Sosok Chairuddin Ismail Kapolri yang Dicopot Megawati, Putra Sulsel yang Ditolak 102 Jenderal
Sosok Jenderal Chairuddin Ismail Kapolri yang dicopot Megawati, putra Sulsel yang ditolak 102 jenderal.
23 September 2000 - 21 Juli 2001
17. Jenderal Polisi Chairuddin Ismail
2 Juni 2001 - 7 Agustus 2001
18. Jenderal Polisi Da'i Bachtiar
29 November 2001 - 7 Juli 2005
19. Jenderal Polisi Sutanto
8 Juli 2005 - 30 September 2008
20. Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri
1 Oktober 2008 - 22 Oktober 2010
21. Jenderal Polisi Timur Pradopo
22 Oktober 2010 - 25 Oktober 2013
22. Jenderal Polisi Sutarman
25 Oktober 2013 - 16 Januari 2015
23. Jenderal Polisi Badrodin Haiti
17 April 2015 - 14 Juli 2016
24. Jenderal Polisi Tito Karnavian
14 Juli 2016 - 23 Oktober 2019
25. Jenderal Polisi Idham Aziz
1 November 2019 – 26 Januari 2021
26. Jenderal Listyo Sigit Prabowo
27 Januari 2021 – sekarang
Jenderal Chairuddin Ismail putra Sulsel
Ada yang menyebut jika Jenderal Listyo Sigit Prabowo merupakan Kapolri ke-25, namun ada pula yang menyebut ke-26.
Kok bisa?
Hal ini terjadi sebab ada Kapolri sebelumnya yang antara diakui dan tidak diakui.
Siapa Kapolri itu?
Dialah Jenderal Polisi (Purn) Chairuddin Ismail, Kapolri yang hanya beberapa menjabat.
Chairuddin Ismail memecahkan rekor sebagai putra Sulawesi Selatan ( Sulsel ) pertama yang menjabat Kapolri.
Sebenarnya, Chairuddin Ismail menjadi Kapolri "aji mumpung", menggantikan Jenderal Polisi (Purn) Surojo Bimantoro.

Begini ceritanya.
Pada masa kepemimpinan Surojo Bimantoro terjadi polemik kekisruhan di tubuh Polri.
Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan para pendukungnya memang belakangan sukses membujuk parlemen agar menerima pengangkatan Surojo Bimantoro, meski dengan syarat.
Tetapi belakangan, muncul ironi baru: Presiden mengulangi kekeliruan dengan "memecat" Surojo Bimantoro dan mengangkat Chairuddin Ismail tanpa persetujuan parlemen.
Kemudian situasi berbalik, Surojo B Bimantoro menjadi salah satu pion DPR dalam perang politiknya melawan Presiden.
Bagaimanapun, masa bulan madu antara Surojo Bimantoro dan Presiden memang hanya sebentar.
Baru satu bulan menjadi Kapolri, Surojo Bimantoro sudah berseberangan pikiran dengan Presiden.
Mereka berbeda dalam penanganan gerakan Papua Merdeka.
Presiden Abdurrahman memperbolehkan pengibaran Bintang Kejora, simbol Organisasi Papua Merdeka, sedangkan Surojo Bimantoro tegas tidak menoleransinya.
Perbedaan pendapat itulah yang menurut Kepala Badan Hubungan Masyarakat Mabes Polri menjadi awal mula kerenggangan hubungan antara Polri dan Istana.
Hubungan baik tidak dapat diraih, keretakan semakin bertambah, dan Surojo Bimantoro semakin tidak populer di mata Presiden.

Kasus penangkapan dua eksekutif perusahaan asuransi berkebangsaan Kanada yang diduga terlibat dalam pembelian saham ganda menjalar menjadi persoalan diplomatik Indonesia-Kanada.
Lewat Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, Presiden gagal menghentikan persoalan ini di polisi.
Penuntutan kasus itu baru bisa dihentikan setelah Jaksa Agung Marzuki Darusman ikut turun tangan.
Seiring dengan memanasnya suhu politik nasional, ketika DPR menelorkan Memorandum II pada Mei lalu, lagi-lagi polisi dituding tidak bersikap adil oleh Presiden.
Polisi, misalnya, dituding terlalu ketat melakukan razia terhadap para pendukung Presiden yang hadir ke Jakarta untuk mengikuti "doa politik" mempertahankan Presiden Abdurrahman Wahid, sementara mereka membiarkan demonstran yang membawa pedang ke Istana.
Puncak ketegangan hubungan Presiden dengan Kapolri terjadi menyusul penanganan demonstrasi para pendukung Abdurrahman Wahid di Pasuruan, Jawa Timur, Juni lalu.
Dalam insiden itu, jatuh satu pendukung Presiden, tewas diterjang peluru aparat.
Presiden marah besar.
Ia menuduh polisi tidak proporsional menembak orang yang, kata dia, sedang berada di warung makan.
Pada awal Juni itu, hampir bersamaan waktu dengan pergantian lima menteri dan Jaksa Agung, Presiden meminta Surojo Bimantoro mengundurkan diri.
Namun, Surojo Bimantoro menolak.
Pada tanggal 2 Juni 2001, Presiden melantik Inspektur Jenderal Chairuddin Ismail sebagai Wakil Kapolri.
Yang menarik, jabatan Wakil Kapolri ini sebenarnya telah dihapuskan oleh Presiden sendiri melalui Keppres Nomor 54 Tahun 2001 tertanggal 1 April 2001.
Kasus ini telah memuncakkan dualisme dalam tubuh kepolisian dan perseteruan Presiden dengan parlemen.
Pengangkatan Chairuddin Ismail memunculkan penolakan 102 jenderal polisi yang tidak menghendaki ada politisasi di tubuh Polri.
Masalah Polri ini semakin berlarut-larut.
Bertepatan dengan peringatan Hari Bhayangkara, 1 Juli, Presiden mengumumkan pemberhentian Kapolri nonaktif Surojo Bimantoro, dan akan menugasi mantan Asisten Operasi Mabes Polri itu sebagai Duta Besar RI di Malaysia.
Beberapa jam kemudian, lagi-lagi Surojo Bimantoro menolak.
Situasi Mabes Polri semakin panas, apalagi muncul pernyataan sikap para perwira menengah Polri, meminta Surojo Bimantoro ikhlas mundur, ditambah lagi berita akan ditangkapnya Surojo Bimantoro karena dianggap telah membangkang terhadap perintah Presiden.
Surojo Bimantoro tidak goyah, dan memaksa Presiden melakukan langkah lebih dramatis.
Pada tanggal 20 Juli 2001, dia melantik Chairuddin Ismail resmi sebagai Pejabat Sementara Kapolri, meski dengan bayaran yang mahal.
Pelantikan itu memicu krisis politik baru: DPR meminta MPR segera menyelenggarakan sidang istimewa, meski Presiden mengangkat Chairuddin Ismail hanya sebagai Pejabat Sementara Kapolri dengan pangkat jenderal penuh bintang empat.
Setelah Presiden Megawati Soekarnoputri dilantik, Chairuddin Ismail dicopot dari jabatannya.
Kini, Chairuddin Ismail menjadi politisi dengan menduduki jabatan sebagai Ketua Dewan Kehormatan Partai Hanura.
Chairuddin Ismail yang lahir di Wajo, 73 tahun lalu, dikenal dekat dengan mantan Panglima ABRI, Wiranto dan mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla.(*)