Pilres Amerika Serikat Joe Biden Versus Donald Trump Bikin Pasar Saham Anjlok
calon presiden (capres) dari Partai Demokrat, Joe Biden unggul sementara atas perolehan suara electoral college sejak pemilihan umum ditutup.
Penulis: Muh Hasim Arfah | Editor: Muh Hasim Arfah
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR-Pemilihan Presiden Amerika Serikat sangat mempengaruhi pasar saham.
Untuk sementara, calon presiden (capres) dari Partai Demokrat, Joe Biden unggul sementara atas perolehan suara electoral college sejak pemilihan umum ditutup, Selasa (3/11/2020) malam.
Dilansir dari AFP, Rabu (4/11/2020), Biden unggul 238 suara atas capres petahana dari Partai Republik, Donald Trump, yang meraup suara sebanyak 213 suara.
Untuk dapat melenggang ke Gedung putih, dibutuhkan minimal 270 suara electoral college alias electoral vote.
Biden unggul di 20 negara bagian, termasuk negara bagian asalnya, Delaware. Adapun Trump juga unggul di rumahnya, Florida.
Biden juga merebut satu negara bagian yang dimenangi Trump pada 2016, yaitu Arizona. Di sisi lain, ada beberapa negara bagian yang belum selesai melakukan penghitungan suara sehingga hasilnya masih ditunggu.
Dari pasar domestik Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tergerus ke zona merah pada perdagangan Rabu (4/11). IHSG melemah 54,25 poin atau 1,05% ke level 5.105,20 pada hari ini.
Total volume transaksi bursa mencapai 13,09 miliar saham dengan nilai transaksi Rp 8,02 triliun. Ada sebanyak 281 saham melemah, 158 saham menguat, dan 160 saham diam di tempat. Investor asing mencatat pembelian bersih Rp 7,74 miliar di seluruh pasar.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, memprediksi, jika Trump kembali terpilih maka outlook ekonomi global tidak terlalu membaik. Ada sejumlah alasan terkait outlook yang tidak terlalu membaik.
Pertama, Trump kemungkinan akan melanjutkan perang dagang dengan China. Meski sempat ada semacam rekonsiliasi terkait hal ini, tetapi rekonsiliasi tersebut seolah menjadi sesuatu hal yang terus menerus ditinjau ulang.
“Ada potensi terjadinya perang dagang fase baru. Ini yang kemudian akan berdampak terhadap perekonomian global dan juga perekonomian China. Kedua hal ini tentu tidak akan bagus dampaknya terhadap negara-negara emerging market termasuk di dalamnya Indonesia,” kata Yusuf ketika dihubungi, Rabu (4/11).
Kedua, sikap atau kebijakan Trump yang terkesan bisa berubah sewaktu-waktu. Hal ini seperti terjadi belum lama ini ketika Pemerintah AS memutuskan untuk memperpanjang fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) kepada Indonesia.
“Dalam satu masa dia (Trump) bisa sangat friendly dengan negara lain, di satu masa lainnya dia (Trump) bisa menjadi musuh,” ujar Yusuf.
Tidak hanya itu, Yusuf menilai akan terjadi dampak secara tidak langsung terhadap harga minyak dunia jika Trump kembali terpilih. Hal ini kaitannya dengan arah kebijakan politik/ekonomi AS yang cenderung tidak mau berdiplomasi atau bernegosiasi dengan negara – negara di kawasan Timur Tengah.
Hal itu, kata Yusuf, akan berdampak pada posisi geopolitik di Timur Tengah. Sebab, umumnya kondisi geopolitik di Timur Tengah akan mempengaruhi volatilitas harga minyak dunia. Hal ini yang kemudian secara tidak langsung akan mempengaruhi harga minyak global.
“Dan itu akan berdampak misalnya terhadap harga minyak acuan yang dikeluarkan Indonesia. Artinya volatilitas nya semakin tinggi, jadi ini yang perlu diwaspadai khususnya dalam penetapan asumsi makro dalam hal harga minyak di tahun – tahun mendatang,” jelas dia.(*)
