Hamas
Diserang Israel Pakai Jet Tempur, Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh Kirim Surat ke Jokowi Minta Bantuan
Diserang Israel pakai Jet Tempur, pemimpin Hamas Palestina Ismail Haniyeh kirim surat ke Jokowi minta bantuan
TRIBUN-TIMUR.COM - Tentara Israel terus menyerang Palestina di Jalur Gaza. Korban pun berjatuhan.
Akibat serangan militer Israel, lebih dari seratus korban jiwa warga Palestina tewas, termasuk anak-anak.
Di tengah serangan Israel, Pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh, menyurati Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Selasa (18/5/2021).
Diketahui, dalam suratnya, Haniyeh menjelaskan kepada Presiden Jokowi soal eskalasi kekerasan Israel di Palestina.
"Kami meminta Anda untuk bertindak segera, dan untuk memobilisasi dukungan Arab, Islam dan internasional, untuk mengambil posisi yang jelas dan tegas untuk mewajibkan pendudukan segera mengakhiri agresi dan teror yang dilakukan oleh pendudukan Israel terhadap Jalur Gaza yang terkepung," tulis Haniyeh dalam suratnya.
Dilansir Anadolu Agency, pimpinan Hamas ini mendorong diakhirinya kekerasan pendudukan Israel di Yerusalem.
Haniyeh menyoroti ancaman penggusuran warga Palestina di Sheikh Jarrah, dikriminasi rasial, hingga Yudaiisasi.
Indonesia diharapkan Haniyeh mampu menyatukan dukungan internasional untuk meminta Israel mundur dari Al Aqsa.
"Semoga Tuhan menjaga dan mengaruniakan kesuksesan, dan untuk persaudaraan Indonesia kemajuan lebih lanjut," kata Haniyeh.
Ini bukan kali pertama pemimpin Hamas itu surati Presiden Jokowi.
Pada 10 Mei lalu, Haniyeh meminta Jokowi mencari dukungan dan meminta umat Islam bersatu melawan kekerasan Israel selama Ramadan.
Update Korban Serangan Udara di Gaza
Hingga Rabu (19/5/2021), jet tempur Israel terus menghantam Jalur Gaza.
Bangunan pemukiman hancur dan empat warga Palestina termasuk seorang jurnalis meninggal dunia.
Serangan terbaru ini terjadi setelah Hamas meluncurkan lebih banyak roket ke wilayah Israel Selatan, namun tidak ada korban jiwa.
Berdasarkan laporan Al Jazeera pada Rabu, sedikitnya 219 termasuk 63 anak-anak Palestina meninggal dunia sejak awal penyerangan Israel pada 10 Mei lalu.
Sekitar 1.500 warga Palestina menderita luka-luka.
Di sisi lain, 12 warga Israel tewas termasuk dua anak dan 300 orang terluka.
Di hari ke-10 krisis ini, seruan gencatan senjata antara Israel dan Hamas belum membuahkan hasil.
Amerika Serikat memblokir PBB untuk melakukan pernyataan bersama diakhirinya konflik.
Sementara itu Prancis bekerja sama dengan Israel, Mesir, dan Yordania untuk resolusi gencatan senjata.
Times of Israel pada Selasa (18/5/2021) melaporkan bahwa militer Israel menjatuhkan 122 bom di Gaza selama 25 menit.
Bom itu ditargetkan untuk jaringan terowongan bawah tanah Hamas di Gaza, menurut jubir militer Hidai Zilberman.
Ketegangan Israel dan Palestina ini diawali dari beberapa insiden di Yerusalem Timur selama bulan suci Ramadan.
Gaza yang dikuasai Hamas bereaksi karena serangan Israel terhadap jamaah shalat di Masjid Al Aqsa dan ancaman penggusuran warga Palestina di Sheikh Jarrah.
Sejarah Perang Israel-Palestina
Saling Serang antara Israel dan Palestina hingga kini masih terus berlangsung.
Kedua negara telah saling melepaskan rudal hingga menyebabkan korban di kedua belah pihak.
Bahkan, akibat saling serang itu juga menelan korban tewas anak-anak.
Diketahui, konflik terbaru antara Israel dan Palestina bermula dari upaya Israel menggusur warga Palestina di Sheikh Jarrah, Yerussalem Timur.
Warga Palestina membalas upaya itu itu dengan unjuk rasa.
Aksi unjuk rasa direspons Israel dengan memasang blokade polisi dan melakukan pengusiran.
