Dampak Pelonggaran PSBB
Pj Wali Kota Kurang Paham Hukum Mungkin karena Hanya Tahu Soal Hutan, Bahaya dan Kasihan Masyarakat
Coba bayangkan, kalau besok atau lusa, PJ Walikota lewat memotong jalan di depan lampu merah, lalu....
Fajlurrahman Jurdi
Dosen Fakultas Hukum Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Seharusnya komentar pejabat itu dipikirkan dulu, apa efeknya. Karena efeknya bukan hanya soal menyuruh melanggar Aturan PSBB, tetapi ia seolah memberi signal untuk melanggar hukum.
Meskipun dalam hatinya ia bilang “silakan melanggar”, dengan cara tidak menindak yang melanggar, tapi tak perlu diucapkan.
Jika ia mengucapkan, ia akan menghancurkan sistem berpikir masyarakat tentang hukum. Ia menyuruh orang untuk tidak taat pada aturan yang buat.
Coba bayangkan, kalau besok atau lusa, PJ Walikota lewat memotong jalan di depan lampu merah, lalu ada yang menyerobot lampu merah dan ia tertabrak, apa yang anda bayangkan?. Karena itu merusak sistem berpikir masyarakat kita. Orang bisa dengan enteng melanggar hukum.
Kan di dalam peraturan tentang PSBB ada perintah, ada larangan dan ada sanksi. Pesannya pemimpin mestinya adalah, “tolong warga taati untuk kebaikan bersama”.
Bayangkan kalau sekelas PJ Walikota menyebut, saat ini “bukan aturan lagi yang menjadi acuan utama, tapi intinya adalah soal ekonomi”. Kalau orang mati gara-gara virus, bagaimana ekonomi mau jalan?
Saran saya, pemimpin itu jangan berkomentar seperti orang tinggal di hutan, tetapi pelan-pelan, beri saran yang baik, agar warga taat aturan.
Atura dibuat untuk ditaati. Ini PJ Walikota, pikirnya aturan itu dibuat untuk dilanggar. Gak begitu cara berpikirnya. Kalau yang komentar itu adalah warga biasa, bisa kita pahami.
Di dalam konsep hukum, ada sebenarnya teori mengenai ketaatan hukum.
Secara umum, orang taat itu karena dua hal, yakni: Pertama, karena kesadaran yang titik berangkatnya dari individu-individu; dan kedua, karena koersi, ada paksaan fisik dari penguasa atau Negara agar orang taat. JIka masyarakat belum memiliki kesadaran, maka Negara harus menekan agar dipatuhi.
Cristopher Berry Gray (Achmad Ali: 2012, 371), mengatakan bahwa paling tidaknya ada tiga pandangan mengapa seseorang menaati hukum:
Pertama, bahwa merupakan 'kewajiban moral' bagi setiap warga negara untuk melakukan yang terbaik yaitu senantiasa menaati hukum, kecuali dalam hal hukum memang menjadi tidak menjamin kepastian atau inkonsistensi, kadang-kadang keadaan ini muncul dalam pemerintahan rezim lalim;
Kedua dianggap pandangan tengah, adalah bahwa kewajiban utama bagi setiap orang ('prime face') adalah kewajiban untuk menaati hukum;
Ketiga, ini merupakan pandangan ekstrem kedua yang berlawanan dengan pandangan ekstrem pertama, adalah bahwa kita hanya mempunyai kewajiban moral untuk menaati hukum, jika hukum itu benar dan kita tidak terikat untuk menaati hukum.