Advokat Makassar: Proses Hukum Said Didu karena Laporan Luhut Pandjaitan Terkesan Sangat Dipaksakan
Advokat Makassar: proses hukum terhadap Said Didu karena laporan Luhut Binsar Pandjaitan terkesan sangat dipaksakan.
TRIBUN-TIMUR.COM - Mantan Sekretaris Kementerian BUMN RI, Muhammad Said Didu (58) akhirnya datang memenuhi panggilan pemeriksaan oleh Badan Reserse dan Kriminal atau Bareskrim Polri, Jumat (15/5/2020), sekitar pukul 10:00 WIB.
Said Didu datang didampingi tim kuasa hukumnya, setelah 2 kali mangkir dari panggilan.
Said Didu mengatakan, dirinya sebelumnya tidak memenuhi panggilan karena berharap diperiksa di rumah dengan alasan di Jakarta sedang diterapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB.
Pria asal Sulawesi Selatan ( Sulsel ) itu hingga Selasa malam, pukul 20:30 WIB, masih diperiksa penyidik Bareskrim Polri terkait dengan laporan dugaan penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan (72).
Hingga saat ini, status Said Didu masih sebagai saksi terlapor.

Kuasa hukum Luhut Binsar Pandjaitan sekaligus mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan RI melaporkan Said Didu dengan dugaan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan/atau menyebarkan kabar bohong yang dapat menyebabkan keonaran di masyarakat.
Laporan terhadap Said Didu bernomor LP/B/0187/IV/2020/Bareskrim, tanggal 8 April 2020.
Atas laporan tersebut, Said Didu yang selama ini berada di barisan oposisi sedianya diperiksa sebagai saksi pada Senin (11/5/2020).
Ini merupakan panggilan kedua untuk Said Didu.
Atas panggilan tersebut, Said Didu mengajukan permohonan agar diperiksa di kediamannya karena mempertimbangkan PSBB.
Hingga pemberitaan pada Selasa (12/5/2020), Polri mengatakan bahwa penyidik masih mempertimbangkan permintaan tersebut.
Sebelumnya, Said juga tidak memenuhi panggilan pertama pada Senin (4/5/2020), dengan alasan mematuhi ketentuan PSBB.
Asal mula tuntutan ini terjadi dari kanal YouTube Muhammad Said Didu yang diwawancarai Hersubeno Arief beberapa waktu lalu.
Dalam video tersebut, Said Didu menyoroti soal isu persiapan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) baru yang masih terus berjalan di tengah usaha pemerintah dan semua pihak menangani wabah Covid-19.
Hal inilah yang menimbulkan kegeraman Luhut Binsar Pandjaitan sehingga mengambil langkah untuk menuntut Said Didu ke ranah hukum.
Luhut Binsar Pandjaitan sudah meminta Said Didu membuat permintaan maaf dengan estimasi waktu 2x24 jam.
Namun, Said Didu dinilai tidak menyertakan kalimat permintaan maaf.
Maka dari itu, Luhut Binsar Pandjaitan melanjutkan tuntutannya ke ranah hukum.
Advokat Makassar Bela Said Didu
Berjalannya proses hukum terhadap Said Didu dinilai oleh advokat di Makassar, Sulawesi Selatan ( Sulsel ) terkesan dipaksakan.
Advokat yang mengatasnamakan diri dari Solidaritas Advokat Makassar menilai ada 6 aspek legal yang membuat proses hukum itu terkesan dipaksakan dan mengarah kepada kriminalisasi terhadap warga.
Pertama, rentang waktu pelaporan dengan terbitnya surat perintah penyelidikan amat singkat.
Kedua, proses penyelidikan dan penyidikan kasus ini berpotensi melanggar prosedur penegakan hukum yang harus memenuhi prinsip fair trial antara lain azas kepastian hukum (legalitas), persamaan di depan hukum (equality before the law) dan tidak memihak, profesional dan proporsional dalam menerapkan hukum.
Ketiga, apa yang disampaikan Said Didu dalam video tersebut sebagai bentuk penyampaian pendapat oleh warga negara yang telah dijamin undang-undang.
Keempat, jenis tindak pidana atas laporan kasus ini adalah delik aduan sementara yang mengadukan bukan langsung oleh korban, yakni Luhut Binsar Pandjaitan.
Kelima, sikap antikritik telah diperlihatkan pejabat publik setingkat menteri kordinator yang tidak mengedepankan pendekatan dialog dan menggunakan cara cara yang bermartabat dalam merespon kritik atau pendapat warga negara.
Keenam, laporan pidana kepada warga negara yang mengkritisi suatu kebijakan publik, sebaiknya mengedepankan dialog dalam rangka mediasi, sehingga proses hukumnya akan sejalan dengan prinsip keadilan restoratif (restorative justice).
"Sehubungan dengan hal tersebut, Solidaritas Advokat Makassar menilai proses hukum yang sedang dijalani oleh adalah terkesan sangat dipaksakan dan bentuk konkrit dari kriminalisasi terhadap warga negara dalam menyampaikan pendapatnya secara bebas. Adapun penilaian tersebut kami sampaikan dengan melihat dari aspek-aspek legal sebagai berikut:
1. Laporan polisi Nomor: LP/B/0187/IV/2020/Bareskrim, tanggal 8 April 2020 dan ditindak lanjuti dengan Surat Perintah Penyidikan, Nomor: SP. Sidik/218/IV/2020/Diti.Pidsiber tanggal 17 April 2020, yang kemudian menjadi dasar pemanggilan Dr. Ir. H. Muhammad Said Didu (lihat Surat Panggilan Nomor: S.Pgl/64/IV/Res.1.14/2020/Dittipidsiber tanggal 28 April 2020) tentu sangat patut di pertanyakan. Bagaimana bisa laporan polisi tanggal 8 April 2020 dan dalam rentang waktu yang singkat terbit surat perintah sidik tanggal 28 April 2020 ? dan Bagaimana proses pemeriksaan di tingkat penyelidikannya ? Mengingat Dr. Ir. H. Muhammad Said Didu belum pernah dimintai keterangan sebelumnya (dalam proses penyelidikan) ? Kapan dan bagaimana proses gelar perkara atas kasus ini sehingga telah menyimpulkan telah terjadi dugaan tindak pidana sehingga langsung ditingkatkan statusnya ke tahap penyidikan.
2. Oleh karenanya, proses penyelidikan dan penyidikan kasus ini berpotensi melanggar prosedur penegakan hukum yang harus memenuhi prinsip FAIR TRIAL antara lain azas kepastian hukum (legalitas), persamaan di depan hukum (Equality before the law) dan tidak memihak, Profesional dan proporsional dalam menerapkan hukum yakni tidak salah atau berlebih-lebihan dalam menerapkan hukum. Dimana tahapan proses penanganan perkara pidana harus dilakukan sesuai ketentuan hukum yang berlaku yakni KUHAP dan UU No. 2/ 2002 ttg kepolisian serta berbagai peraturan teknis di internal, antara lain Peraturan Kapolri (Perkap) No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian dan Perkap No. 6 Tahun 2019 terkait Managemen Penyidikan Tindak Pidana;
3. Perlu digaris bawahi dalam konteks kasus ini, pendapat atau kritik yang disampaikan oleh Dr. Ir. H. Muhammad Said Didu adalah menjalankan haknya sebagai rakyat, pemegang kedaulatan negara hukum yang demokratis (baca Pasal 1 UUD1945). Hak menyampaikan pendapat (termasuk kritik terhadap pejabat publik sebagai pemegang amanah kedaulatan rakyat), yang secara tegas telah dijamin dalam konstitusi (UUD 1945) sebagaimana diatur dalam Pasal 28 E ayat (2). Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 dan dipertegas lagi dalam ketentuan Pasal 22 ayat (20 dan ayat (3) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR), sehingga Delik Penghinaan Terhadap Pejabat Publik (Contempt of Power) sama sekali tidak dikenal dalam sistem negara hukum dan negara demokrasi.
4. Belum lagi jenis tindak pidana atas laporan kasus ini adalah delik aduan sementara yang mengadukan bukan korban langsung ? bukankah delik aduan itu hanya bisa dketahui dan dirasakan oleh orang yang merasa dirugikan/ korban langsung ? Apakah unsur perasaan dirugikan sesuai maksud Pasal 1 angka 25 KUHAP bisa dirasakan oleh orang lain sehingga orang lain boleh mewakilinya membuat pengaduan?
Pencemaran Nama Baik merupakan delik aduan sebagaimana bunyi Pasal 45 ayat (3) dan (5) UU Nomor 19 tahun 2016 perubahan atas UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka seyogyanya penyidik Mabes Polri dalam melakukan penyidikan terhadap Dr. Ir. H. Muhammad Said Didu tetap mengedepankan mediasi antara pelapor dan terlapor.
5. Sikap anti kritik yang diperlihatkan pejabat publik setingkat Menteri kordinator yang tidak mengedepankan pendekatan dialog dan menggunakan cara cara yang bermartabat dalam merespon kritik atau pendapat warga negara adalah bentuk kegagalan pemerintahan dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi yang pada masa kampanye pemilihan presiden mengedepankan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis, tidak melanggar HAM dan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik yakni kepastian hukum, tidak memihak, dan akutabilitas.
6. Laporan pidana kepada warga negara yang mengkritisi suatu kebijakan publik, sebaiknya mengedepankan dialog dalam rangka mediasi, sehingga proses hukumnya akan sejalan dengan prinsip keadilan restoratif (restorative justice) sebagaimana Surat Edaran Kapolri: SE/8/VII/2018 tentang penerapan keadilan restoratif (restorative justice) dalam penyelesaian perkara pidana;."
Demikian salinan isi siaran pers Solidaritas Advokat Makassar kepada Tribun-Timur.com.
Solidaritas Advokat Makassar diikoordinatori mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum ( LBH ) Kota Makassar, M Hasbi Abdullah dan Sekretaris, Iwan Kurniawan.
Atas pertimbangan 6 aspek di atas, Solidaritas Advokat Makassar mendesak kepada Kepala Bareskrim Polri bertindak profesional dan proporsional dalam menangani kasus ini.
Juga meminta kepada Presiden Jokowi menaruh perhatian guna menghindari terjadinya penegakan hukum yang unfair.
"Berdasarkan hal tersebut diatas maka Solidaritas Advokat Makassar (SAM) mendesak kepada:
1. Kepala Kepolisian RI cq. Kabagreskrim Mabes Polri dalam menangani kasus ini bertindak secara profesional, proporsional sesuai Prinsip Fair Trial dan Persamaan di depan hukum;
2. Meminta kepada Presiden Jokowi untuk memberikan atensi atas kasus ini (laporan pidana yang diajukan oleh Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Kordinator Kemaritiman dan Investasi RI) guna menghindari terjadinya penegakan hukum yang unfair dan berpotensi merusak sistem penegakan hukum dan tananan negara NKRI yang berasaskan hukum dan demokrasi sesuai amanah konstitusi (UUD 1945)," demikian isi siaran pers tersebut.(*)