Ketegangan semakin meningkat pasca-kerusuhan yang terjadi di Masjid Al Aqsa, Jumat (7/5/2021) malam.
Saaat itu polisi Israel membubarkan warga Palestina yang tengah melaksanakan shalat tarawih.
Kemudian, pada Senin (10/5/2021), faksi Hamas di Jalur Gaza menembakkan roket ke arah Tel Aviv dan sejumlah wilayah Israel lainnya, sebagai respons atas tindakan Israel di Yerusalem.
Serangan roket Hamas itu dibalas Israel dengan membombardir Jalur Gaza menggunakan jet tempur, yang mengakibatkan kerusakan bangunan dan korban jiwa.
Akibatnya, 35 warga Palestina tewas di Jalur Gaza, dan ratusan lainnya terluka saat kerusuhan di Masjid Al Aqsa.
Sementara itu, Israel melaporkan lima warganya tewas akibat serangan roket yang dilancarkan Hamas.
Akibat konflik ini, negara-negara di dunia terbelah dua dalam menanggapi konflik terbaru antara Israel dan Palestina.
Bagaimana sebenarnya sejarah konflik Israel dan Palestina?
Dikutip dari Kompas.com yang mengutip history, segalanya bermula dari kelahiran gerakan zionis pada akhir abad XIX di kalangan Yahudi yang tinggal di wilayah Kekaisaran Rusia.
Pada waktu itu, kaum Yahudi di Kekaisaran Rusia mendambakan berdirinya sebuah negara Yahudi, di mana mereka bisa tinggal dengan damai tanpa persekusi.
Pada 1896, Theodor Herzl, seorang jurnalis Yahudi-Austria merilis pamflet berjudul "Negara Yahudi".
Menurut Theodor Herzl, berdirinya negara Yahudi adalah satu-satunya cara untuk melindungi kaum Yahudi dari persekusi dan anti-Semitisme.
Herzl kemudian menjadi pemimpin gerakan Zionisme dan menggelar Kongres Zionis pertama di Swiss pada 1897.
PERAN INGGRIS
Gerakan zionisme tidak langsung memilih Palestina sebagai tempat berdirinya negara Yahudi.
Sejumlah lokasi sempat dipertimbangkanseperti Uganda dan Argentina.
Namun, kaum Zionis akhirnya memilih Palestina berdasarkan keyakinan bahwa tanah tersebut adalah Tanah Suci yang dijanjikan bagi bangsa Yahudi oleh Tuhan.
Pasca-keruntuhan Kesultanan Ottoman (1914), Kerajaan Inggris mengambil alih kekuasaan atas tanah Palestina, sebagai bagian dari perjanjian Sykes-Picot (1916).
Perjanjian tersebut merupakan kesepakatan antara imperium Inggris dan Perancis, yang sepakat untuk membagi wilayah Timur Tengah berdasarkan kepentingan mereka.
Pada 1917, sebelum dimulainya Mandat Inggris (1920-1947) atas Palestina, Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour.
Melalui deklarasi tersebut, Inggris berjanji akan memberikan sebuah "rumah" bagi kaum Yahudi di tanah Palestina.
Mulai 1919, dengan dibantu Inggris, gelombang demi gelombang imigran Yahudi mulai memasuki tanah Palestina.
Antara 1922 dan 1935, populasi Yahudi di Palestina meningkat dari semula 9 persen menjadi hampir 27 persen dari total populasi.
Sebelumnya, pada 1880 sudah ada komunitas Yahudi yang tinggal di Palestina.
Mereka dikenal dengan sebutan Yishnuv dan menyumbang tiga persen dari total populasi Palestina.
Berkebalikan dengan kaum Yahudi Zionis yang masuk ke Palestina, kaum Yahudi Yishnuv tidak pernah menginginkan berdirinya negara Yahudi di Palestina.
EFEK KEGANASAN HITLER
Di sisi lain, jumlah imigran Yahudi yang memasuki Palestina kian bertambah, setelah Nazi pimpinan Adolf Hitler mengambil alih Jerman dan memulai kebijakan anti-Semitisme.
Antara 1933 dan 1936, sekitar 30.000 hingga 60.000 kaum Yahudi Eropa tercatat memasuki Palestina.
Terus bertambahnya kaum Yahudi yang memasuki Palestina, membuat warga Palestina pada tahun 1936 melancarkan pemberontakan terhadap Inggris yang mendukung terciptanya koloni Zionis di Tanah Air mereka.
Pemberontakan pertama terjadi di Timur Tengah Inggris menghancurkan pemberontakan yang berlangsung hingga 1939 itu.
Mereka menghancurkan sedikitnya 2.000 rumah warga Palestina, dan memasukkan 9.000 warga Palestina ke kamp konsentrasi, di mana mereka diinterogasi dan disiksa.
Pada akhir pemberontakan itu, sedikitnya 10 persen populasi pria Palestina telah terbunuh, terluka, diasingkan, atau dipenjara.
INGGRIS MENYERAH
Pasca-pemberontakan itu, pemerintah Inggris, khawatir akan meletusnya kekerasan antara Palestina dan Zionis.
Inggris kemudian mencoba membatasi imigrasi kaum Yahudi Eropa menuju Palestina.
Pada 1944, beberapa kelompok bersenjata Zionis menyatakan perang terhadap Inggris karena mencoba membatasi imigrasi Yahudi ke Palestina, sedangkan saat itu kaum Yahudi tengah mencoba melarikan diri dari Holocaust.
Organisasi paramiliter Zionis melancarkan sejumlah serangan terhadap Inggris. S
Serangan paling terkenal adalah pemboman King David Hotel pada 1946, yang menewaskan 91 orang.
Pada awal 1947, pemerintah Inggris akhirnya mengakui bahwa mereka telah melakukan kesalahan dalam menangani permasalahan di Palestina.
Inggris kemudian menyerahkan masalah Palestina kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan mengakhiri proyek kolonialnya di sana.
Pada 29 November 1947, PBB mengadopsi Resolusi 181, yang merekomendasikan pembagian Palestina menjadi dua negara, yakni negara Yahudi dan Palestina.
Saat itu, kaum Yahudi di Palestina merupakan sepertiga dari populasi dan memiliki kurang dari enam persen dari total luas tanah.
Namun, di bawah rencana pembagian PBB, mereka dialokasikan 55 persen dari tanah, meliputi banyak kota utama dan garis pantai penting dari Haifa ke Jaffa.
Pembagian yang tidak seimbang itu membuat bangsa Palestina menolak proposal dari PBB.
Tidak lama setelah pengadopsian Resolusi 181 oleh PBB, pecah perang antara bangsa Palestina dengan kaum Zionis Israel.
NEGARA ISRAEL BERDIRI
Melansir History via kompas.com, pada 14 Mei 1948, di Tel Aviv, Ketua Badan Yahudi David Ben-Gurion memproklamasikan berdirinya Negara Israel.
Dalam proklamasi itu, Ben-Gurion juga menjadi perdana menteri pertama Israel.
Pada saat bersamaan, gemuruh senjata terdengar dari pertempuran yang pecah antara Zionis Israel dengan bangsa Palestina yang dibantu negara-negara Arab.
Menyusul proklamasi itu, gabungan negara-negara Arab mulai dari Mesir, Yordania, Suriah, Lebanon, dan Irak, menggempur Zionis Israel.
Meski demikian, pasukan paramiliter Zionis Israel yang telah dilatih oleh militer Inggris, serta berpartisipasi dalam Perang Dunia II, mampu membuktikan ketangguhannya.
Pada 1949, gencatan senjata yang ditengahi oleh PBB membuat Negara Israel memiliki kendali permanen atas wilayah yang ditaklukkan itu.
Selama perang, ratusan ribu bangsa Palestina meninggalkan Tanah Air mereka karena upaya pembersihan etnis yang dilakukan kaum Zionis Israel.
Dalam upaya merebut kembali Palestina, pada 1967, gabungan negara-negara Arab kembali menyerang Israel.
Namun, dalam perang yang terkenal dengan sebutan Perang Enam Hari itu, Israel justru berhasil memperluas wilayahnya dengan mencaplok wilayah Yordania, Mesir, Suriah, Kota Tua Yerusalem, Semenanjung Sinai, Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Dataran Tinggi Golan.
Pada 1979, Israel dan Mesir menandatangani perjanjian perdamaian bersejarah, di mana Israel mengembalikan Sinai dengan imbalan pengakuan dan perdamaian Mesir.
Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) kemudian menandatangani perjanjian perdamaian besar pada tahun 1993, yang menyepakati berdirinya pemerintahan Palestina secara bertahap di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Namun, proses perdamaian Israel-Palestina berjalan lambat, dan pada tahun 2000 hingga sekarang, pertempuran demi pertempuran terus terjadi di Palestina.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)