Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Tribun Sidrap

Karena Status IG Stories 'Penjahat Tangkap Penjahat', FDJ Cantik Ditangkap Anak Buah Jenderal Idham

Gara Status IG Stories 'Penjahat Tangkap Penjahat', FDJ Parepare ditangkap kasus Ujaran Kebencian Dj Sidrap dan Hina Polisi

Editor: Mansur AM
instagram
FDJ Parepare, Eghy Morena, ditangkap di Sidrap karena hina institusi Jenderal Idham Azis 

Gara Status IG Stories 'Penjahat Tangkap Penjahat', FDJ Parepare ditangkap kasus Ujaran Kebencian Dj Sidrap dan Hina Polisi

TRIBUNSIDRAP. COM, MARITENGNGAE- Peringatan keras kepada pengguna media sosial untuk tidak sembarangan mengumbar status ujaran kebencian.

Jangan sampai bernasib seperti wanita cantik ini.

Gara-gara postingannya di Instagram Story (IG Stories), ia ditangkap anak buah Kapolri Jenderal Idham Azis.

Eghy Morena alias Asnani (23) diamankan Satreskrim Polres Sidrap usai diduga melakukan ujaran kebencian terhadap institusi kepolisian,  Kamis, (24/12/2020).
Eghy Morena alias Asnani (23) diamankan Satreskrim Polres Sidrap usai diduga melakukan ujaran kebencian terhadap institusi kepolisian, Kamis, (24/12/2020). (Polres Sidrap)

Dirangkum reporter Tribunsidrap.com, berikut kronologi penangkapan Eghy Morena alias Asnani (23), wanita asal Kota Bandar Madani Parepare, Sulawesi Selatan.

Seorang Famale Disk Jockey (FDJ) diamankan Resmob Satreskrim Polres Sidrap usai diduga lecehkan institusi Polri melalui story instagramnya, Kamis (24/12/2020) petang. 

Dia adalah Asnani (23) warga JL Tassiso Kelurahan Galung Maloang, Kecamatan Bacukiki, Kota Parepare, Sulawesi Selatan.

Ia tidak menduga, statusnya di media sosial IG berujung penangkapan.

Pelaku ditangkap di Jalan Bau Massepe Kelurahan Rijang Pittu, Kecamatan Maritengngae, Sidrap. 

Kasat Satreskrim Polres Sidrap, AKP Benny Pornika membenarkan penangkapan seorang DJ yang diduga melakukan ujaran kebencian terhadap institusi kepolisian.  

"Barang bukti yang diamankan 1 buah iphone 7plus yang dipakai pelaku menulis ujaran kebencian," ungkap Benny.  

Penangkapan ini berawal dari patroli cyber pada Kamis (24/12/20) pukul 16.30, ditemukan akun instagram @Eghy_morenaaa memposting story instagram mengenai barang bukti hasil pengungkapan penyalahgunaan pil ekstasi 1.710 butir oleh Satresnarkoba Polres Sidrap. 

"Munafik smua yg tngkap i, kya tong tdk namakan ji jg sya ngomong gini krn sy tau smua ttg org2 munafik akkeda bawanno iko melo pakai i matahun baru hHahha".

Status lainnya lebih menyakitkan lagi bagi institusi kepolisian.

"Inimi kpng dbilang penjahat tangkap penjahat," tulis akun instagram @eghy_morenaaa. 

Hasil interogasi pelaku mengakui perbuatannya.

Eghy morena alias Asnani menulis ujaran kebencian itu akibat pengaruh minuman keras (Miras).

"Pelaku mengaku pada saat menulis ujaran kebencian terhadap institusi kepolisian dalam keadaan pengaruh minuman keras," pungkas Benny.  

Saat in pelaku diamankan di Polres Sidrap guna mempertanggung jawabkan perbuatannya. 

Hati-hati Pasal Ujaran Kebencian

Masyarakat Indonesia pengguna media sosial atau Medsos harus lebih bijak dalam menggunakan media sosial untuk mengekspresikan kebebasan berpendapat agar tidak terjerat kasus pidana.

