Salat Idulfitri 1441 H
Pandemi Covid-19, Muhammadiyah Imbau Masyarakat Salat Idulfitri di Rumah
Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan Edaran tentang tuntunan salat Idulfitri dalam kondisi darurat pandemi Covid-19.
Penulis: Muh. Hasim Arfah | Editor: Suryana Anas
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah nomor 04/edr/i.0/e/2020 tentang tuntunan salat Idulfitri dalam kondisi darurat pandemi Covid-19.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Dr Haedar Nashir dan Sekretaris PP Muhammadiyah Dr Agung Danarto menandatangi surat ini.
Dalam surat ini berisi poin yakni Apabila pada tanggal 1 Syawal 1441 H yang akan datang kedaan negeri
Indonesia oleh pihak berwenang (pemerintah) belum dinyatakan bebas dari pandemi Covid-19 dan aman untuk berkumpul orang banyak maka Salat Idulfitri di lapangan sebaiknya ditiadakan atau tidak dilaksanakan.
Berikut isi suratnya:
Hal itu untuk memutus rantai mudarat persebaran virus korona tersebut agar kita cepat terbebas daripadanya dan dalam rangka sadduẓ-ẓarīʻah (tindakan preventif) guna menghindarkan kita jatuh ke dalam kebinasaan seperti diperingatkan dalam Al-Quran (Q 2: 195) dan demi menghindari mudarat seperti ditegaskan dalam sabda Nabi saw yang sudah dikutip dalam “Tuntunan Ibadah dalam Kondisi Darurat Covid-19,” yang disebut terdahulu.
Prof Haedar Nashir dalam surat ini menyatakan, karena tidak dapat dilaksanakan secara normal di lapangan sebagaimana mestinya, lantaran kondisi lingkungan belum dinyatakan oleh pihak berwenang bersih (clear) dari covid-19 dan aman untuk berkumpul banyak orang, maka salat Id bagi yang menghendaki dapat dilakukan di rumah masing-masing bersama anggota keluarga dengan cara yang sama seperti salat Id di lapangan.
Bahkan sebaliknya, tidak ada ancaman agama atas orang yang tidak melaksanakannya, karena salat Id adalah ibadah sunah. Dasar pelaksanaan salat Id di rumah adalah: pertama, Bahwa dalam melaksanakan ajaran agama dasarnya adalah kadar kemampuan mukallaf untuk mengerjakan.
Hal itu karena Allah tidak membebani hamba-Nya, kecuali sejauh kadar kemampuannya [Q 2: 286
dan 65: 7] dan apabila diperintahkan melakukan suatu kewajiban agama, maka kerjakan sesuai kemampuan (bertakwa sesuai kemampuan) [Q 64: 16 dan hadis Nabi].
Kedua, Dasar pelaksanaan salat Id di rumah, sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Bukhārī, adalah hadis Nabi saw, Ini adalah hari raya kita, pemeluk Islam’).
Meskipun sabab al-wurūd hadis ini adalah masalah menyanyi di hari raya, namun al-Bukhārī memegangi keumuman hadis ini, bahwa hari Id itu adalah hari raya umat Islam yang dirayakan dengan salat Id, sehingga orang yang tidak dapat mengerjakannya sebagai mana mestinya, yaitu di lapangan, dapat mengerjakannya di rumahnya.
Ketiga, Bahwa suatu aktivitas yang tidak diperbuat oleh Nabi saw tidak selalu merupakan hal yang tidak masyruk.
Tidak berbuat Nabi saw itu bisa merupakan sunah, yang oleh karenanya tidak boleh disimpangi, dan bisa
pula tidak merupakan sunnah sehingga dapat dilakukan.
Keempat, Pelaksanaan salat Id di rumah tidak membuat suatu jenis ibadah baru. Salat Id ditetapkan oleh Nabi saw melalui sunahnya. Salat Id yang dikerjakan di rumah adalah seperti salat yang ditetapkan dalam sunah Nabi saw.
Hanya tempatnya dialihkan ke rumah karena pelaksanaan di tempat yang
semestinya, yaitu di lapangan yang melibatkan konsentrasi orang banyak,
tidak dapat dilakukan.
Juga tidak dialihkan ke masjid karena halangannya adalah ketidakmungkinan berkumpulnya orang banyak di suatu tempat.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah menganggap dengan meniadakan salat Id di lapangan maupun di masjid karena adanya ancaman Covid-19 tidaklah berarti mengurang-ngurangi agama.
Ketika dibolehkan salat Id di rumah bagi yang menghendakinya, pertimbangannya adalah melaksanakannya dengan cara lain yang tidak biasa, yaitu dilaksanakan di rumah, karena dituntut oleh keadaan di satu sisi, dan di sisi lain dalam rangka mengamalkan bagian lain dari petunjuk agama itu sendiri, yaitu agar kita selalu memperhatikan riʻāyat al-maṣāliḥ, perwujudan kemaslahatan manusia, berupa perlindungan diri, agama, akal, keluarga, dan harta benda dan menjaga agar kita tidak menimbulkan mudarat kepada diri kita dan kepada orang lain.
Bahkan sebaliknya, tidak ada ancaman agama atas orang yang tidak melaksanakannya, karena salat Id adalah ibadah sunah.
Dalam pandangan Islam, perlidungan diri (jiwa dan raga) sangat penting sebagaimana Allah
menegaskan dalam Al-Quran, yang artinya “Barangsiapa mempertahankan hidup satu manusia, seolah ia memberi hidup kepada semua manusia” [Q 5: 32].
Menghindari berkumpul dalam jumlah banyak berarti kita berupaya memutus rantai pandemi Covid-19 dan berarti pula kita berupaya menghindarkan orang banyak dari paparan virus korona yang sangat mengancam jiwa ini.
"Semoga Allah senantiasa melindungi umat Islam dan bangsa Indonesia dari segala bahaya dalam limpahan rahmat dan karunia-Nya," tutup surat Haedar Nashir dari surat yang diterima Tribun, Selasa (19/5/2020).
Sementara itu, Sekretaris Majelis Tarjih Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan, Dr Abbas Baco menyampaikan, dalam pandemi Covid-19 ini bisa melaksanakan Salat Idul Fitri di rumah.
Menurutnya, langkah ini diambil untuk memutus rantai penyebaran Covid-19 dengan cara tak berkumpul.
Dalam salat Idul Fitri dibarengi dengan khotbah, namun Dr Abbas Baco mengatakan, khotbah bukan kewajiban sahnya salat Idul Fitri.
"Kalau khotbah, jika ada salah satu jamaah Idul Fitri yang bisa memimpin doa, memberikan nasehat, bertahmid dan menyampaikan salawat kepada nabi maka itu yang didahulukan," katanya.
Namun, jika tak ada jamaah yang bisa berkhotbah maka, jangan dipaksakan.
"Sama saja halnya ketika salat idul Fitri Anas bin Malik," katanya. (*)
Langganan berita pilihan tribun-timur.com di WhatsApp
Klik > http://bit.ly/whatsapptribuntimur
Follow akun instagram Tribun Timur:
Silakan Subscribe Youtube Tribun Timur:
(*)