Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Demo Tolak Omnibus Law

Kelakuan Polisi Makassar Saat Unras Omnibus Law, Dosen Pun Ditangkap dan Dipukuli

Menurutnya, tindakan tersebut sangat tidak manusiawi dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

TRIBUN TIMUR/SAYYID
PBHI Sulsel saat menggelar jumpa pers terkait pengaduan kekerasan dilakukan oknum polisi, Minggu (11/10/2020). 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Seorang Dosen di salah satu Perguruan Tinggi (PTS) di Makassar, AM (27), menjadi korban salah tangkap dan korban tindakan represif oleh pihak kepolisian.

Dosen muda bergelar Magister Hukum itu menjadi korban salah tangkap saat dirinya terjebak pada saat aksi unjuk rasa penolakan Undang-undang Ombnibus Law Cipta Kerja berujung ricuh di Makassar pada 8 Oktober 2020.

Menanggapi hal tersebut Kadiv Advokasi dan Bantuan Hukum PBHI Sulsel Syamsumarlin mengatakan pihaknya akan mendampingi korban serta melakukan upaya-upaya pendampingan termasuk upaya untuk mendampingi korban melapor secara resmi ke institusi kepolisian.

"Secara kelembagaan, PBHI Sulsel mendesak agar Kapolda Sulsel memberikan atensi dan mengusut tuntas kasus ini. Serta memberikan tindakan tegas baik secara etik maupun proses pidana terhadap anggota yang melakukan tindakan pemukulan secara brutal terhadap korban Aan," ujarnya dalam konfresi pres di Kantor PBHI Sulsel, Minggu (11/10/2020).

Menurutnya, tindakan tersebut sangat tidak manusiawi dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

"Pelaku kita harapkan dapat diproses secara intitusi terkait pelanggaran etik provesi kepolisian, disamping itu kita akan melaporkan tindak pidana yang dialami oleh korban, selain itu kita akan melakukan upaya pengaduan agar situasi ini atau tindakan ini direspon serta ditindak lanjuti oleh Kompolnas hingga Komnas Ham," katanya.

Karena kejadian ini, kata Syamsumarlin, sudah sering dialami. Ini merupakan pelanggaran HAM, hak sipil politik warga negara yang kemudian dilakukan oleh institusi kepolisian.

Selain itu, pihaknya juga akan mengusut mengenai tindak pidana yang dialami oleh korban.

"Kita harapkan kepada yang Kapolda Sulsel untuk dapat mengatensi kasus ini, karena ini berkaitan dengan marwah dan bagaimana menjaga Institusi kepolisian agar tidak melakukan tindakan represif yang kemudian sangat tidak manusiawi yang jelas melanggar peraturan negara kita," ucapnya.

Syamsumarlin menjelaskan, secara konsep HAM hal tersebut telah melanggar UU 39 tahun 1999 tentang HAM, dan UU 12 tahun 2005 tentang Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik.

"Kemuduian secara internal Polri telah ada Perkap nomor 8 tahun 2009 tentang implementasi standar prinsip dan bagaimana tindakan kepolisian dalam menggunakan kekuatan. Ini jelas Kapolri telah mengeluarkan secara Institusi dan sudah sangat lama tetapi sampai saat ini dalam setiap penanganan massa aksi itu selalu ada saja tindakan represif, makanya kita minta secara Institusi dalam hal ini Kapolda Sulsel untuk secara tegas memproses kasus ini," jelasnya.

Apalagi kata dia, korban sama sekali tidak terlibat dalam massa aksi pada saat tanggal 8 okteber 2020 itu.

Bahkan korban tidak hanya mengalami kekerasan secara fisik tapi juga mengalami kekerasan verbal. Bahkan ada perkataan-perkataan sangat tidak wajar dilontarkan oleh seorang oknum polisi itu.

"Apalagi korban ini adalah Dosen. Apalagi pada saat itu korban sudah memperlihatkan Identitas diri bahwa korban adalah dosen tetapi tetap dilakukan tindakan brutal terhadap korban. Sehingga ini mencoreng Institusi ketika dilakuka pembiyaran," bebernya.

"Makanya kita secara tegas sangat mengharapkan terhadap Kapolda Sulsel mengetensi persoalan ini dan memberikan penindakan tegas kepada Anggota atau oknum polisi yang melakukan tindakan tersebut," ujarnya.

Sumber: Tribun Timur
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved