Klakson
Protokol dan Pelanggaran
COVID-19 mengubah cara berpilkada serentak 2020. Ada protokol kesehatan yang harus diperhatikan dan dipatuhi.
Abdul Karim
Penulis dan pengamat demokrasi
COVID-19 mengubah cara berpilkada serentak 2020.
Ada protokol kesehatan yang harus diperhatikan dan dipatuhi.
Ketika KPU disini mulai gencar-gencarnya mengabarkan ke publik tentang pilkada dengan sistem protokol kesehatan, beberapa penyelenggara malah terjangkit virus aneh itu.
Sebutlah saja ketua KPU Provinsi Sulsel dan Ketua KPU kota Makassar.
Apakah mereka terjangkit lantaran lalai dengan protokol kesehatan? Entah.
Tetapi memang jauh sebelumnya pilkada diperbolehkan dengan syarat mesti memenuhi standar protokol kesehatan.
Dengan inilah KPU dan Bawaslu bertambah kerja.
Tapi di luar sana, orang-orang riuh bercemooh; "pilkada tak mengenal pandemi".
Pandemi tak mengapa mewabah, tetapi kekuasaan mesti punya jadwal untuk dilot.
Perkara bahwa pada akhirnya yang terpilih adalah para aktor lama, lain soal.
Yang jelas, ada jadwal di mana kekuasaan mesti dilot kembali seperti arisan ibu-ibu tajir.
Tetapi apa guna pergantian kekuasaan bila keadaan tak pernah nyaman?
Barangkali pertanyaan itu sama rumitnya dengan; apa guna mematuhi protokol bila pelanggaran aturan lain dalam pilkada tetap massif?
Mengenakan masker, mencuci tangan hingga jaga jarak barangkali sia-sia bila aturan lain dijebol.
Taruhlah misalnya yang paling sederhana pelanggaran ketentuan kampanye kandidat.
Seorang mengamati pergerakan tim pemenangan calon Wali Kota Makassar.
Ia melihat tim lapangan rajin mengenakan masker hingga tutup muka mirip topeng.
Ada pula yang mengenakan kaos tangan.
Di kantong celana terselip botol kecil hand sanitizer.
Sungguh taat. Tetapi rupanya, di saat yang sama ia "curiga" ada sesuatu yang dibagi.
Kian hari tahapan pilkada bergerak sesuai jadwalnya.
Sungguh memalukan bila ketaatan tim kontestan sebatas ketaatan protokol sahaja.
Apa guna memakai masker bila uang-uang terbagi ke setiap warga?
Apa guna mematuhi protokol kesehatan bila uang suap melompat kesana-kemari tanpa rasa risih?
Publik harus bebas dari virus dan bebas dari pelanggaran ketentuan pilkada.
Sebab bahaya efek pelanggaran ketentuan dalam pilkada tak jauh beda dengan efek pelanggaran protokol kesehatan.
Katakanlah money politic misalnya.
Ini jelas melanggar, dan efeknya bagi pemenang pilkada yang melanggar biasanya berhasrat mengembalikan lembaran-lembaran uang yang dibagikan usai dilantik.
Ini setara berbahayanya dengan virus corona.
Barangkali Bawaslu perlu menyiapkan semacam alat yang menyerupai fungsi alat swab yang mampu mendeteksi kehadiran virus pada tubuh seseorang.
Alat yang mesti disiapkan Bawaslu adalah semacam alat tes yang mampu mendeteksi apakah pasangan kontestan pilkada terjangkit virus money politic atau tidak.
Bawaslu tak cukup punya mata sahaja, tetapi ia mesti punya cara meringkus para pelaku politik uang yang bergentayangan bak virus-virus yang tak terlihat itu.(*)
Tulisan ini sebelumnya terbit di harian Tribun Timur edisi, Rabu, 28 Oktober 2020.