Kisah Mayjen TNI Eks Menhan Ditilang Polantas, Kapolda Minta Maaf, Jawaban Poniman 'Saya yang Salah'
Kisah Mayjen TNI Eks Menhan Ditilang Polantas, Kapolda Minta Maaf, Jawaban Poniman 'Saya yang Salah'
TRIBUN-TIMUR.COM - Selain KASAD Mayor Jenderal Bambang Soegeng yang pernah ditilang Polantas, satu lagi petinggi TNI yang tak marah dan membanggakan jabatannya sebagai Jenderal TNI meski ditilang oleh anggota polisi.
Dia adalah Mayjen TNI Poniman pria yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) TNI dan juga pernah menduduki jabatan sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam).
Kisah Poniman ditilang polantas ini terjadi saat dirinya menjabat sebagai Panglima Kodam (Pangdam) Jaya.
Kapolda Metro saat itu dijabat oleh Mayjen Pol Widodo Budidarmo yang di kemudian hari menjabat sebagai Kapolri.
Kisah yang terjadi pada tahun 1970an diceritakan Jenderal Purn Poniman dalam Biografi Kapolri Jenderal Widodo Budidarmo yang diterbitkan Mabes Polri.
Ceritanya saat hari libur Poniman jalan-jalan menyetir mobil sendiri.
Namun kemudian disetop oleh seorang polantas.
Poniman yang waktu itu tidak membawa surat kendaraan lengkap menerima saja saat ditilang.
Sang Polantas yang tak mengetahui siapa pria yang disetopnya tersebut lalu menilang Poniman.

Sang Jenderal juga enggan memperkenalkan siapa dirinya dan legowo saja saat si Polantas menilangnya.
Namun beberapa hari kemudian Kapolda Metro Jaya meneleponnya.
Dia menanyakan kepada Poniman kebenaran telah ditilang oleh anak buahnya.
Kapolda waktu itu Mayjen Widodo sampai meminta maaf karena anak buahnya tak mengenalinya.
Widodo juga memerintahkan anak buahnya untuk mengembalikan uang tilang kepada Mayjen Poniman.
Poniman yang menganggap masalah tersebut telah selesai mengatakan dirinya juga bersalah waktu kena tilang karena tidak membawa surat-surat lengkap.

Widodo yang tetap tidak enak memerintahkan Kepala Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya datang ke Kodam Jaya untuk mengembalikan uang tilang
Tak bisa bertemu dengan Mayjen Poniman, uang tersebut akhirnya ditipkan kepada ajudannya.
Disaat menjabat Poniman dan Widodo memang terkenal sebagai sosok yang sangat dekat.
Poniman lahir di Surakarta, 18 Juli 1926 dan meninggal di Jakarta, 30 April 2010.
Sementara itu Widodo Budidarmo lahir di Surabaya, Jawa Timur, 1 September 1927 meninggal di Jakarta, 5 Mei 2017.
Widodo Budidarmo juga merupakan mantan Kapolri periode 1974 - 1978.
Jenderal Widodo meninggal dunia di Jakarta dalam usia 89 tahun, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Bambang Soegeng Ditilang Saat Berkendara di Jogja
Selain tegas, berani dan berjiwa patriot, anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga taat aturan dan mesti berani meminta maaf saat salah.
Sosok perwira TNI yang satu ini mencontohkan bagaimana seorang anggota TNI berani mengakui salah saat ditilang polisi karena melanggar aturan lalu lintas.
Adalah Mayor Jenderal Bambang Soegeng Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD) yang memberikan teladan tersebut.
Bambang Soegeng yang waktu itu berpangkat Mayor Jenderal menurut saja saat disetop seorang anggota polisi.
Cerita ini Tribunjambi.com nukil dari buku Panglima Bambang Sugeng, Panglima Komando Pertempuran Merebut Ibu Kota Djogja Kembali 1949.
Buku tersebut ditulis oleh Edi Hartoto dan diterbitkan Penerbit Buku Kompas tahun 2012.
Berawal dari Bambang Soegeng yang berkendara sepeda motor di jalanan Yogyakarta pada tahun 1952.
Saat itu Bambang yang getol naik sepeda motor sedang berkunjung ke Yogyakarta, Ia pun meminjam sepeda motor milik Haryadi seorang pelukis di Jogja.
Tanpa menggunakan seragam dan hanya berpakaian sipil Bambang lalu jalan-jalan melaju menggunakan sepeda motor pinjaman tersebut.
Sampai di Perempatan Tugu, di sekitaran Jalan Malioboro Bambang tak sengaja melanggar lampu lalu lintas.
Waktu itu lampu lalu lintas menyala kuning, disangkanya sehabis kuning lampu hijau yang akan menyala.

Bambang pun melajukan kendaraannya, namun bukannya lampu hijau yang menyala ternyata malah lampu merah.
Tak ayal seorang petugas kepolisian yang bertugas di lokasi tersebut langsung menyetop Bambang.
Meski seorang Jenderal dan orang nomor satu di TNI AD namun Bambang menyadari kesalahannya menurut saja saat polisi tersebut menasehatinya.
Usai panjang lebar menasehati Bambang Soegeng, polisi itu lalu meminta Bambang Soegeng menunjukkan SIM miliknya.
Saat ditunjukkan betapa terkejutnya polisi tersebut mengetahui identitas pria yang disetopnya tersebut merupakan Jenderal TNI AD.
"Siaap Pak!" si polisi spontan langsung berdiri tegak memberi hormat.
Entah apa yang berkecamuk dalam pikirannya ketika dirinya mengetahui yang diberhentikan dan diceramahinya seorang Kepala Staf TNI AD.
Namun bukannya marah, Bambang Soegeng malah mengaku salah dihadapan anggota polisi tersebut.
Bambang Soegeng juga tak lalu menggunakan kekuasaannya supaya lolos dari hukuman karena melanggar aturan lalu lintas.
"Memang saya yang salah. Saya menerima pelajaran dari Pak Polisi," kata Bambang Soegeng.
Bahkan kabar tentang Bambang Soegeng yang ditilang polisi tersebut keesokan harinya masuk berita di sebuah koran di Yogyakarta.
Bambang Soegeng merupakan sosok perwira TNI yang memberikan teladan untuk selalu taat aturan dan tidak mentang-mentang berkuasa.
Endang Ruganika, putri sulung Bambang Soegeng mengisahkan hal lain soal kepatuhan ayahnya berlalu lintas.
Saat itu Bambang Soegeng hendak pergi ke Jawa Tengah. Namun saat sampai Cirebon, dia baru sadar SIM ketinggalan.
"Bapak menyuruh pembantu pulang ke Jakarta untuk mengambil SIM," tulis Endang dalam buku tersebut.
Dikutip dari Wikipedia, Bambang Sugeng lahir di Tegalrejo, Magelang, 31 Oktober 1913 dan meninggal di Jakarta, 22 Juni 1977 pada umur 63 tahun.
Selain berkarier di dunia militer, Bambang juga pernah menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Vatikan, Jepang, dan Brasil.
Memimpin Serengan Umum 1 Maret Rebut Jogja
Bambang Sugeng pernah memimpin pasukan TKR pada saat Agresi Militer I (1947) dan Agresi Militer II (1948).
Selain itu ia juga termasuk perwira yang terlibat dalam perencanaan Serangan Umum 1 Maret 1949.
Sebagai penguasa teritorial, Bambang mengendalikan jalannya pertempuran di wilayah Divisi III Jawa Tengah dan Yogyakarta pada masa 1948-1949.
Dari tangan pria kelahiran Magelang itu muncul Perintah Siasat dan Intruksi Rahasia untuk melakukan perang propaganda terhadap Belanda.

Dengan posisinya yang senior kemudian Pemerintah menunjuknya untuk menjadi wakil Panglima Besar Sudirman atau Wakil 1 Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) mulai 21 September 1944 hingga 27 Desember 1949.
Pada bulan Juni 1950 Bambang diangkat menjadi Panglima Divisi I/TT V Jawa Timur.
Sosoknya yang bisa diterima semua pihak yang menjadikanya satu-satunya alternatif bagi Presiden Soekarno saat mengangkatnya sebagai KASAD setelah mencopot AH Nasution yang dianggap mendalangi Peristiwa 17 Oktober.
Bambang menggunakan pendekatan unik khas Indonesia yaitu musyawarah untuk menyatukan para perwira TNI yang terbelah akibat Peristiwa 17 Oktober dan menghasilkan Piagam Djogja 1955.
Piagam yang meredam friksi di dalam militer membuat Soekarno yang pada akhirnya mengangkat kembali AH Nasution menjadi KASAD.
Bambang juga yang memprakarsai pencatatan setiap prajurit TNI atau Nomor Registrasi Pusat NRP yang kemudian ditiru pada pencatatan organisasi sipil atau Nomor Induk Pegawai NIP.
Setelah berhasil menyatukan kembali para perwira TNI Angkatan Darat melalui Piagam Djogja 1955, Bambang mengundurkan diri sebagai KASAD pada tanggal 8 Mei 1955.
Artikel ini telah tayang di Tribunjambi.com dengan judul Polantas Tilang Mayjen TNI, Kapolda Turun Tangan Minta Maaf, Jawaban Poniman 'Saya yang Salah'