Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Memperkuat Fungsi Public Relations dalam Menjaga Reputasi Brand

Padahal Peran PR semakin luas di era revolusi industri 4.0, baik itu yang menjadi bagian Corporate Communications atau Marketing Communications.

Editor: Sakinah Sudin
Dok Romano Bhaktinegara
Romano Bhaktinegara, Media Communications Strategist & Public Speaker 

Oleh Romano Bhaktinegara

Media Communications Strategist

TRIBUN-TIMUR.COM - Hingga menjelang akhir tahun 2019, masih banyak orang belum memahami apa dan bagaimana fungsi Public Relations (PR) yang sebenarnya.

Sebagian masih menganggap fungsi PR hanya berperan sebagai pendukung di bangku cadangan, utamanya dalam membuat dan mendistribusikan Press Release, baik terkait informasi perusahaan, atau mengenai peluncuran produk baru.

Selanjutnya, mengatur jalannya kegiatan konferensi pers, dan memantau berita yang naik di media massa. Layaknya pemain cadangan, PR hanya akan dianggap penting dan dipanggil kalau terjadi krisis saja.

Padahal Peran PR semakin luas di era revolusi industri 4.0, baik itu yang menjadi bagian Corporate Communications atau Marketing Communications. Di tengah arus informasi yang berkembang pesat pada era teknologi digital membuat setiap orang bisa mendapatkan informasi yang seringnya masih berupa opini, namun pada akhirnya bisa membentuk fakta.

Public Relations di era Revolusi Industri 4.0 dituntut untuk lebih kreatif, bold atau percaya diri, interaktif, mengoptimalkan peranan media sosial, serta semakin gesit dan agresif.
Public Relations di era Revolusi Industri 4.0 dituntut untuk lebih kreatif, bold atau percaya diri, interaktif, mengoptimalkan peranan media sosial, serta semakin gesit dan agresif. (Dok Pribadi)

Selain itu semakin banyaknya saluran media sosial, membuat aktivitas masyarakat bergeser, dari yang awalnya dilakukan di dunia nyata, menjadi lebih seru di dunia maya, mulai dari silaturahmi hingga caci maki.

Salah satu yang harus dijaga dalam perusahaan adalah reputasi, hal yang penting tetapi sering tidak menjadi bagian dari target yang ditetapkan, mungkin juga karena sulit untuk diukur parameternya.

Padahal di semua perusahaan atau organisasi, reputasi merupakan hal yang penting karena akan berpengaruh terhadap hubungan antara internal perusahaan dengan sejumlah stakeholder’s. Reputasi yang baik akan memperkuat hubungan positif perusahaan maupun suatu brand dengan para stakeholder’s.

Beberapa krisis PR yang bisa menjadi pelajaran misalnya dari kasus Bukalapak, sempat menjadi trending topic di Twitter pada 14 Februari 2019 lalu.

Ada puluhan ribu twit untuk mengajak pengguna menghapus aplikasi Bukalapak, akibat twit dari Founder dan CEO Bukalapak Achmad Zaky.

Dalam cuitannya Achmad Zaky membandingkan data dana riset Indonesia dengan negara-negara lain, kemudian menulis "Mudah-mudahan presiden baru bisa naikin.”

Cuitannya pun menimbulkan polemik dan beberapa jam viral dengan tagar #uninstallbukalapak.

Para netizen yang budiman ramai-ramai kampanye berhenti menggunakan aplikasi tersebut. Mungkin maksud sebenarnya baik, dan ingin riding the moment, memang saat itu bersamaan dengan masa kampanye Pilpres 2019. Tapi ternyata tidak semua moment bisa di riding ya, meniru bahasa anak Jakarta Selatan.

Kasus menarik berikutnya adalah dari iklan tarif promo roaming internasional yang membuat krisis di PT Indosat.

Dengan kreasi kalimat “Liburan ke Aussie lebih mudah dibanding ke Bekasi” yang menyebabkan sebagian warga Bekasi tersinggung, bahkan hingga kantor PT Indosat di Bekasi saat itu diserbu masyarakat yang melakukan unjuk rasa memprotes iklan tersebut dengan membuang kartu SIM Indosat karena dianggap telah mengejek kota Bekasi.

Maksudnya ingin riding the moment juga, kota Bekasi saat itu memang ramai di media sosial, karena dianggap memiliki suhu panas, tekstur jalan banyak yang rusak, dan berdebu, hal ini membuat para netizen berkreasi menciptakan meme lucu yang beragam tentang Bekasi.

Ada juga kasus materi promosi produk baru, kala itu Indosat Ooredoo bekerja sama dengan iflix, sebuah aplikasi layanan VOD yang menyediakan streaming film.

Dengan tujuan menghadirkan konten yang berkualitas secara gratis, dipromosikan poster salah satu serial tv populer yang tayang di iflix berjudul The Americans, mengisahkan dua agen Uni Soviet yang menyamar menjadi seorang warga di Amerika ketika perang dingin untuk mencuri informasi rahasia.

Namun iklan tersebut pada salah satu papan reklame diturunkan secara paksa oleh pihak berwenang, karena ada gambar palu arit, yang menjadi visual bendera Uni Soviet kala itu, namun dinilai identik dengan simbol terlarang.

Bukan kesalahan dari tim pemasaran juga, karena poster tersebut memang materi jadi yang diberikan pihak studio melalui iflix, kalau diubah malah menjadi salah karena bisa dianggap melanggar hak cipta.

Namun berkat kesigapan tim Marketing Communications dan PR, krisis ini tidak sampai berlarut-larut dan tidak memberikan kerugian besar terhadap perusahaan.

Saya yang saat itu masih bekerja di Indosat Ooredoo sebagai Head ATL Media, PR, & Internal Communications, akhirnya diminta pimpinan untuk membuat Marketing & Communications Guidelines, untuk menjadi pedoman terkait apa yang boleh, dan apa yang tidak boleh dalam pemasaran pada semua medium seperti media massa, OOH, digital, hingga aktivitas PR dan kegiatan masyarakat.

Semua materi pemasaran saat itu harus ditinjau dahulu oleh bagian PR sebelum bisa diproduksi dan ditayangkan.

Beberapa rekan saat itu mungkin ada yang membenci saya karena dianggap membatasi kreativitas, bahkan ada juga yang mengatakan seolah powerful karena semua materi kalau tidak dikasih lampu hijau oleh PR tidak bisa ditayangkan, mungkin kurang lebih semacam lembaga sensor jadinya.

Namun setelah saya secara pribadi memberikan pengertian, rekan-rekan pun akhirnya paham, karena justru PR berfungsi sebagai tameng pelindung, kalau sampai ada krisis malah yang akan disalahkan ya bagian PR karena sudah meloloskan materi yang berpotensi menyebabkan masalah dan menimbulkan kerugian.

Dalam diskusi saya bersama Arifaldi Dasril, Co-Founder and Communications Director Magnifique, sebuah PR Agency ternama di Jakarta, peran Public Relations saat ini dituntut untuk lebih kreatif, bold atau percaya diri, interaktif, mengoptimalkan peranan media sosial, semakin gesit dan agresif, tapi juga tetap menjaga prinsip kehati-hatian.

“Pada prinsipnya, setiap krisis bisa mengancam reputasi perusahaan ataupun brand. Di era industri 4.0 saat ini, peran media sosial memang besar, baik itu menyampaikan pesan-pesan dari perusahaan ataupun kampanye pemasaran, hingga kegaduhan opini masyarakat yang akhirnya menjadi bola liar akan suatu masalah. Ketika terjadi krisis maka penting dilakukan komunikasi secara intensif antara PR dengan media termasuk media sosial, publik, pelanggan, dan stakeholder’s lainnya. Mitigasi krisis seharusnya dimulai sesegera mungkin dalam rentang golden hour untuk menciptakan presepsi positif, salah satunya bahwa perusahaan peduli dengan kepentingan publik.” ujar Arifaldi.

PR dalam sebuah perusahaan harus bekerja secara matrix karena memiliki tanggung jawab besar, PR merupakan pintu utama pertukaran informasi, dari internal perusahaan kepada sejumlah stakeholder’s, dan begitu juga sebaliknya.

PR yang kuat memiliki interelasi baik antara bagian-bagian yang fungsional dengan wilayah kerjanya, pihak yang berkaitan harus saling memberikan informasi yang diperlukan. Untuk mewakili perusahaan dengan, PR butuh akses menyeluruh terkait performa perusahaan dan juga ekspektasi dari para stakeholder’s.

PR harus mampu mendistribusikan informasi perusahaan, yang boleh disampaikan, namun seringnya masih bersifat terlalu teknis menjadi informasi yang mudah dipahami oleh stakeholder’s terutama masyarakat dan media.

Saat bekerja sebagai wartawan selama hampir 7 tahun, saya sering mendapat Press Release yang butuh waktu lama untuk mencerna, dengan susunan kalimat beranak bercucu, panjang kali lebar dengan bahasa-bahasa jargon, yang ketika dibaca tentunya seperti polusi mata.

Di sisi lain, PR harus bisa menangkap berbagai informasi dari masyarakat luas setiap saat, dan disampaikan secara sistematis ke pihak yang tepat di dalam perusahaan, tanpa membuat gaduh dan mengganggu kondisi internal.

PR juga harus bisa menjadi responsif tapi bukan berarti menjadi reaktif. Peran media sosial di era sekarang memang luar biasa besar, serta punya daya jangkau secara luas dan cepat.

Perusahaan harus bisa merespons dan memahami dinamika media sosial yang menjadi saluran komunikasi publik mainstream masyarakat sekarang ini.

Masyarakat lebih senang menyampaikan kekecewaan terhadap suatu brand melalui media sosial, karena merasa yakin bisa langsung dibaca oleh petinggi perusahaan dengan menandai atau tag akun-akun penting, kalau perlu sampai akun Presiden RI juga ikut di tag apapun masalahnya.

Bila reputasi jatuh, dibutuhkan sumber daya yang besar untuk bisa memulihkan keadaan. Fungsi PR yang kuat akan bisa menjaga reputasi dari sebuah brand, atau meminimalkan kerugian yang terjadi akibat sebuah krisis. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved