OPINI
Beragama di Tengah Pandemi Covid-19
Ini membuktikan bahwa sesungguhnya beragama, keberagamaan bahkan ritual beragama adalah sesuatu yang cair dan mungkin berubah.
Oleh: Syamsul Arif Galib
Dosen Studi Agama-Agama UIN Alauddin Makassar
Dalam sejarah keberagamaan manusia, berjamaah atau berkumpul bersama dan melaksanakan ritual keagamaan adalah bagian yang dianggap memegang peran vital dalam beragama.
Secara teologis, para penganut agama percaya bahwa melaksanakan ibadah secara bersama dapat memberikan mereka nilai pahala yang ‘berlebih’ dibanding ibadah yang dilakukan secara personal.
Secara sosiologis, ibadah berjamaah dianggap berbeda dengan ibadah sendiri karena ibadah yang dilakukan dengan berkumpul bersama mampu menghasilkan energi kolektif yang hanya muncul jika sekelompok orang melakukan hal yang sama bersama-sama.
Emile Durkheim, seorang sosiolog asal Prancis dalam bukunya The Elementary Forms of the Religious Life (1912) menyebutnya dengan sebutan Collective Effervescence atau Uforia Kolektif.
Semacam energi khusus yang luar biasa yang muncul di saat orang berkumpul bersama. Uforia kolektif yang muncul ini berfungsi dalam menyatukan dan menciptakan perasaan emosional di antara mereka yang berkumpul.
• Tebas Jagoan Kampung di Keera Wajo, Satu Pelaku Menyerahkan Diri
Uforia kolektif semacam ini dapat pula kita temukan meskipun bukan momen religius atau hal yang profan. Sebut saja dalam pertandingan sepak bola.
Itu yang menjawab kenapa seseorang akan lebih senang menonton pertandingan sepak bola secara “berjamaah” di Stadion dibanding menonton sepak bola sendiri di depan televisi di rumah mereka.
Itu karena ada energi “khusus” yang muncul di saat sesuatu dilakukan secara berjamaah. Demikian halnya ibadah.
Itu juga yang akhirnya menjawab, kenapa seseorang menemukan kenyamanan saat melaksanakan Ibadah berjamaah dibanding ketika dirinya melaksanakan Ibadah sendiri.
Sendi keberjamaahan itu yang menjadi terbatasi, ketika Pandemi Korona hadir di tengah masyarakat. Terhitung hampir semua negara di dunia berjibaku menghadapi kehadiran virus ini.
Banyaknya jumlah korban dan begitu cepatnya penyebaran virus ini sehingga kemudian di banyak negara di dunia keputusan untuk melakukan Phisycal distancing menjadi keharusan.
Konsekwensinya, segala bentuk peribadatan yang dilakukan bersama-sama akhirnya harus dihentikan untuk sementara.
Itu yang menjadi alasan kenapa masjid, wihara, candi, gereja, sinagog, gurdwara, mashriqu'l adhkar ataupun kuil ditutup untuk sementara waktu dan proses peribadatan berjamaah akhirnya hanya dapat dilakukan di rumah.
• BREAKING NEWS: 3 Pegawai Unhas Positif Corona, 2 Diantaranya dari Fakultas Kedokteran
Tentu tidak semua orang akan senang dengan kebijakan semacam ini. Sebahagian orang beranggapan bahwa kebijakan semacam ini adalah kebijakan yang anti agama.