Selain itu, ekspresi kebebasan berpendapat ini harus memegang etika agar tidak terjerat pada kasus hukum pidana di Undang Undang No 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Sebab UU ITE ini akan mudah memidanakan kasus pencemaran nama baik, penghinaan dan ujaran kebencian.

Melansir kontan.co.id, dalam catatan Treviliana Eka Putri, Manager Riset Center For Digital Society (CFDS), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (UGM) melansir data dari safenet.or.id kasus pidana menggunakan Undang-Undang No 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hingga 30 Oktober 2020, mencapai 324 kasus.

"Spirit UU ITE seharusnya untuk menciptakan rasa aman bagi semua orang di media daring, tapi kini UU ITE banyak memakan korban. Pelapor punya power dan terlapor tidak punya kekuatan seperti orang awam juga aktivis," kata Treviliana dalam diskusi daring bertema Batasan Kebebasan Ekspresi dan Menyatakan Pendapat Ditinjau dari UU ITE yang digelar Magister Hukum Litigasi Fakultas Hukum UGM, beberapa waktu lalu.

Berdasarkan perincian data dari Safe.net, dari 324 kasus pidana di UU ITE, sebanyak 209 orang dijerat dengan pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik.

Sebagai catatan pasal Pasal 27 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2016 Jo UU No. 11 Tahun 2008 ini selengkapnya berbunyi :

"Setiaporang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."

Selain itu, sebanyak 76 kasus dijerat dengan Pasal 28 ayat (3) UU ITE tentang ujaran kebencian.

Pasal 28 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 Jo UU No. 11 Tahun 2008 berbunyi: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan asa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Dari jumlah kasus laporan hukum ini, Menurut catatan Treviliana, "Sebanyak 172 kasus yang dilaporkan itu berasal dari unggahan di media Facebook termasuk Facebook pages," katanya.

Karena itulah, Treviliana memandang perlunya literasi digital bagi masyarakat, khususnya dalam memproduksi konten digital. "Konsumsi digital di Indonesia masih oke tapi untuk memproduksi ranah digital masih kurang pengetahuan," katanya.

Ia mengusulkan perlu komitmen semua pihak, termasuk di bidang pendidikan dengan mamasukkan kurikulum literasi digital dan membuat program nasional literasi digital.

Menanggapi banyaknya kasus masyarakat yang terjerat dengan UU ITE, Supandriyo, Hakim Yustisial di Lingkungan Badan Pengawasan Mahkamah Agung berpendapat pada berberapa kasus putusan hakim memang berbeda-beda.

Ia menyebut di tataran praktek, situasi hukum tidak ada kejelasan. Untuk itu hakim perlu melakukan penemuan hukum dengan cara konstruksi dan interpretasi. Penemuan hukum sesuai dengan kapasitas masing-masing sehingga menimbulkan konteks pemaknaan terhadap pelanggaran kesusilaan bisa beda, paradigma berpikir hakim juga berbeda.

Sebagai gambaran ancaman hukuman atas pelanggaran Pasal 27 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2016 adalah penjara paling lama 4 tahun dan denda paling banyak Rp 750 juta.

Sementara, ancaman hukuman atas pelanggaran Pasal 28 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 adalah penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. Karenanya tersangka yang dikenakan tuduhan atas pasal ini biasanya langsung di tahan oleh pihak kepolisian.

Sementara guru besar Fakultas Hukum UGM Edward Omar Sharif Hiariej atau dikenal dengan sebutan Prof Eddy menjelaksan, Pada UU ITE pembuat Undang-Undang memang memasukkan pasal pasal yang ada di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu pasal 310 sampai dengan pasal 321 yang berisi pencemaran nama baik ada enam bentuk penghinaan ke dalam satu keranjang yaitu pasal 27 dan pasal 28, di UU No ITE.

"Karena di delik KUHP sama hanya medianya berbeda di dunia nyata dan dunia maya,"kata Prof Eddy. Selain itu, dalam konteks UU ITE untuk membuktikan unsur menyebarluaskan sangat mudah dibadingkan dengan dunia nyata.

Penafsiran menyebarluaskan atau diketahui banyak orang dengan cara manual dengan medsos sehingga sangat mudah untuk membuktikan.(*)

Laporan Wartawan Tribunsidrap.com, Nining Angreani

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved