Kolom Andi Suruji
Pak JO dan Penyelenggaraan Ilahi
Jurnalisme, menurut JO tidak cukup lagi sekadar menuliskan konten dari rumus dan hukum besi jurnalisme 5W+1H.
Andi Suruji,
Pemimpin Umum Tribun Timur
Mantan Deputy Managing Editor KOMPAS
KABAR duka itu, meninggalnya Jakob Oetama, pendiri Kelompok Kompas-Gramedia bersama almarhum PK Ojong, segera tersiar di grup whatsapp "Keluarga Kompas" dan "Red Palm's". Dua grup silaturahmi karyawan dan eks karyawan Kompas.
Grup Keluarga Kompas bercampur baur karyawan yang sudah pensiun, masih aktif dari berbagai bagian.
Sementara Grup Red Palm's yang agak keren sedikit namanya, terbatas pada orang-orang lantai 3, sebutan untuk orang Redaksi.
Orang Redaksi adalah mereka yang bekerja atau pernah bekerja sebagai bagian redaksi. Lantai 3 sebutan untuk Redaksi karena seluruhnya dikuasai Redaksi Kompas.
Karena alamat Kompas di Jalan Palmerah Selatan, maka grupnya dinamakan Red Palm's, akronim dari Redaksi Palmerah Selatan.
Bercampur baur anggotanya, tukang tulis berita, tukang foto, tukang koteksi berita, tukang layout, tukang sunting, sampai yang ngatur-ngatur perjalanan dan kendaraan dinas semua ada.
Begitulah memang nilai-nilai kekeluargaan yang selalu ditanamkan pendiri Kompas. Kebersamaan. Tidak ada yang merasa superior, lebih hebat dari yang lainnya. Tetapi satu sama lain saling melengkapi membentuk tim yang kuat. Yang kuat menutupi yang lemah.
Seperti itu juga Pak JO, begitu kami orang-orang Kompas menyebut namanya. Duet JO dan PK Ojong juga dua talenta luar biasa yang bersinergi melahirkan Kompas-Gramedia (KG). Pak JO orang Jawa dan guru yang ngemong, sementara PK Ojong keturunan Tionghoa-Sumatera yang "straight-forward".
Sebagaimana kebiasaan di Kompas, khususnya redaksi (wartawan), yang sangat egaliter, umumnya karyawan wartawan dipanggil sesuai inisialnya. Itulah inisial Pak Jakob, (JO). Seingat saya, hanya dua orang yang dipanggil Pak, yakni Pak JO dan Pak Swan.
Selebihnya dipanggil Mas untuk laki-laki dan Mbak untuk perempuan. Yang muda pun dipanggi mas dan mbak. Khusus wartawan disertakan inisialnya, seperti Mas ag (August Parengkuan almarhum), Mas rb (Robby Sugiantoro) dan sebagainya.
Tetapi Pak JO punya cara memanggil kami anak-anaknya. Bagi mereka yang berasal dari luar Jawa, dipanggilnya Bung. Tetapi manakala dia memanggil kita Mas, berarti ada something wrong, apakah karena dia tidak nyaman, atau kesal. Begitu juga jika orang Jawa, selalu dipanggil Mas. Manakala disapa dengan dengan kata you, itu juga ada yang salah.
Di masa-masa akhir karier saya, sebelum pamit, resign, Pak JO teramat sering mengingatkan kami tentang tantangan jurnalisme dan media ke depan. Perlunya peningkatan profesionalisme media dan jurnalismenya.
Surat kabar semakin ditinggalkan pembaca. Media televisi semakin digemari karena masyarakat lebih terhibur. Tidak perlu mengernyitkan dahi pagi-pagi seperti ketika membaca surat kabar.
Itulah sebabnya, JO mencoba merumuskan jurnalisme yang harus diaplikasikan Kompas dan kelompoknya. Bahkan juga seluruh media sebenarnya. Yakni jurnalisme makna.
Tesis jurnalisme makna itulah yang mengantarnya meraih gelar Doktor Hinoris Causa dari almamaternya, Universitas Gadjahmada. Inilah salah satu legacy yang tak akan lekang ditelan zaman, termasuk era disrupsi media.
Jurnalisme, menurut JO tidak cukup lagi sekadar menuliskan konten dari rumus dan hukum besi jurnalisme 5W+1H.
Tidak cukup lagi sekadar mengemban fungsi-fungsi pers: to inform (menginformasikan), to educate (mendidik), to entertain (menghibur) dan to influence (memengaruhi).
Tetapi juga sudah harus lebih maju, menambahkan to show (menunjukkan). Tunjukkan. Ya tunjukkan makna, konteks dari konten informasi (berita) yang memenuhi halaman-halaman surat kabar sehingga pembaca paham, dan mengerti duduknya perkara.
Juga tentang bisnis dan "kerajaan media KG" yang harus senantiasa menjaga Indonesia, menjaga NKRI. Salah satu indikatornya, Kompas menjadi Indonesia Mini, di mana semua etnis, suku, agama, bisa menjadi bagian dari Kompas, berkarya dan berinovasi.
Tentang kerajaan media KG yang juga sudah menggurita sampai ke luar bisnis media, JO senantiasa berpesan: bersyukur, rendah hati, dan tahu diri.
"Saya ini tahu diri. Saya hanya guru, tidak tahu bisnis. Bersyukur saya dikelilingi orang-orang yang baik di bidang keahliannya. Dan apa yang kita punya saat ini, itu karena penyelenggaraan ilahi," katanya.
Suatu saat, Pak Swantoro, sparring partner JO mengurus redaksi, setelah pensiun, berkunjung ke redaksi. Kami berkerumun mendengarkan cerita-cerita Kompas masa lalu. "Sekarang, saya sudah pensiun. Jakob sudah tua. Jangan pernah melarang Jakob datang ke redaksi. Separoh jiwa Jakob ada di redaksi. Kalau kalian mau lihat Jakib sakit, laranglah dia ke redaksi. Sakit dia," kata Swantoro.
Begitulah adanya. Hingga usia makin usur, menggunakan kursi roda, bahkan ingatan sudah kacau, Jakob pun sesekali diantar ke redaksi dan ruang kerjanya. Dan setiap kali datang, ia disambut, dikerumuni oleh karyawan, laiknya dewa yang senantiasa dirindukan kehadirannya.
Tetapi setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada tokohnya. JO, tokoh pers nasional zaman ini, yang menjadi teladan integritas jurnalisme, telah pergi dan beristirahat selamanya.
Itu juga penyelenggaraan ilahi.. selamat jalan Pak JO.(*)