Demo Tolak Omnibus Law
Mahasiswa Makassar: Bebaskan Semua Tahanan Politik
Selain berorasi menolak Omnibus Law dan meminta sejumlah aktivis yang ditahan dibebaskan, mereka juga menggelar
Penulis: Muslimin Emba | Editor: Imam Wahyudi
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Puluhan mahasiswa menggelar aksi solidaritas terhadap sejumlah mahasiswa yang ditangkap dalam unjukrasa ricuh 'Tolak Omnibus Law', Kamis pekan lalu.
Aksi solidaritas itu berlangsung di depan kampus Universias Muhammadiya (Unismuh) Jl Sultan Alauddin, Makassar, Kamis (15/10/2020) sore.
Aksi diisi dengan orasi dan pembentangan spanduk bertuliskan, 'Bebaskan Semua Tahanan Politik #Penjara Bukan Solusi'.
Selain itu, mereka juga menulis, 'Tolak Omnibus Law'.
Selain berorasi menolak Omnibus Law dan meminta sejumlah aktivis yang ditahan dibebaskan, mereka juga menggelar aksi longmarch.
Aksi longmarch itu berlangsung hingga ke pertigaan Jl Sultan Alauddin-Jl AP Pettarani.
Sambil longmarch, pengunjukrasa juga membagikan lembaran pernyataan sikap.
Berikut isinya;
SERUAN SOLIDARITAS
Kami ingin mengingatkan, setiap petani, peladang, nelayan, masyarakat adat, atau warga biasa yang ditangkap atau dikriminalisasi Negara, keluarganya menghadapi beban ganda: kehilangan sumber nafkah dan menghadapi hukum.
Sementara Polisi, jaksa, atau hakim yang memproses dan menghadapi mereka dapat gaji bulanan dari Negara.
Sekian lama wajah demokrasi dan upaya memajukan HAM yang tercoreng, akibat ulah Negara itu sendiri. Berbagai persitiwa seperti petani & masyarakat adat yang terbenuh demi mempertahankan tanahnya yang akan dirampas investor (Petani Pagar Batu, Lahat vs PT.Artha Prigel, Kasus Salim Kam] dll),
Orang tua yang kehilangan nyawa anaknya yang terbunuh akibat tenggelam di lubang tambang (Masyarakat Desa Karyan Makmur, Paser vs PT.Sarana Daya Hutama),
Nelayan yang dikriminalisasi karena mempertahankan lautan yang menjadi sumber penghidupannya dari perusakan ekosistem oleh investor (Nelayan Kodingareng vs Boskalis),
Warga Barabarayya yang telah lama dihantui oleh penggusuran oleh mafia tanah, Masyarakat sipil yang protes kemudian direspon oleh Negara dengan kekerasan, kriminalisasi, terror, dan intimidasi.
Pada 6, 7, dan 8 Oktober 2020 aksi massal terjadi setidaknya 60 Kota/Kabupaten tersebar di lebih dari 20 Provinsi melakukan aksi penolakan disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja. Kemarahan rakyat meledak diseluruh penjuru Indonesia.
Akan tetapi, protes tersebut kemudian direspon oleh Negara, tindakan-tindakan brutal aparat sepanjang aksi serentak terhadap massa aksi yang terdiri dari dari bermacam-macam elemen masyarakat tersebut diiringi dengan penangkapan terhadap ribuan massa aksi.
Dengan dalil Covid-19, aparat seolah menemukan legitimasi untuk bertindak diluar kendali yang berlaku.
Pertanyaannya adalah, mengapa aksi-aksi demonstrasi sebagai bentuk pengawasan dan protes terhadap Negara seakan-akan tak boleh dilakukan meskipun menerapkan protokol kesehatan, sementara para elit politik dengan santainya melakukan kampanye politik untuk menyongong pilkada yang dipaksakana di tengah situasi pandemi?
Kita yakin bahwa membubarkan aksi demonstrasi damai dengan kekerasan dan monopoli aturan adalah bentuk pelanggaran HAM!
Semua ini menunjukkan bahwa seolah-olah demonstrasi apapun adalah tindakan kriminal yang harus dibubarkan dan pelakunya mesti diburu, ditangkap, bahkan boleh untuk disiksa. Tindakan seperti ini adalah Nampak sebagai tindakan terror apartus represif Negara terhadap suatu kritik masyarakat.
Sementara demonstrasi adalah hak setiap orang untuk menyampaikan pendapat yang dijamin orang untuk menyampaikan pendapat yang dijamin oleh konstitusi.
Dari rentetan kasus ataupun peristiwa yang terjadi, sepatutnya kita sadar melihat realitas yang makin menyedihkan dan menyebalkan ini.
Mereka yang kita harap menjadi perwakilan kita, tempat kita memangkukan harapan kita, teryata sama-sama menegaskan dirinya sendiri, bahwa kita tidak perlu menaruh harapan pada mereka.
Realitas ini memaksa kita untuk sadar, saatnya untuk membangun Solidaritas Horizontal. Organisir diri sekarang juga !
Sekwdar diketahui, unjukrasa ricuh di Makassar menjerat enam mahasiswa yang ditetapkan terangka.
Mereka yang ditangkap, Sari Labuna (21) aktivis mahasiswi yang menjadi jenderal lapangan Barisan Rakyat Bergerak (BAR-BAR) aksi unjukrasa 'Tolak Omnibus Law' ditetapkan sebagai tersangka.
Selain itu, juga terdapat lima lainnya yang merupakan teman Sari Labuna. Mereka, K, Ince, N alias Y, MF, D.
Namun pasal yang diterapkan dari ke enam tersangka itu berbeda.
Melalui data penanganan pelaku unjukrasa yang diperoleh dari Humas Polda Sulsel, Sari Labuna disangkakan pasa 214 KUHP bersama seorang mahasiswa berinsial K.
Sementara empat lainnya, Ince, N alias Y, MF, D disangkakan pasal 170 Joncto pasal 406 dan 214 Jouncto 55 KUHP terkait penrusakan.
Penelusuran jurnalis tribun terkait pasal 214 KUHP, tercantum dalam BAB VIII Kejahatan Terhadap Penguasa Umum.
Dimana disebutkan dalam pasal 214 Ayat 1, Paksaan dan perlawanan berdasarkan Pasa 211dan 212 jika dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Ayat 2, disebutkan, yang bersalah dikenakan:
1. Pidana penjara paling lama delapan tahun enam bulan, jika kejahatan atau perbuatan lainnya ketika itu mengakibatkan luka-luka.
2. Pidana penjara paling lama 12 tahun, jika mengakibatkan luka berat.
3. Pidana penjara paling lama 15 tahun, jika mengakibatkan orang mati.
Hari ini, sudah memasuki hari ke tujuh, Sari Labuna dan lima kawannya ditahan di Mapolrestabes Makassar.