Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Perppu Pilkada

Pakar Hukum Tata Negara UINAM: Kenapa Perppu Pilkada Tak Memuat Kampanye Medsos dan e-Voting

Syamsuddin Radjab menyinggung perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Penulis: Muh. Hasim Arfah | Editor: Hasriyani Latif
Instagram Syamsuddin Radjab
Syamsuddin Radjab 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Dosen Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM), Syamsuddin Radjab menyinggung Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Perppu Pilkada itu ditandatangani Jokowi pada Senin (4/5/2020).

Nomenklatur perppu tersebut adalah Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang.

 "Dari sisi norma tak perlu ada Perppu, beberapa pasal di dalam Perppu sudah ada di Undang-Undang Pilkada," katanya dalam diskusi webinar Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (LKBHMI), Sabtu (31/5/2020). 

Pakar Hukum Tata Negara ini mengatakan, pemerintah memasukkan pasal 120 yang memuat tentang frasa bencana non alam. 

"Pasal 120 hanya ingin memasukkan frasa bencana non alam. Di sini bencana itu adalah juga bentuk gangguan lainnya," katanya. 

Ia juga mengatakan, rancangan UU Pilkada, tak mengantisipasi adanya bencana alam seperti pandemi Covid-19 ini. 

Menurutnya, dalam pasal 122 A yang berisi Ayat (1) pasal tersebut mengatakan bahwa penundaan Pilkada 2020 dilakukan oleh KPU melalui keputusan KPU.

Pelaksanaan Pilkada lanjutan pasca penundaan pun menjadi wewenang KPU juga.

Kemudian, pada Ayat (2) disebutkan bahwa penetapan penundaan tahapan Pilkada dan penetapan Pilkada lanjutan dilakukan atas persetujuan KPU bersama pemerintah dan DPR.

"Dalam pasal 122 A juga tak pas masuknya, pasal itu soal pemilihan lanjutan atau dengan kata lain pemilu sudah terselenggara tapi saat ini pemilihan umum belum berjalan," katanya.

Perppu soal penundaan bisa berjalan jika melewati kurun waktu 2020. 

"Tak ada yang bisa ditunda kalau dalam kurun waktu 2020. Kalau sampai keinginan KPU sampai 2021 karena melewati waktu Pilkada maka itu baru wajib bisa keluar Perppu," katanya. 

Sehingga, dia menganggap memang seharusnya tak perlu mengeluarkan Perppu. 

"Yang ada hanya perubahan jadwal Pilkada, dan ini sangat dikondisikan dengan kemampuan akselerasi Pilkada. 
Soal tahapan 2020, KPU sudah mengubah dua kali. Yang ada perubahan jadwal Pilkada, bukan penundaan," katanya. 

Menurutnya, dalam Perppu no 2 tahun 2020 ini seharusnya mengatur hal-hal teknis yang bisa mengantisipasi hambatan selama masa Pandemi Covid-19. 

"Perppu misalnya soal pengaturan kampanye di media sosial, mestinya hal begitu masuk. Sehingga, hal yang menjadi hambatan teknis di Pilkada seperti soal pemungutan suara, kenapa kita berani melakukan e voting, meskipun itu wacana lama yah, tapi nampaknya hal itu relevan saat ini," katanya.  

Menurutnya, e-voting ini adalah bisa ada jalan keluar di tengah pandemi Covid-19. 

"Mestinya di Perppu memberikan izin untuk Pilkada 2020, saya tak melihat ada isi yang urgent," katanya. 

Selanjutnya, dia mengatakan, jika Pilkada 2020 dihelat dengan protokol normal maka akan memberikan biaya tambahan kepada penyelenggara. 

"Isi Perppu, ada bencana Covid-19 kemudian kedua Covid-19 menjadi bencana nasional. Kalau hanya dua ini, konsekuensi  pilkada  yang menjalankan protokol kesehatan, maka ini menjadi beban pemerintah. Penyelenggara harus menyiapkan Alat Pelindung Diri (APD)," katanya. 

Menurutnya, anggaran Rp 400 triliun lebih untuk kesehatan dan ekonomi ini memasukkan APD untuk Pilkada 2020. (*)

Langganan berita pilihan tribun-timur.com di WhatsApp

Klik > http://bit.ly/whatsapptribuntimur

Follow akun instagram Tribun Timur:

Silakan Subscribe Youtube Tribun Timur

(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved