Sambut 1 Muharram, Hukum Puasa Asyura Tanpa Puasa Tasua di Tahun Baru Islam
Sambut 1 Muharram, begini hukum puasa Asyura tanpa puasa Tasua di Tahun Baru Islam.
TRIBUN-TIMUR.COM - Sambut 1 Muharram, begini hukum puasa Asyura tanpa puasa Tasua di Tahun Baru Islam.
Dua hari lagi kita akan menyambut Tahun Baru Islam 1 Muraharram 1442 H.
Tahun Baru Islam atau 1 Muharram 1442 Hijriah jatuh pada Kamis, 20 Agustus 2020.
Bulan Muharram adalah bulan pertama dalam kalender Hijriah dan termasuk salah bulan istimewa bagi umat muslim.
Bulan Muharram merupakan satu di antara bulan suci umat islam yang mempunyai keutamaan.
Maka, di bulan Muharram ini dianjurkan untuk melakukan amalan ketaatan dan kebaikan untuk memperbaiki kualitas diri.
Di antaranya puasa Asyura pada 9 Muharram (puasa Tasua) dan 10 Muharram ( puasa Asyura) atau pada kalender masehi pada 28 Agustus 2020 dan 29 Agustus 2020.
Puasa Asyura merupakan salah satu puasa sunnah yang dilakukan dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW.
Namun dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa melaksanakan Puasa Asyura juga harus diikuti dengan Puasa Tasua (puasa satu hari sebelum Asyura) atau setelah asyura, yakni tanggal 11 Muharram.
Menurut Wakil Sekretaris PWNU DIY, Ustadz Muhajir, diperbolehkan berpuasa Asyura tanpa melaksanakan puasa Tasu'a.
"Karena kedua puasa ini hukumnya sunah. Sehingga, diperbolehkan untuk melakukan satu diantaranya. Dan, Rasullullah SAW pun belum pernah melaksanakan puasa Tasu'a," katanya menjelaskan kepada Tribun Jogja, Rabu (12/8/2020).
Pernyataan Ustadz Muhajir pun diperjelas dalam Ibn Abbas RA:
عن ابن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم صام يوم عاشوراء فقالوا يا رسول الله إنه يوم تعظمه اليهود والنصارى فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: فإذا كان العام المقبل إن شاء الله تعالى صمنا اليوم التاسع، قال: فلم يأت العام المقبل حتى توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم
Terjemahannya, "Sesungguhnya Rasulullah SAW berpuasa hari Asyura, kemudian para sahabat berkata, “Wahai Rasul SAW, sesungguhnya asyura adalah hari agung bagi kaum Yahudi dan Nasrani,” kemudian Rasul berkata, “Jika tiba muharram tahun depan, insya Allah kita berpuasa di hari kesembilan. Ibn Abbas berkata, “Rasulullah wafat sebelum datang bulan Muharram tahun selanjutnya."
Hadis ini menunjukkan keinginan Rasul untuk melakukan puasa sebelum hari asyura.
Dalam hadis lain, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad juga dijelaskan bahwa Rasul memerintahkan untuk berpuasa di hari sebelum atau sesudah hari asyura, agar berbeda dengan kaum Yahudi:
صوموا يوم عاشوراء وخالفوا اليهود وصوموا قبله يوما وبعده يوما
Terjemahannya, “Berpuasalah di hari Asyura, dan jangan menyamai kaum Yahudi, berpuasalah kalian satu hari sebelumnya atau satu hari setelahnya.”
Sehingga, dalam kedua hadis tersebut, sama sekali tidak ada nash sharih (ketentuan secara jelas) keharusan untuk melakukan puasa dua hari, baik Asyura dengan hari sebelumnya, maupun Asyura dengan hari setelahnya.
Namun terkait hal tersebut memunculkan pula perbedaan pendapat antar ulama.
Di mana, Imam an-Nawawi dalam Syarh Sahih Muslim menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat terkait hal ini.
Pertama, Imam as-Syafii dan para pengikutnya menjelaskan bahwa pernyataan Nabi ingin menambah hari puasa Muharram adalah upaya menyempurnakan kebaikan puasa di bulan Muharram, walaupun ada kesan ingin berbeda dengan kaum Yahudi.
Menurut Imam as-Syafii, ada hadis lain yang menjelaskan keutamaan puasa di bulan Muharram, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalur Abu Hurairah, yaitu:
أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم
Terjemahannya, “Puasa terbaik setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.”
Dari pendapat Imam as-Syafii tersebut bisa disimpulkan bahwa menambah puasa di tanggal kesembilan Muharram sebagaimana yang ingin dilakukan Rasul adalah kesunahan bukan kewajiban dan keharusan.
Kedua, pendapat ulama yang menyebutkan bahwa puasa yang diinginkan Rasul adalah untuk tidak menyerupai kaum Yahudi.
Hal ini juga didasarkan pada hadis kedua riwayat Imam Ahmad yang telah disebutkan di atas:
صوموا يوم عاشوراء وخالفوا اليهود وصوموا قبله يوما وبعده يوما
Terjemahannya, “Berpuasalah di hari Asyura, dan jangan menyamai kaum Yahudi, berpuasalah kalian satu hari sebelumnya atau satu hari setelahnya.”
Sayangnya, hadis ini adalah hadis daif, bahkan disebutkan sebagai hadis yang mungkar oleh Imam as-Syaukani, sebagaimana disebutkan oleh al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi, Syarh Sunan at-Tirmidzi.
Dalam kasus puasa Asyura ini, Rasul malah pernah bersabda bahwa kaum muslim lebih berhak memperingati kemenangan Nabi Musa dengan berpuasa di hari Asyura, sebagaimana dilaksanakan oleh Yahudi.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Terjemahannya, “Dari Ibn Abbas RA, ketika Rasul SAW sampai di kota Madinah, Rasul melihat orang Yahudi berpuasa hari Asyura, kemudian Rasul bertanya kepada Yahudi tersebut, “Apa yang kau lakukan hari ini?” Yahudi itu menjawab, “Ini adalah hari yang baik, hari diselamatkannya Bani Israil dari para musuh-musuhnya, sehingga Nabi Musa AS. berpuasa pada hari ini.” Rasul kemudian bersabda, “Aku lebih berhak atas Musa dari pada kalian.” Kemudian Rasul berpuasa dan memerintahkan kepada para sahabat untuk berpuasa.
Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa hadis pertama di atas adalah keinginan Rasul untuk memindah puasa Asyura dari tanggal 10 ke tanggal 9.
Ada juga yang berpendapat bahwa Rasul ingin melakukan puasa di dua hari tersebut.
Nah, untuk berhati-hati (ihtiyath), maka para ulama melaksanakan puasa di dua hari tersebut, bahkan ada juga para sahabat dan tabiin, sebagaimana disebutkan dalam Umdatul Qari dan Faidhul Qadhir, yang melakukan puasa hingga tiga hari, yakni tanggal 9,10, dan 11 Muharram, dengan alasan untuk berhati-hati dengan hadis pertama di atas.
Karena hadis di atas tidak disebutkan dengan jelas, apakah Rasul ingin mengganti puasa Asyura dari tanggal 10 ke tanggal 9, atau menambah puasanya menjadi dua hari.
Untuk itu, para ulama melakukan puasa dua hari, bahkan tiga hari.
Dari tiga pendapat tersebut, Imam an-Nawawi sendiri cenderung lebih mengunggulkan pendapat yang pertama, yakni pendapat Imam as-Syafii yang menyebutkan kesunahan menambah satu hari sebelum tanggal 10 Muharram.
Pendapat Imam as-Syafii ini juga didukung dengan bukti bahwa Imam as-Syafii memperbolehkan kita hanya puasa di tanggal 10 Muharram (Asyura) saja, tanpa menambah di tanggal 9 atau 11. Akan tetapi lebih baik jika ditambah.
Hal ini disebutkan juga oleh Sayyid Muhammad Syatha’ dalam Ianatut Thalibin-nya:
وفي الأم لا بأس أن يفرده أي لا بأس أن يصوم العاشر وحده
Terjemahannya, “Dalam kitab al-Umm (karangan Imam as-Syafii) dijelaskan bahwa tidak masalah jika hanya berpuasa satu hari saja, yakni tidak masalah jika berpuasa di tanggal 10 Muharram saja.”
Menanggapi perbedaan pendapat antar ulama tersebut, Ustadz Muhajir mengatakan, apabila ditemui perbedaan pendapat pada ahli ulana maka pilihlah yang menurutmu (umat muslim) yang paling dipercaya dan tidak memberatkan.
"Memang akan sering ditemui perbedaan pendapat antar ulama, maka untuk ambilah yang menurutmu tidak memberatkan dan paling dipercaya. Karena, urusan pahala dan dosa hanya Allah SWT yang mengetahui," pungkasnya.
Niat Puasa Asyura dan Puasa Tasu'a
Berikut ini lafaz niat Puasa Tasua.
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ التَا سُوعَاء لِلهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma ghadin ‘an adâ’i sunnatit Tasû‘â lillâhi ta‘âlâ.
Terjemahannya, “Aku berniat puasa sunah Tasu‘a esok hari karena Allah SWT.”
Sedangkan niat Puasa Asyura sebagai berikut:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ ِعَا شُورَاء لِلهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma ghadin ‘an adâ’i sunnatil âsyûrâ lillâhi ta‘âlâ.
Terjemahannya, “Aku berniat puasa sunah Asyura esok hari karena Allah SWT.”(*)