Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Pesan Ustadz Abdul Somad Sebelum Memilih Calon Wali Kota Makassar, Waspada Kesaksian Palsu

Pesan Ustadz Abdul Somad Sebelum Memilih Calon Wali Kota Makassar, Waspada Kesaksian Palsu

Editor: Edi Sumardi
DOK ANTARA/MOHAMMAD IQBAL
Dai kondang, Ustadz Abdul Somad atau UAS 

TRIBUN-TIMUR.COM - Pesan Ustadz Abdul Somad sebelum memilih calon Wali Kota Makassar, waspada kesaksian palsu.

Pemungutan suara pada Pilkada serentak 2020 rencananya akan digelar, 9 Desember 2020. 

Total daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020 sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.

Khusus di Sulawesi Selatan atau Sulsel, ada 12 kabupaten dan kota yang akan menggelar Pilkada serentak.

Salah satunya Kota Makassar.

Pesta demokrasi pada tahun ini digelar dalam suasana berbeda sebab berlangsung di tengah pandemi virus corona.

Segalanya serba terbatas, harus ekstra hati-hati.

Kepada para pemilih, tim sukses, calon kepala daerah, dai kondang Ustadz Abdul Somad memberikan tips bagaimana seharusnya memilih pemimpin yang benar sesuai dengan tuntunan dalam ajaran Islam.

UAS, demikian sapaannya, pertama-tama mengajak agak kita sama-sama menghargai perbedaan preferensi politik.

Perbedaan dalam memilih pemimpin bukan hanya terjadi dalam kontestasi politik pada masa kini, namun sudah ada sejak masa sahabat Nabi.

"Berbeda pilihan pernah terjadi pada masa sahabat Nabi. Ketika Nabi meninggal, sebagian sahabat Muhajirin ingin mengangkat Umar bin Khattab. Sahabat dari kalangan Anshar di Madinah ingin mengangkat Sa'ad bin Ubadah di situ mereka berdialog," kata Ustadz Abdul Somad.

"Berbeda pendapat itu lumrah, sesuatu yang biasa," katanya lebih lanjut.

Ustadz Abdul Somad mengatakan hal ini di sela kunjungannya ke Masjid An-Naas di kompleks perumahan Taman Mahkota Mas, Jl Antang Raya, Makassar, Sulsel, Kamis (1/10/2020).

Baca juga: H Annas Yunus Bangun Masjid Megah di Makassar di Tengah Covid-19, Diresmikan 2 Jenderal, Siapa Dia?

Pesan Ustadz Abdul Somad untuk menghargai perbedaan pilihan politik disampaikan melalui vlog Dekan Fakultas Teknologi Industri Universitas Muslim Indonesia atau FTI UMI, Zakir Sabara H Wata.

Dia berpesan agar dalam Pilkada maupun kontestasi politik tidak memunculkan siasat yang dilarang agama maupun melanggar hukum.

"Yang salah itu ketika kita memunculkan fitnah, permusuhan, black campaign, membusukkan orang lain, (politik) belah bambu. Jadi berdinamika berbeda pendapat itu suatu hal yang biasa, sunnatullah," kata Ustadz Abdul Somad yang pernah diwacanakan akan ikut bertarung pada Pilpres 2019.

Politik belah bambu dimaksud adalah mengangkat satu pihak sambil menginjak pihak lain.

Kesaksian palsu

Dalam memilih calon kepala daerah, pemilih harus yakin jika pilihannya itu merupakan yang terbaik menurut agama.

Janganlah memilih pemimpin karena faktor politik uang.

Kata UAS, memilih pemimpin sama halnya dengan bersaksi di hadapan Allah bahwa sosok pilihan itu memang layak dipilih.

"Pilihan kita itu (harus) berdasarkan istikharah yang benar, bukan berdasarkan money politic. Jangan karena kebahagiaan sesaat, kita mengorbankan 5 tahun ke depan. Ketika Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, ketika kita mencoblos kertas itu, kita sedang bersaksi di hadapan Allah. Saya bersaksi bahwa orang ini layak menjadi bupati saya, wali kota saya, gubernur saya ke depan," ujar Ustadz Abdul Somad.

Dia lalu menyebutkan 3 dosa besar dalam Islam.

Pertama, syirik atau menyekutukan Allah.

Kedua, durhaka kepada orangtua.

Ketiga, syahadatuzzur atau kesaksian palsu.

"(Saat memilih pemimpin) kita sedang bersaksi palsu di hadapan Allah, bukan di hadapan KPU, bukan di hadapan Bawaslu. Kita sedang bersaksi bahwa orang ini layak di hadapan Allah. Kita jual kesaksian kita hanya karena amplop, kita jual kesaksian kita hanya karena kepentingan sesaat, maka kita akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah," ujar Ustadz Abdul Somad menegaskan.

Jika memang meyakini pilihan itu benar, bukan pilihan karena politik uang, maka harus dibela.

"Kalau kita meyakini suatu itu benar, mesti kita bela. Kita berijtihad. Kalau para ulama berijtihad dengan Alquran, hadist, maka kita sebagai masayarakat berijtihadlah mendengar dengan baik, melihat dengan baik, membaca dengan baik, berpikir dengan baik, beristikharah. Setelah beristikharah, tawakkal kepada Allah (atas pilihan kita)," ujar dia.(*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved