Inspirasi Ramadan Hamdan Juhannis
Bumi Kebermaknaan (28): Perbedaan Kita dengan Anak-anak Kita
Gerakan paling melelahkan hanya tersenyum sendiri atau kecapekan menatap gadget atau kecapean menindis huruf-huruf kecil di HP mereka.
Bumi Kebermaknaan (28)
Oleh: Hamdan Juhannis
Rektor UIN Alauddin Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Apa yang paling berbeda antara Anda sebagai orangtua dengan anak-anak Anda sekarang?
Tentu banyak yang berbeda. Kita lahir dan tumbuh di zaman berbeda, atau mungkin di tempat yang berbeda.
Kita diperkenalkan dengan dunia yang sudah berbeda.
Pada coretan ini, saya ingin mengurut beberapa perbedaan yang membuat kita bisa memahami mengapa kehidupan kita dengan anak-anak kita sering terjadi gap atau kesenjangan, meskipun hidup dalam satu keluarga.
Pertama dan yang paling ringan, dari cara bermain tebak-tebakan sudah berbeda.
Kita sering mengajukan tebak-tebakan yang terukur dan bisa dipahami kalau kita pelajari.
Tebak-tebakan kita masih selalu bermain di wilayah kesopanan.
Namun anak-anak sekarang tebak-tebakannya, nyaris tidak bisa dijawab kalau tidak pernah didengar, polanya bebas dan menggunakan logika liar.
Contoh: Tebak-tebakan kita dulu, "Mana lebih tinggi, Gunung Puncak Jaya atau Gunung Kerinci?"
Kalau kita belajar dari Buku Rangkuman Pengetahuan Umum, pasti kita tahu jawabannya.
Coba simak, tebak-tebakan anak sekarang, "Kenapa di rel kereta api ditaruh batu?"
Jawabannya, "Kalau ditaruh duit, pasti diambil orang."
Contoh lainnya, "Saat kamu berjalan dengan temanmu berlima, cuaca mendung. Kamu hanya membawa satu payung. Bagaimana caranya supaya kamu berlima tidak kena hujan?"
Jawabannya, "Jalan saja terus karena baru juga mendung."
Perbedaan orangtua dengan anak- anak kita sekarang adalah persepsi tentang ruang sosialisasi dan ruang bermain.
Dulu kita menggunakan medan luas untuk bermain.
Kita bermain di sawah setelah panen, di sungai belakang rumah, atau di antara kolong rumah panggung.
Bau keringat adalah bumbu permainan dinamis kita.
Permainan kita memanfaatkan kekayaan alam yang ada.
Kita juga mengandalkan pertemuan fisik untuk bersosialisasi.
Tidak sah atau tidak sopan kalau ingin menyampaikan sesuatu tapi tidak bertemu.
Sementara anak-anak kita cukup memanfaatkan ruang sempit, sepanjang ada tempat charger, quota, dan signal yang menjadi 3 kebutuhan pokoknya.
Mereka tidak perlu bergerak banyak untuk mengenal banyak orang.
Mereka tidak pernah berkeringat saat bermain.
Gerakan paling melelahkan hanya tersenyum sendiri atau kecapekan menatap gadget atau kecapean menindis huruf-huruf kecil di HP mereka.
Perbedaan paling mendasar lainnya adalah cara pandang kita terhadap esensi aset.
Dalam hidup kita butuh aset.
Aset mengindikasikan kekayaan kita.
Bisa juga menunjukkan hasil jerih payah kita atau keberuntungan karena misalnya dapat banyak warisan.
Orangtua memAndang aset itu lebih kepada materi baik yang bergerak maupun yang diam; sawah, rumah, tanah kapling, atau deposito, mobil atau mini market.
Namun coba tanya anak-anaknya di dekatnya sekarang.
Betulkah mereka memikirkan hal yang sama?
Saya khawatir mereka menabung karena ingin pergi ke Korea, ingin melihat tempat yang sering dikunjungi oleh personil BTS.
Mereka mengumpulkan uang karena ingin mengikuti sebuah konser penyanyi pujaannya, atau ingin mencoba kuliner di sebuah tempat eksotik.
Mereka mengumpulkan uang karena ingin membeli alat teknologi yang mempermudah mereka berselancar.
Artinya: anak-anak sekarang aset itu adalah mindset.
Aset itu bukanlah kumpulan materi kehidupan tetapi yang utama adalah pengalaman hidup.
Aset materi kita terlegitimasi dengan sertifikat hak milik.
Aset mereka tersahkan lewat postingan di media sosial.
Dari perbedaan ini dari sisi relasi antar generasi, siapa yang bisa mempengaruhi untuk diikuti dengan dunia yang berubah?
Siapa yang lebih menjanjikan kebermanfaatan?
Dan yang tidak kalah pentingnya, siapa menurut Anda yang lebih bahagia, Anda atau anak-anak Anda?(*)