Kasus Pengambilan Jenazah Corona
Berkas Kasus Legislator DPRD Makassar Penjamin Jenazah Covid-19 Sudah P21
Kejaksaan saat ini tinggal menunggu tahap dua atau penyerahan barang bukti dan tersangka dari penyidik ke Kejari Makassar.
Penulis: Hasan Basri | Editor: Hasriyani Latif
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Berkas kasus pengambilan jenazah pasien Covid-19 di Rumah Sakit Daya, dengan tersangka legislator Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Makassar, Andi Hadi Ibrahim dinyatakan sudah P21 atau lengkap.
Kejaksaan saat ini tinggal menunggu tahap dua atau penyerahan barang bukti dan tersangka dari penyidik ke Kejari Makassar.
"Sudah P21 semua, sekarang tinggal tahap dua," kata Kepala Kejaksaan Negeri Makassar Nurni Farahyanti kepada tribun-timur.com melalui telepon, Kamis (13/08/2020).
Kejaksaan meneliti berkas perkara dari penyidik Kepolisian Resor Kota Besar Makassar sebelum dilimpahkan ke pengadilan.
Berbeda dengan keterangan Kepala Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Makassar, Kompol Agus Chaerul.
Perwira satu bunga ini mengaku berkasnya belum P21. "Berkasnya masih di JPU. Penyidik masih menunggu hasil penelitian JPU," katanya.
Jika berkas sudah lengkap, mantan Kapolsek Mamajang ini memastikan segera menyerahkan barang bukti dan tersangka ke JPU.
Polrestabes Makassar sebelumnya menetapkan Andi Hadi Ibrahim sebagai tersangka.
Kasus tersebut bermula saat politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bersama dengan keluarga pasien datang untuk mengambil jenazah almarhum Chaidir dan meminta tidak dilakukan Protokol Covid-19.
Andi Hadi saat itu mengaku telah ada komunikasi dengan Direktur RSUD Daya Makassar Dr Ardin Sani yang mengijinkan untuk membawa jenazah pasien tersebut.
Meskipun direktur sudah menyampaikan bahwa pasien ini Covid-19 dan rawan menyebarkan penyakit jadi harus dikebumikan dengan protokol covid, namun Ibrahim Hadi memaksa dan menyampaikan massa susah dibendung.
Atas perbuatan keduanya ditetapkan tersangka diketahui pada 10 Juli 2020, setelah dilaksanakan gelar perkara .
Mereka melanggar Pasal 214, 335, 336 kuhp dan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Ancaman hukumannya selama tujuh tahun penjara.(*)