Setop Menyebar! Sudah 800 Meninggal karena Hoax dan Teori Konspirasi Corona, Jemaat Juga Jadi Korban
Berhentilah menyebar! Sudah 800 meninggal karena hoax dan teori konspirasi virus corona atau Covid-19.
"Perbedaan 4 persen (SARS-CoV-2 dengan virus corona di kelelawar yang ada di Yunnan) ini secara keseluruhan. Dengan kata lain, terdapat 1.200 titik yang berbeda (4 persen kali 30.000 jumlah basa SARS-CoV-2) secara keseluruhan," jelas Ahmad.
Secara keseluruhan, perbedaan SARS-CoV-2 dengan virus corona di trenggiling memang agak jauh.
"Jadi paling dekat secara keseluruhan (perbedaan SARS-CoV-2) memang dengan kelelawar, tapi kalau dilihat pada spikenya lebih dekat dengan virus corona pada trenggiling," lanjutnya.
Pada studi-studi awal terkait virus corona penyebab Covid-19, para ahli mengatakan virus ini memiliki kemiripan dengan SARS-CoV penyebab SARS pada 2003.
Namun setelah diteliti lagi, spike pada SARS-CoV-2 dengan SARS-CoV memiliki perbedaan pengurutan gen yang sangat banyak.
"Jadi kalau misalnya saya merekayasa, membuat virus (SARS-CoV-2), kenapa saya harus mengubah titik-titik yang ada pada SARS-CoV-2. Justru yang ditemukan, setelah kita baca sekuensnya, itu sudah ada di alam, yaitu yang ada di coronavirus-nya trenggiling," jelas Ahmad.
"Dan, titiknya itu random. Ada sekitar enam titik yang berubah dan memiliki asam amino yang beda banget," tambahnya.
Ahmad menjelaskan, protein terdiri dari asam amino. Asam amino sendiri ada yang sifatnya hidrofilik atau suka dengan air dan hidrofobik yang artinya tidak menyukai air.
Ketika para ilmuwan ingin mengubah suatu fungsi, peneliti tidak akan mengubah secara drastis.
"Tapi yang terjadi pada virus corona SARS-CoV-2, perubahannya cukup drastis. Bukan cuma satu atau dua (titik), tapi enam titik," kata Ahmad.
Dikatakan Ahmad, yang menarik dari virus corona SARS-CoV-2, semakin berubah titiknya, semakin kuat ikatannya.
"Sekali lagi, kalau kita ikutin logika manusia, ini enggak masuk akal. Kenapa kita harus mengubah di enam titik yang kesannya random. Enggak ada logikanya sama sekali. Selain itu, (perbedaan yang ada) justru dapat mengikat (ke sel manusia) lebih kuat," paparnya.
2. Thermo Gun disebut berbahaya untuk otak
Thermo gun, alat pengukur suhu yang kerap kita jumpai belakangan ini, telah menjadi korban baru dari informasi palsu terkait Covid-19.
Banyak masyarakat bertanya-tanya tentang keamanan thermo gun atau alat pengukur suhu berbentuk pistol yang ditembakkan ke dahi itu. Ada yang mengatakan, thermo gun dapat menyebabkan kerusakan di otak.
Perlu diketahui dan dipahami, ini adalah informasi yang salah atau hoaks.
Dr. dr. Aru Wisaksono Sudoyo, Sp.PD-KHOM selaku Ketua yayasan Kanker Indonesia (YKI) mengatakan bahwa informasi tersebut tidak benar.
"Alat itu (thermo gun) menggunakan inframerah bukan laser," kata Aru menyanggah ucapan Ichsannuddin, dihubungi Kompas.com, Senin (20/7/2020).
Selain itu, Prof. Dr. dr. H. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB, FINASIM, FACP yang merupakan guru besar pada Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI RS Cipto Mangunkusumo juga menegaskan hal yang sama.
Ari menyampaikan, thermo gun sudah lolos uji kesehatan dan aman digunakan.
"Thermal gun sudah lulus uji kesehatan, jadi sudah diperhitungkan bahwa alat ini aman," kata Ari kepada Kompas.com, Senin (20/7/2020).
Ari yang juga merupakan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) juga menyampaikan bahwa alat ini tidak akan berpengaruh pada sistem saraf dan retina karena tidak memancarkan radiasi seperti sinar-X.
"Thermometer inframerah tidak memancarkan radiasi seperti sinar-X. Dan karena itu, tidak mempengaruhi sistem saraf termasuk juga tidak merusak retina," jelasnya.
3. Indonesia dijadikan kelinci percobaan
Pertengahan Juli lalu, Bio Farma telah menerima vaksin Sinovac dari China sebanYak 2.400 buah.
Vaksin itu akan digunakan sebagai uji klinis fase 3 yang bertujuan menguji khasiat vaksin corona dan mengetahui efektivitas dari vaksin Sinovac dalam melawan virus SARS-CoV-2.
Berkaitan dengan kabar Indonesia akan melakukan uji klinis fase 3 untuk vaksin Covid-19, sejumlah orang justru beranggapan bahwa Indonesia dijadikan kelinci percobaan.

Ahmad Utomo pun angkat bicara dan menjelaskan duduk perkaranya.
Dia mengatakan kepada Kompas.com, Minggu (26/7/2020), anggapan bahwa Indonesia dijadikan kelinci percobaan itu menyesatkan dan salah besar.
Ahmad menerangkan bahwa wilayah dengan angka penyebaran virus yang masih tinggi ideal untuk uji klinis fase 3.
"Untuk menguji efektivitas suatu vaksin, tentu idealnya kita mencari daerah hotzone, wilayah-wilayah yang infeksinya masih tinggi," terang Ahmad.
"China itu sudah terkendali. Beberapa waktu lalu mereka (China) ketemu 30 orang positif, langsung lockdown Beijing. Nah kita yang di Jakarta aja ada banyak banget, Jawa Timur dan Solo juga masih tinggi (kasus) per hari," ucapnya.
"Area-area yang tinggi seperti ini, justru malah ideal untuk menguji vaksin. Karena nanti kita bisa bandingkan, kelompok yang diberi vaksin dengan kelompok yang diberi plasebo (cairan kosong)."
Ahmad pun menegaskan, hal ini bukanlah konspirasi China. Tujuannya memang untuk mencari target yang ideal.
Perlu diingat, selain Indonesia, negara lain yang ditunjuk melakukan uji klinis fase 3 adalah Brasil dan Bangladesh.
Dari penjelasan Ahmad tersebut, informasi yang mengatakan Indonesia adalah kelinci percobaan untuk vaksin corona adalah hoaks dan menyesatkan.
Selain itu perlu diketahui, pada fase 2 uji klinis China juga melibatkan 500 relawan untuk terlibat dalam penelitian.(*)