Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

OPINI

Pendidikan dan Pandemi Covid-19: Sebuah Momentum 

Pendidikan dan Pandemi Covid-19: Sebuah Momentum, Opini oleh Abdul Rahman, Abdul Rahman, Ph.D, Dosen PGSD, FIP, Universitas Negeri Makassar

Penulis: CitizenReporter | Editor: Suryana Anas
Dok Pribadi
Abdul Rahman, BNI Syariah Makassar. 

Opini oleh Abdul Rahman, Abdul Rahman, Ph.D, Dosen PGSD, FIP, Universitas Negeri Makassar

TRIBUN-TIMUR.COM - Selama kurang lebih setengah tahun, dan masih akan terus sampai beberapa waktu yang tidak seorang pun yang bisa memastikan akhirnya, COVID-19 telah menerpa dan memengaruhi seluruh lini kehidupan tak terkecuali dunia pendidikan.

Berbagai macam perubahan dan penyesuaian ditempuh agar pendidikan di masa pandemik tetap bisa berjalan. Sampai saat ini, kebiasan dan praktek baru yang coba diterapkan masih memunculkan polemik tersendiri serta mendapatkan reaksi yang berbeda-beda dari sekolah, guru, orang tua dan terutama peserta didik.

Pembelajaran jarak jauh (PJJ) umumnya masih terkendala oleh ketersediaan dan kecukupan infrastruktur penunjang semisal keterjangkauan sinyal internet, kuota data, dan gawai.

Kualitas pembelajaran melalui PJJ dianggap kurang karena metode dan pendekatan pengajaran/pedagogi yang dipakai membosankan, tidak menstimulasi peserta didik untuk belajar.

Orang tua peserta didik merasa kewalahan mendampingi anak-anak mereka belajar.

Namun dibalik semua kesulitan ini, pandemik COVID-19 adalah disrupsi yang bisa dijadikan momentum untuk melakukan perubahan yang mungkin belum atau tidak didapatkan dalam situasi normal.

Kenapa menjadi momentum? Karena setiap disrupsi menuntut perubahan.

Disrupsi membuat setiap orang baik secara individu dan kolektif meninjau ulang tatanan, kebiasaan dan praktek yang ada dan memusatkan pikiran dan sumberdaya untuk mencari cara-cara baru (inovasi) untuk menghadapi disrupsi.

Ada beberapa hal yang perlu dilihat kembali dan mendapatkan momentum untuk diperbaharui dalam pendidikan di tengah pandemic COVID-19, di antaranya kurikulum, peningkatan kompetensi guru, integrasi teknologi dan peran orang tua dalam pendidikan.

Kurikulum telah banyak dikritik karena dianggap terlalu berat. Kurikulum memuat paling sedikit tiga komponen, yakni tujuan, isi/muatan serta organisasi dan struktur pembelajaran. Ketika dinilai berat, maka penilaian ini banyak mengarah kepada isi/muatan yaitu apa yang harus pelajari oleh peserta didik.

Kurikulum yang membebani peserta didik di masa normal, pastinya akan menjadi malapetaka ketika menghadapi disrupsi seperti pandemic COVID-19. Namun masalah sebenarnya bukan hanya pada isi kurikulum tetapi pada sifat kurikulum.

Kurikulum mesti lentur dan lincah (flexible and agile) menghadapi perubahan bahkan goncangan. Kurikulum yang lentur dan lincah ibarat kendaraan yang mampu (responsive) bermanuver di segala kondisi medan (adaptable) dengan beban muatan yang dibawanya.

Apa yang dipikirkan, dikatakan dan dilakukan oleh guru menentukan kualitas proses dan hasil belajar peserta didik.

Olehnya, guru dituntut untuk terus menerus mengupdate dan membaharukan pengetahuan dan keterampilannya.

Sayang peningkatan kompetensi guru lebih banyak mematikan imajinasi, inovasi dan nalar para pendidik.

Pelatihan dimana guru hanya datang, duduk, diam dan mendengar hanya melahirkan guru yang membeo.

Guru yang kehilangan kepercayaan dan kemampuan profesionalitas karena cuman terbiasa disuguhi. Mekanisme dan kegiatan peningkatan kompetensi guru selayaknya “berpusat pada guru”. 

Pelatihan seperti disebutkan sebelumnya terjadi karena materi dan metode penyampaiannya “satu untuk semua”, guru dianggap wadah kosong yang perlu dituangi dan pihak-pihak di luar guru dianggap lebih mengetahui apa yang dibutuhkan oleh guru.

Padahal guru berada dalam situasi, posisi atau karakter yang berbeda-beda (contoh guru muda, veteran, honorer, swasta, PNS dst) dan menghadapi kondisi peserta didik yang sangat beragam.

Guru adalah professional yang memiliki bekal, kemampuan dan potensi untuk belajar secara mandiri dan merdeka.

Peningkatan kompetensi guru mesti dipusatkan pada karagaman karakter, kebutuhan dan kemampuan pendidik.

Pandemik COVID-19 telah memperlihatkan bahwa teknologi tidak akan bisa menggantikan peran guru. Namun juga menunjukkan bahwa guru yang tidak bisa menggunakan teknologi akan tertinggal dan bisa saja digantikan oleh guru yang melek teknologi.

Teknologi sejatinya memang hanya alat supplementer bukan pengganti.

Alat untuk mempermudah, memperkaya, memperdalam, mempercantik serta fungsi-fungsi lainnya sesuai dengan yang dibutuhkan.

Integrasi teknologi ke dalam pendidikan harus menjadi bagian dari usaha untuk meningkatkan dan mengembangkan proses dan hasil pendidikan.

Dari tiga pihak yang ada dalam tripusat pendidikan, peran orang tua dan masyarakat selama ini dianggap paling minim dan lemah.

Kondisi yang diakibatkan oleh orang tua/masyarakat yang lepas tangan, pihak sekolah yang tidak menganggap penting dan manfaat keterlibatan orang tua, atau hanya melibatkan orang tua dan masyrakat pada hal-hal dan tujuan tertentu.

Padahal Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara telah jauh-jauh hari menyampaikan pentingnya sinergitas peran keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam mengasuh dan mendidik anak.

Kalau selama ini di sekolah hanya dikenal buku pegangan guru dan siswa, maka untuk membangun kerjasama antar ke triparti pendidikan mungkin sudah diperlukan buku pegangan orang tua sebagai panduan dalam mendidik anak di keluarga dan lingkungan.

Sejarah telah menunjukkan bahwa setiap disrupsi mampu mengubah tatanan peradaban.

Pandemik COVID-19 semestinya sangat bisa dijadikan momen oleh setiap stakeholder dan pelaku pendidik untuk melihat dan menata ulang tatanan dan praktek-praktek yang ada demi pendidikan yang lebih berkualitas bagi anak bangsa. Semoga pandemic COVID-19 menjadi “blessing-in-disguise” bagi kemajuan pendidikan.  (*)    

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved