang sama proposalnya ke Fireflies," katanya.

Harry mengaku jika ia tidak melihat uang itu diserahkan.

"Uangnya diserahkan dari mobil ke mobil, saya di dalam bersama pak Anggu, jadi saya tidak lihat uangnya," sambungnya.

Saat ditanyai oleh JPU Ronald apa alasan Harry meminta bantuan kepada Agung Sucipto, hingga berani menyerahkan uang sebesar Rp1 miliar 50 juta.

Harry mengaku, jika Agung sempat menyebut beberapa nama pejabat di Provinsi yang bisa membantunya

"Apakah salah satunya adalah bapak Nurdin Abdullah," kata Ronald.

Hal ini dibenarkan oleh Harry, jika salah satu pejabat yang dimaksud bisa membantu adalah NA.

Sementara itu, Abd Rahman membenarkan kesaksian yang diberikan Harry.

Katanya, ia menyerahkan uang di dalam koper hijau kepada Nuryadi selaku sopir Agung Sucipto di tempat parkir Cage Fireflies.

"Setelah saya menyerahkan proposal proyek kepasa pak Agung, dia lalu menyuruh saya menyerahkan uang yang masih berada di dalam mobil saya, kepada sopirnya, untuk disimpan di jok belakang mobil sedannya," pungkasnya.

Diketahui, ada 7 saksi yang seharusnya hadir dalam sidang kali ini.

Namun, hanya 6 yang hadir, yaitu Sekertaris Dinas PUPR Provinsi Sulsel, Edy Rahmat, juga merupakan tersangka kasus suap NA, yang hadir melalui zoom di Rutan K4, Kuningan Gedung KPK

Sementara enam saksi lainnya, yaitu Harry Syamsuddin selaku Komisari PT Karya Nugraha, Abd. Rahman selaku Direktur PT Karya Nugraha, Irfandi selaku sopir Edy Rahmat, Hikmawati selaku istri Edy Rahmat, Mega Putra Pratama pekerja swasta.

Sementara sopir Agung Sucipto atas nama Nuryadi tidak hadir dalam sidang ini.

Pengakuan Edy Rahmat

Pengakuan Edy Rahmat di persidangan menyudutkan bekas bosnya Nurdin Abdullah.

Edy mengakui menerima uang dari Agung Sucipto atas perintah Nurdin Abdullah.

Katanya, uang Rp 1,5 miliar itu untuk uang relawan pilkada menghadapi Pilgub.

Sementara sisanya Rp 1.05 miliar untuk urusan proyek irigasi di Sinjai.

Edy mengakui mengakui menerima duit suap di Taman Macan Makassar pada Jumat (26/2), sekitar pukul 21.00 WITA.

“Waktu itu, uang yang totalnya Rp2,5 miliar itu saya terima dari Pak Agung Sucipto, di Taman Macan sekitar pukul 21.00 WITA,” ujar Edy Rahmat.

Ia mengatakan, uang dengan total Rp2,5 miliar itu berasal dari kontraktor Agung Sucipto sebanyak Rp1,5 miliar, dan Rp1,050 miliar berasal dari kontraktor lainnya Hari Samsuddin.

Edy menjelaskan, penyerahan uang tidak dilakukan di rumah jabatan gubernur, karena khawatir banyaknya kamera pemantau atau CCTV, sehingga memilih tempat penyerahan yang bebas dari kamera maupun suasana keramaian.

“Di rumah jabatan banyak CCTV, sehingga diputuskan di luar saja penyerahannya. Awalnya janjian di RM Nelayan dan saya tiba lebih dulu, kemudian Pak Agung yang mengendarai mobil sedan. Setelah sampai di rumah makan, saya kemudian naik mobil Pak Agung sampai tiba di dekat Taman Macan, sopir Pak Agung pindahkan koper dan ranselnya ke mobilku,” katanya.

Edy menerangkan, uang dari Hari Samsuddin yang merupakan pemilik dari perusahaan PT Purnama Karya Nugraha sebanyak Rp1,050 miliar diserahkan ke Agung Sucipto untuk dibantu dalam mendapatkan proyek irigasi di Kabupaten Sinjai.

Sedangkan uang sebanyak Rp1,5 miliar adalah uang tanda terima kasih yang sebelumnya ditagih oleh Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah melalui Sekretaris PUTR Edy Rahmat.

“Waktu itu sekitar dua pekan sebelum OTT, saya diperintahkan untuk menemui Pak Agung Sucipto agar bisa dibantu karena pilkada. Katanya uang untuk tim relawan dan
Pak Agung menyetujuinya,” katanya lagi.

Andai tak ditangkap KPK, Nurdin Abdullah adalah kandidat kuat di PIlgub Sulsel 2024 sebagai status petahana.

Di publik sebelum kasus ini mencuat, NA dikenal sosok yang jujur soal uang dan tidak main proyek.

Edy mengaku sejak dirinya diperintahkan oleh Nurdin Abdullah, baru sekitar tiga hari setelahnya berangkat ke Kabupaten Bulukumba untuk menyampaikan pesan tersebut, dan pada 25 Februari, dirinya disampaikan jika uang yang diminta telah siap dan penyerahan akan dilakukan sehari kemudian atau pada 26 Februari 2021.

Sidang dipimpin oleh Hakim Ketua Ibrahim Palino, didampingi dua Hakim Anggota, yaitu M. Yusuf Karim, dan Arif Agus Nindito.

Sementara ada tiga JPU yang hadir, yaitu Zainal Abidin, Ronald Worontikan, Andri Lesmana.

Agung Sucipto sendiri hadir melalui Zoom di Lapas Klas I Makassar, dengan di dampingi tiga penasehat hukumnya, yaitu, M. Nursal, Denny Kaliwang, dan Bambang.

Agung Sucipto di dakwa pasal berlapis, sebab dianggap telah melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor atau Pasal 5 ayat (1) huruf b. 

Kemudian dilapis atau dialternatifkan dengan pasal 13 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Sementara, Nurdin Abdullah dan Edy Rahmat selaku Sekertaris PUPR Provinsi Sulsel, diduga menerima suap dan gratifikasi dengan nilai total Rp 5,4 miliar. 

Alasannya, agar Agung Sucipto dipilih untuk menggarap proyek di Sulsel untuk tahun anggaran 2021.

Atas perbuatannya, Nurdin dan Edy dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (*)

Laporan tribuntimur.com, AM Ikhsan

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved