Inspirasi Ramadan 1441 H
Jangan Jadi Orang Angkuh di Hadapan Tuhan, Berdoalah! Tapi Doa Bukan Proposal, Doa Adalah Perintah
komunikasi telah menggeser kebutuhan pokok yang lain. Kalau sudah keasikan chatting di WA grup, mandi dan sikat gigi pun pun kadang tidak penting lagi
Oleh
Afifuddin Harisah
Pembina Pondok Pesantren An Nahdlah Makassar/Akademisi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
TRIBUN TIMUR.COM, MAKASSAR - Dalam masa physical distancing, apalagi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) seperti sekarang ini, orang tetap tidak mau kehilangan komunikasi dengan keluarga dan teman-teman sejawatnya.
Berbagai media dan aplikasi disediakan oleh provider untuk kebutuhan tersebut. Seakan kebutuhan komunikasi telah menggeser kebutuhan pokok yang lain. Kalau sudah keasikan chatting di WA grup, mandi dan sikat gigi pun pun kadang tidak penting lagi.
Namun, yang lebih penting dan utama dari itu semua adalah komunikasi dengan Tuhan. Semua agama mengajarkan pentingnya berkomunikasi dengan Tuhan, meski dengan cara yang berbeda-beda.
Sebagai ciptaan (makhluq), manusia sejatinya tidak lepas dari kontrol dan koneksi dengan Sang Pencipta (al-Khaliq), sebagaimana produk mi instan (indomie) yang menyebar di seluruh pelosok, tetap dalam kontrol Indofood sebagai pencipta.
Olehnya itu, Allah memberi kita media komunikasi dan jaringan langsung untuk berkoneksi kepada Nya, yaitu doa.
Ulama kita sering mengajarkan bahwa jangan melihat doa sebagai bentuk permohonan ketika Anda butuh kepada Allah.
Doa bukan proposal. doa adalah amalan yang diperintah dalam Al-Quran, bahkan disebutkan bahwa setiap doa pasti dikabulkan.
Jika itu diperintahkan oleh Allah, maka hukum doa adalah wajib dan merupakan ibadah. Intinya, berdoalah karena Allah perintahkan kita untuk meminta dan Allah senang mendengarkan doa-doa yang kita panjatkan. Dikabulkan atau tidak, diperoleh apa yang kita minta atau ditunda, itu urusan Allah.
Terkait perintah berdoa, saya pernah Salat Jumat di satu masjid di sekitaran Jalan Batua Raya, Makassar. Selain saya, seorang anak muda yang juga bertugas sebagai muazzin.
Setelah Salat Jumat, imam memimpin doa dan saya dan jamaah di shaf depan ikut mengangkat tangan dan mengaminkan doa imam, kecuali anak muda tersebut. Dia hanya duduk termenung dan sesekali matanya memandang sekitar. Tidak satupun kata amin keluar dari bibirnya.
Setelah selesai, saya bertanya kepada anak muda itu, “Tadi saya lihat Anda tidak ikut berdoa, sementara kita semua berdoa. Kenapa tidak ikut? Apakah anda tidak suka berdoa?”
Dia langsung menjawab, “Salat kan adalah doa. Jadi tidak perlu lagi berdoa setelah salat. Lagi pula berdoa berjamaah setelah salat apalagi mengangkat tangan itu bid’ah. Nabi tidak pernah berdoa berjamaah.”
Saya terdiam sejenak lalu bertanya, “ Dari mana Anda tahu Nabi tidak pernah berdoa bersama sahabat-sahabatnya?’ Jawabnya, “Penjelasan dari guru saya di ta’lim begitu ustad.”
Di perjalanan pulang saya merenung. Apakah betul Nabi tidak pernah memimpin doa bersama saat salat berjamaah bersama sahabat-sahabatnya, sementara format (shigat) doa Nabi yang kita pelajari dari hadis-hadis hampir seluruhnya menyebut kata ganti jamak bermakna “kami”? Rabbanaa, Allahumma Inna nas’aluka, Allahumma irzuqnaa dan sebagainya, bukan “aku.”
Orang yang tidak mau berdoa dan merasa tidak butuh berdoa, sebenarnya adalah ‘keangkuhan’ di hadapan Allah, yang justru memerintahkan kita untuk bermohon kepada-Nya.
Kepada sesama manusia saja kita kadang memelas menyodorkan proposal. Mau berdoa atau tidak, itu adalah pembuktian apakah kita masih butuh ‘bertuhan’ atau tidak.(*)
Tulisan Inspirasi Ramadan 1441 H Afifuddin Harisah terbit di Tribun Timur cetak selama Ramadan 1441 H/2020