Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Tribun Makassar

Tiga Pemenang Pilkada 2020 Pindah Partai, Pengamat: Fenomena Pragmatisme Politik

Pengamat politik Universitas Islam Negeri Alauddin, Firdaus Muhammad menilai keputusan kepala daerah berpindah partai adalah fenomena pragmatisme

Penulis: Ari Maryadi | Editor: Sudirman
ist
Pengamat politik Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Firdaus Muhammad (kiri) dan pengamat politik Universitas Bosowa Arief Wicaksono 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR -- Pengamat politik Universitas Islam Negeri Alauddin, Firdaus Muhammad menilai keputusan kepala daerah berpindah partai adalah fenomena pragmatisme politik.

Tiga pemenang pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020 berpindah partai sebelum dilantik.

Ketiganya antara lain Bupati Toraja Utara terpilih Yohannis Bassang, Wakil Bupati Maros terpilih Suhartina Bohari, serta Wakil Bupati Selayar Saiful Arief.

Yohannis Bassang dan Saiful Arief awalnya adalah kader Partai Demokrat. Namun mereka memutuskan bergabung ke Partai Golkar.

Sedangkan Suhartina Bohari awalnya kader Partai Amanat Nasional, lalu bergabung jadi kader Partai Golkar.

"Ini fenomena pragmatisme politik," kata Firdaus kepada Tribun Timur, Rabu (24/2/2021).

Firdaus menilai, pejabat terpilih memiliki hak untuk mencari partai yang sesuai keinginannya. 

Menurutnya ada sejumlah kemungkinan atas perpindahan partai politik kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut.

Pertama bisa saja kepala daerah atau wakil kepala daerah itu tidak nyaman dengan partai politik mereka.

Kemungkinan kedua, tidak menjanjikan dengan partai yang pengusungnya, atau ada godaan politik yang lebih menjanjikan. 

"Hal itu terjadi karena tidak ada keterikatan kader dengan partainya, dengan mudah hengkang dari partainya. Ini persoalan etika politik yang acapkali terabaikan karena alasan pragmatis," kata Firdaus.

Sementara pengamat politik Universitas Bosowa, Arief Wicaksono menilai, sikap kepala dan wakil kepala daerah berpindah partai adalah celah dalam sistem kepartaian di Indonesia.

"Saya pikir itulah celah, kalau tidak mau dikatakan lubang, dalam sistem kepartaian kita," katanya saat dihubungi Tribun Timur, Rabu (24/2/2021).

Arief Wicaksono meyakini fenomena tersebut akan terjadi terus sebagai konsekuensi keterbukaan partai politik terhadap figur-figur tertentu, yang kebetulan bukan kader.

Ia menjelaskan, praktik "catch-all" semacam itulah yang kemudian banyak menggembosi partai politik karena terlalu besar porsi bagi rasionalitas dan pragmatisme. 

"Nanti akhirnya sudah bisa ditebak, kader di partai tujuan akan membentuk faksionalisasi internal karena ada figur baru," bebernya.

"Dan faksionalisasi itulah yang kemudian melemahkan posisi dan bahkan tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik," tandas Arief Wicaksono

Laporan Kontributor TribunMakassar.com @bungari95

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved