Obituari
Zainal Tahir, Sosok Wartawan yang Dermawan, Kader PII dan Memiliki Nomor Baku Muhammadiyah
Semoga Allah SWT menyempurnakan amal ibadahnya dan mengampuni dosanya serta menempatkannya pada posisi yang paling mulia di sisi-Nya.
(Mengenang almarhum Drs. H. Zainal Tahir, M.Si)
Oleh : Haidir Fitra Siagian
SAYA termasuk yang sangat kaget kemarin pagi ketika membaca status sahabat saya, Ahmad Sudirman Kambie. Beliau mengabarkan bahwa mantan Ketua KPU Gowa, Drs. H. Zainal Tahir, M.Si, telah berpulang ke rahmatullah Selasa (22/9/2020) malam sesaat sebelum pergantian hari.
Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Semoga Allah Swt menyempurnakan amal ibadahnya dan mengampuni dosanya serta menempatkannya pada posisi yang paling mulia di sisi-Nya.

Saya mengenal almarhum dengan sangat baik. Saya harus mengakui bahwa kami pernah akrab dan bahkan amat sangat akrab. Ini bermula ketika kami sama-sama mengikuti ujian masuk Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, dua puluh tahun lalu.
Sebelumnya kami sama sekali tak saling mengenal, meski sesama alumni Fisip tapi berbeda jurusan. Dia angkatan 1988 sedangkan saya angkatan 1994. Bersama Saudaraku Syarief Amir dan Bang Haerul Akbar, kami berdekatan saat ujian, di lantai tiga gedung PPS Unhas Tamalanrea.
Alhamdulillah, bersama teman-teman lainnya, kami bertiga juga lulus. Ada juga Andi Purnama, Isma Anis, Aminah Abbas, Abdul Halik, Budi Suprapto, Erma, juga Kanda Syamsuddin Azis.
Kami semua resmi menjadi mahasiswa program magister jurusan Ilmu Komunikasi, di bawah kepemimpinan KPS waktu itu adalah Prof. Dr. A.S. Achmad (alm).
Selama tiga semester perkuliahan, bersama almarhum, kami semakin akrab. Pada angkatan kami, angkatan 2000, terpilih sebagai ketua kelas adalah Bang Asdar Tukan.
Saya sendiri “didaulat” sebagai asisten ketua kelas dalam urusan pengambilan kertas absen dan menyetor kembali ke kantor akademik. Untuk urusan absen ini, beberapa teman sangat “bersahabat” dengan saya.
Selama tiga semester pula kami sering bersama almarhum, mengerjakan tugas kelompok, menyelesaikan pekerjaan rumah, mencari rujukan di perpustakaan, dan ngobrol santai di pelataran gedung pascasarjana.
Almarhum adalah sosok yang sangat dermawan. Beliau traktir kami, bersama teman satu kelas. Tidak jarang beliau mengajak kami makan mie pangsit di jalan masuk blok M, Bumi Tamalanrea Permai. Kurang satu kilometer dari Kampus Unhas, arah menuju Kabupaten Majene dan kabupaten lainnya.
Bukannya di dalam restoran atau rumah makan, tapi di pinggir jalan, makan mie pangsit di atar bangku panjang milik penjualnya yang berlogat Jawa. Saat itu, berulang-ulang, secara bergantian, almarhum mentraktir kami.
Tidak sebatas mie pangsit, juga singgah minum cendol di bagian samping belakang kampus Unhas, tak jauh dari Pondok Hasanuddin di bawah pohon asam yang sangat rindang. Kami duduk-duduk sambil minum cendol yang dijual di atas gerobak kecil. “Kita harus memberdayakan pedagang kecil seperti ini” kata almarhum kala itu.
Selama kami kuliah bersama selama tiga semester banyak kenangan bersama almarhum. Pada semester empat dan seterusnya, kami sudah jarang bersama. Ini karena tidak ada lagi kelas bersama. Masing-masing menulis tesis dan melakukan penelitian sesuai objeknya.
Satu dua kali kami masih sering berkumpul. Bahkan kami pernah diajak makan siang di rumahnya, di belakang Coto Sunggu, Depan Kodim Sungguminasa. Tidak satu kali, beberapa kali.