Apa Itu Naturalisasi dan Normalisasi? Istilah yang Buat Anies Baswedan Keliru Tangani Banjir Jakarta
Banjir Jakarta dinilai terjadi akibat pemahaman keliru Gubernur Anies Baswedan, apa itu naturalisasi dan normalisasi ?
TRIBUN-TIMUR.COM - Banjir parah disejumlah titik menggenangi wilayah DKI Jakarta pada Sabtu (20/2/2021).
Akibatnya saat ini Pemprov DKI Jakarta disoroti kinerjanya dengan cara normalisasi dan naturalisasi yang pernah digunakan Gubernur Anies Baswedan di awal-awal dia menjabat.
Lantas apa itu naturalisasi dan normalisasi ?
Sebelumnya banjir parah yang terjadi di DKI Jakarta kembali menjadi sorotan beberapa hari terakhir.
Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti Nirwono Yoga kepada Jurnalis KompasTV Ihsan Sitorus, Minggu (21/2/2021), menjelaskan Pemprov DKI Jakarta sekarang memiliki pekerjaan rumah (PR) untuk menghentikan banjir di Jakarta.
PR-nya adalah membenahi empat sungai dari 13 sungai yang mengalir di Jakarta. Karena banjir yang menggenangi Kota Jakarta beberapa hari ini merupakan banjir kiriman.
Sungai yang patut dibenahi adalah, Kali Ciliwung, Kali Pesanggrahan, Kali Angke, dan Kali Sunter.
"Kita harapkan pada tahun 2022, minimal secara bertahap, sudah dilakukan pembenahan empat sungai dari 13 sungai utama di DKI," kata Nirwono.
Pembenahan empat sungai itu karena banjir yang terjadi di Jakarta merupakan banjir kiriman. "Yang terdampak berat pemukiman di sekitar kali dan bantaran kali," ucapnya.
Nirwono berharap Pemprov DKI Jakarta melakukan pembenahan di empat sungai tersebut sesuai kesepakatan dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR), entah itu dengan pendekatan naturalisasi atau normallisasi, atau kombinasi keduanya.
Dalam pembenahan empat sungai ini, Nirwono menekankan pentingnya pelebaran sungai yang telah disepakati, yakni 7,5 meter di setiap sisinya.
"7,5 meter kiri-kanan. Kemudian dikeruk dan ditata kiri-kanannya dengan kombinasi pendekatan naturalisasi dan normalisasi yang dilakukan secara bertahap," tuturnya.
Baca Juga: Hasto Ungkap, Menteri PU Marah-Marah karena Susah Kerja Sama dengan Anies Tangani Banjir Jakarta
Namun pembenahan empat sungai itu baru PR pertama.
PR kedua adalah melakukan pembenahan drainase. Perlu ada rehabilitasi besar-besaran seluruh drainase yang ada sekarang. Pembenahan drainase dilakukan secara bertahap.
"Dengan adanya banjir kiriman, kita bisa bandingkan dengan awal tahun lalu, yang diperburuk sistem drainase. Yang berfungsi secara teknis hanya 33 persen, dan hanya menampung intensitas hujan 100 mm per hari," papar Nirwono.
PR ketiga yang tak kalah penting adalah, pembenahan kawasan pesisir. Pembenahan ini untuk mengantisipasi adanya banjir rob yang sering terjadi setiap air laut mengalami pasang.
"Tiga hal tadi PR Pemprov DKI ke depan," tutup Nirwono.
Apa Itu Naturalisasi dan Normalisasi
Dikutip dari artikel Kompas.com dengan judul Normalisasi dan Naturalisasi Sungai, Apa Bedanya? pada 2018 lalu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menggunakan istilah naturalisasi sungai untuk program mengembalikan lebar sungai di Jakarta dalam mencegah dan mengatasi banjir.
Istilah pada masa pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, termasuk pada era Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, untuk tujuan yang sama adalah normalisasi sungai.
Wakil Anies, yaitu Sandiaga Uno, juga masih menggunakan istilah normalisasi saat menyampaikan langkah Pemprov DKI dalam mengatasi banjir akibat makin sempitnya daerah aliran sungai, entah karena diokupasi warga atau pendangkalan alami.
Kala itu Pengamat tata kota Universitas Trisakti, Nirwono Joga, menjelaskan, normalisasi dalam pengertian yang telah direalisasikan oleh Pemprov DKI adalah melakukan pelebaran sungai dengan memindahkan masyarakat sekitar. Pinggiran sungai dilakukan betonisasi.
Nirwono mengatakan, pengertian normalisasi yang telah dijalankan Pemprov DKI merupakan hal keliru. Soalnya, normalisasi dalam arti sebenarnya yaitu mengembalikan bentuk sungai sesuai dengan peruntukan serta bentuk awalnya.
Normalisasi mestinya mengikuti bentuk sungai, bukan menjadikan sebagai sungai yang lurus dan pinggir sungai dibeton seperti saat ini.
"Tujuan awal normalisasi ini mengembalikan bentuk sungai sesuai dengan peruntukan awal, itulah disebut dinormalkan, tetapi dalam praktiknya salah," ujar Nirwono kepada Kompas.com, Kamis (8/2/2018).
"Nah salahnya itu yang sekarang dilakukan Pemprov DKI dan BWSCC itu dalam bentuk sungainya cenderung diluruskan, dirapikan, dan dibetonisasi," kata Nirwono.
Nirwono mengatakan, normalisasi yang telah dilakukan Pemprov DKI sebenarnya akan menimbulkan sejumlah dampak buruk pada masa depan.
Normalisasi dengan betonisasi dan meluruskan bentuk sungai akan membuat aliran sungai semakin cepat.
Bentuk sungai yang berkelok sesungguhnya bisa memperlambat laju aliran sungai. Dengan sungai diluruskan, daya dorong air akan semakin besar sehingga terdampak di sisi hilir.
Tingginya kecepatan aliran air akan membawa lumpur dan sedimentasi yang cukup banyak.
Akibatnya, sungai akan cenderung cepat mendangkal. Betonisasi juga akan mengakibatkan kerusakan lingkungan.
Nirwono menjelaskan, pengertian naturalisasi sendiri merupakan penataan bantaran sungai yang lebih ramah lingkungan.
Konsep naturalisasi memperlebar sungai dengan mengikuti bentuk alur sungai.
Berbeda dari konsep normalisasi dengan betonisasi, naturalisasi memanfaatkan ekosistem hijau di mana di pinggiran sungai ditanamani pohon. Konsep penataan naturalisasi selain bertujuan menjaga ekosistem yang ada di pinggir sungai tetap hidup, juga menjadikan pinggiran sungai bisa menyerap air.
"Nah dengan kelokan tadi, kecepatan air semakin pelan, jalur hijau dan air diserap. Dia punya kecepatan untuk diserap kembali di kiri dan kanan sungai, jadi secara alami air masuk ke dalam tanah," kata Nirwono
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dan Kompas TV