Virus Corona
Jokowi Minta 'Berdamai dengan Corona', Guru Besar Unhas Ingatkan soal PSBB Terancam Dihentikan Warga
Jokowi minta "berdamai dengan Virus Corona'', Guru Besar Unhas ingatkan soal PSBB terancam dihentikan warga
MAKASSAR, TRIBUN-TIMUR.COM - Hingga pekan kedua Mei 2020, pemerintah belum menetapkan kapan masa kedaruratan penanganan Corona Virus Disease 2019 atau Covid-19 di Indonesia berakhir.
Namun merujuk hasil rapat kabinet terbatas (ratas) virtual, Selasa (12/5/2020), Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengingatkan kembali masyarakat agar "berdamai dengan Corona.”
"Tadi berkembang wacana pelonggaran PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), presiden mengingatkan agar semua langkah yang diambil berdasarkan data akurat, fakta perkembangan lapangan, dan regulasi yang ada,” kata Juru Bicara Presiden Jokowi Fadjroel Rachman saat menjadi pembicara pertama di dialog via web (webilog) Forum Dosen Majelis Tribun Timur, Selasa (12/5/2020) sore.
Doktor ilmu sosial politik Universitas Indonesia ini menegaskan, di masa ketidakpastian kapan adanya vaksin global Covid-19 ditemukan, maka “Immune is king, discipline (PSBB) is queen.”
Menyitir resume rapat daring di Istana Negara, Fadjroel Rachman mengingatkan lagi, pemerintah menyiapkan skenario birokrasi dan anggaran menghadapi penanganan Covi-19 ini hingga tahun 2020.
Di mata pemerintah, selama sebulan Pembatasan Sosial Berskala Besar di 4 provinsi dan 14 kota/kabupaten, terlihat adanya penurunan angka infeksi dan dampak fatal wabah ini, sejak diumumkan resmi jadi bencana nasional 10 Maret 2020 lalu.
Selain Jubir Kepresidenan, webilog bertema Proyeksi Covid-19 dan Arah Kebijakan Belajar Daring ini juga menghadirkan 4 pemantik dialog.
Rektor Unhas Prof Dr Dwia Aries Tina Palubuhu, Rektor Unismuh Prof Dr Rahman Rahim, Guru Besar Fakultas Kedokteran Unhas Prof Irawan Yusuf PhD.
Dari webilog yang diikuti 5 pimpinan perguruan tinggi negeri dan swasta, 31 guru besar, 17 doktor lintas kampus di Indonesia, dan otoritas dan lembaga bidang pendidikan, terungkap bahwa, “Ada atau tak ada wabah belajar daring sudah menjadi kebutuhan peserta didik, pendidik dan institusi pendidikan untuk mengakses ilmu pengetahuan."
Kebijakan pemerintah hanyalah instrumen, untuk mempermudah ‘tools” belajar era new normal ini.
Justru yang harus diwaspadai adalah jika kepemimpinan pemerintah level nasional, lokal, institusional, dan operasional tak bisa merespon ‘kondisi darurat’ ini, masyarakat yang gamang akan mengambil keputusan kolektif sendiri.
Kebijakan pembatasan sosial ini semakin menyengsarakan kehidupan warga, dan di sisi lain, akses kecepatan test Covid-19 lambat, dan vaksin teratifikasi oleh WHO yang ditunggu tak kunjung datang, maka tak menutup kemungkinan, warga akan menghentikan sendiri “PSBB” ini dan kembali ke kehidupan normal.
“Yang harus diwaspadai adalah, jika PSBB ini berakhir secara sosial. Social ending. Masyarakat yang sudah capek dengan segala pembatasan, hambatan sosial, kesulitan ekonomi, dan di sisi lain pemerintah lokal juga sudah capek karena selalu ditekan masyarakat, maka tak menutup kemungkinan, social ending ini jadi pilihan, “ kata Prof Irawan Yusuf PhD.
Jubir Presiden pun manggut-manggut mendengar analisa dari Guru Besar Ilmu Kedokteran Unhas ini.
Irawan Yusuf mengingatkan, satu pekan terakhir, fenomena adanya kejenuhan dari masyarakat dan pernyataan pemimpin lokal, mulai mengkonfirmasikan adanya kecenderungan "social ending" itu.
Mengutip analisis sejarah pandemi wabah dunia, Irawan Yusuf menyebutkan social ending adalah satu dari dua cara mengakhiri pandemi.
Yang pertama adalah penanganan medik dan pemanfaatan infrastruktur kesehatan masyarakat, seperti yang dijalankan 2 bulan terakhir.
Kejenuhan dan kebingungan publik ini bisa membuncah, jika data korban Covid-19 yang disampaikan menunjukkan kurva landai, sementara fakta lapangan kebijakan pembatasan mobilitas orang, mulai banyak dilanggar, di sisi lain, pemerintah terkesan diskriminatif.
Selain pilihan medik, kata Irawan Yusuf, ada juga pilihan bahwa biarkan populasi membentuk imunitasnya sendiri secara alami.
“Sudah biarkan saja, infeksi ini berjalan. Kalau sudah 60 persen warga yang terinfeksi dan mereka tetap sehat. Makan akan timbul kekebalan, imunitas dalam satu populasi," kata dokter di RS Siloam Makassar ini.
Namun kebijakan "pembembentukan imunitas” ini sangat berisiko, dan akan menelan ongkos ekonomi, dan sosial yang sangat besar.
Dicontohkan, kebijakan Perdana Menteri Inggris Borris Johnson dan PM Belanda Mark Rutte, adalah dua pemimpin negara maju yang cenderung memilih kebijakan “self immune” ini.
Andai kebijakan ini ditempuh, Irawan Yusuf mencontohkan kota Makassar.
Dengan 1,5 juta populasi, misalnya yang terpapar 60 persen, berarti sekitar 600 ribu akan terinfeksi.
Lalu, angka kematian diambil rata-rata 4 persen, berarti akan ada 36 ribu warga yang meninggal dunia.
Namun siapkah fasilitas dan layanan rumah sakit menghadapi ini?
“Ini risikonya terlalu besar, lama, dan akan memakan ongkos besar. Disiplin menerapkan PSBB, memassifkan test PCR, sambil menunggu datangkan vaksin, adalah langkah terbaik yang bisa dilakukan.”
Jumlah Kasus Kembali Melonjak Tajam
Juru bicara pemerintah untuk penanganan Virus Corona, Achmad Yurianto, mengumumkan bahwa masih ada penambahan kasus Covid-19 di Indonesia.
Berdasarkan data pemerintah hingga Rabu (13/5/2020) pukul 12.00 WIB, total ada 15.438 kasus Covid-19 di Indonesia, sejak kasus pertama diumumkan pada 2 Maret 2020. Jumlah tersebut disebabkan adanya 689 kasus baru Covid-19 dalam 24 jam terakhir.
Hal ini diumumkan Achmad Yurianto dalam konferensi pers dari Graha BNPB pada Rabu sore sebagaimana dikutip dari Kompas.com.
"Kasus konfirmasi positif yang kita dapatkan hari ini bertambah 689 orang, sehingga totalnya 15.438 orang," ujar Achmad Yurianto.
Adapun, jumlah tersebut terdiri dari 15.243 orang yang diketahui positif Virus Corona berdasarkan pemeriksaan polymerase chain reaction atau PCR dan 195 orang berdasarkan pemeriksaan tes cepat molekuler.
Dalam periode yang sama, data pemerintah juga memperlihatkan ada penambahan 224 pasien Covid-19 yang dinyatakan sembuh.
Mereka sudah menjalani dua kali pemeriksaan spesimen dan dinyatakan negatif Virus Corona.
Dengan demikian, total pasien yang sembuh kini ada 3.287 orang.
Namun, masih ada kabar duka dengan adanya pasien Covid-19 yang meninggal dunia.
Ada 21 pasien yang tutup usia setelah dinyatakan mengidap Covid-19 dalam sehari.
Penambahan itu menyebabkan secara akumulatif ada 1.028 pasien Covid-19 yang meninggal dunia.
"Inilah data-data yang kami dapatkan. Yang kami yakini penularan di masyarakat masih terjadi," ujar Achmad Yurianto.
Menurut Achmad Yurianto, kasus Covid-19 tercatat di 379 kabupaten/kota dari 34 provinsi atau semua provinsi yang ada di Indonesia.
Pemerintah juga telah berupaya meningkatkan pemeriksaan spesimen terkait Covid-19.
Hingga saat ini sudah dilakukan pemeriksaan 169.195 spesimen dari 123.572 orang.
Artinya, satu orang menjalani lebih dari satu kali pemeriksaan spesimen.
Secara khusus, diketahui bahwa ada 168.557 spesimen yang diperiksa dengan metode real time polymerase chain reaction (PCR) dan 638 spesimen berdasarkan tes cepat molekuler.
Dari jumlah 123.572 orang yang diperiksa, diketahui bahwa ada 15.438 orang yang hasilnya positif, dan 108.134 orang yang hasilnya negatif.
Pemeriksaan ODP dan PDP Selain itu, Yuri juga memaparkan ada 256.999 orang yang saat ini berstatus orang dalam pemantauan (ODP).
Jumlah OPD itu naik 4.438 orang dari sehari sebelumnya.
Kemudian, diketahui ada 33.042 orang yang berstatus pasien dalam pengawasan (PDP).
Jumlah PDP ini bertambah 895 orang dibandingkan sehari sebelumnya.(*)