ASN dalam Pilkada Serentak
Keerlibatan Aparatur Sipil Negara dalam politik praktis dimasa reformasi saat ini tidak bisa dipisahkan dari masa lalu dalam tradisi kepemiluan bangsa
Oleh: Munawir Ariffin
Komisioner KPU Kabupaten Polewali Mandar
KETERLIBATAN Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam politik praktis dimasa reformasi saat ini tidak bisa dipisahkan dari masa lalu dalam tradisi kepemiluan bangsa kita.
Fakta tentang politisasi birokrasi dan sejarah keterlibatan ASN dalam setiap momentum politik pada masa Orde Baru (Orba) nyata memberi dampak dan pengaruh yang bersifat kesinambungan.
Dapat kita lihat bahwa keterlibatan ASN dalam pemilihan umum baik pada tingkat nasional (presiden/wakil presiden) maupun dalam tingkatan lokal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak.
Kerentanan ASN dalam politik praktis dan ketelibatan dukung mendukung calon ini biasanya karena iming-iming jabatan ataupun faktor kedekatan dengan salah satu calon kepala daerah yang akan bertarung dalam pilkada.
Sehingga demi mempertahankan jabatan maupun kedekatan antara ASN dan calon kepala daerah yang bertarung dalam pilkada, menjadikan ASN sebagai modal dan mesin politik untuk memenangkan pilkada.
Selain itu, Dede Mariana (2006) dalam tulisan berjudul Reformasi Birokrasi Pemerintah Pasca Orde Baru menyebut budaya patrimonial dalam diri birokrasi Indonesia membawa akses negatif dalam bentuk patologi birokrasi. Rekrutmen tidak didasarkan pada rasionalitas tapi berdasarkan kedekatan personal.
Kemudian untuk mempertahankan hubungan antara pemimpin dan bawahan maka bawahan akan berusaha mempererat hubungan impersonal sehingga muncul fenomena korupsi, kolusi, dan nepotisme melalui upeti, penyalahgunaan wewenang, dan lain-lain.
Dalam upaya untuk membatasi keterlibatan ASN dalam politik praktis, sebenarnya pemerintah telah melakukan berbagai perbaikan peraturan perundang-undangan agar dapat mencegah Pegawai Negeri Sipil (PNS) terjerumus dalam kegiatan politik praktis.
Baik melalui UU No 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian maupun UU yang lebih spesifik mengatur netralitas dan pelarangan ASN dalam terlibat sebagai pengurus partai politik dan bersifat netral melalui UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Fakta Pilkada Serentak
Dalam beberapa undang-undang Pilkada maupun Pemilu, sebenarnya aturan pembatasan, bahkan ancaman pidana terhadap ASN yang terlibat dalam politik praktis, bahkan yang terbaru sekalipun termaktub dalam UU No 10 Tahun 2016 dan UU No 7 Tahun 2017, juga telah memberi warning terhadap perilaku terlarang tersebut.
Ini dapat dilihat dari fakta dan fenomena Pilkada Serentak kita yang telah dilakukan dalam kurun satu dasawarsa ini, semisal pada tahun 2015, 2017, dan 2018.
Dalam beberapa temuan Bawaslu RI maupun laporan dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) RI, pada Pilkada Serentak tahun 2015 misalnya, terjadi setidaknya 56 kasus pelanggaran netralitas ASN.
Selain itu, dalam temuan Bawaslu RI, pada Pilkada Serentak tahun 2017 mendapat 19 laporan yang melibatkan 53 orang ASN terindikasi tidak netral dan melakukan pelanggaran yang melibatkan camat, kepala dinas, sekretaris daerah, bupati, dan staf pemerintahan daerah.
Yang lebih signifikan pada Pilkada Serentak tahun 2018, Bawaslu RI menemukan sekitar 500 pelanggaran ASN yang ditindaklanjuti oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).
Tetapi tetap saja tidak bisa dihindarkan di mana keterlibatan ASN dalam politik praktis baik pemilihan umum maupun pilkada terus terjadi.
Bahkan dalam kasus temuan Bawaslu Kabupaten Polewali Mandar tahun 2018 dimana ditemukan sekitar 17 ASN yang terlibat berdasarkan laporan dari masyarakat (Data Bawaslu 2018). Terkait permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti penyebab keterlibatan ASN.
Fakta-fakta temuan kasus keterlibatan dan pelanggaran yang dilakukan ASN pada setiap momentum Pilkada Serentak, tentu menjadi problem bagi seluruh penyelenggara dan stakeholder yang konsen dalam rangka melakukan upaya pencegahan terhadap praktik terlarang dalam setiap penyelenggaraan pemilu maupun pilkada serentak yang dilaksanakan.
ASN tentunya adalah profesi fungsional abdi negara yang mendapat tunjangan keprofesian dari negara.
Tentu tugas dan fungsinya sesuai dengan bidang keprofesionalnya, misalnya guru tugasnya mengajar, staf kantor tugasnya melayani masyarakat dalam kebutuhan administrasi.
Namun ada juga ASN yang ikut terlibat dalam politasi birokrasi dengan harapan jika terlibat dalam salah satu tim pemenangan pasangan calon (paslon) tertentu dapat membuat karirnya naik, belum lagi jika paslon yang diusung terpilih menjadi kepala daerah. Dan masih banyak motif lain yang membuat ASN terlibat politik praktis.
Menurut data Bawaslu Kabupaten Polman, pada tahun 2018, secara umum motif dan tujuan para ASN terlibat dalam politik praktis khususnya dalam Pilkada adalah tentang kekuasaan yaitu kenaikan pangkat dan jabatan dalam karir kedinasan.
Sehingga para ASN yang terlibat dalam politik praktis tidak segan untuk ikut terlibat dalam kampanye pasangan calon (paslon), berkunjung ke rumah paslon, bahkan secara terang-terangan mengunggah atau memposting dukungan paslon di media sosial.
Dalam beberapa kajian lainnya, ASN/PNS juga selama ini menghadapi dilema, terutama apabila calon petahana atau incumbent mencalonkan diri kembali sebagai kepala daerah untuk kedua kalinya.
Intimidasi secara tidak langsung sering dihadapi, tidakan netral dianggap tidak mendukung, hal ini akan berpengaruh pada karir dan jabatan yang diduduki oleh ASN/PNS saat ini.
Oleh karena itu, fungsi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan sistem merit dalam pengelolaan manajemen kepegawaian ASN yang dilakukan oleh KASN dan Badan Kepegawaian Nagara (BKN), khususnya terkait dengan pengangkatan dalam jabatan, promosi, dan mutasi perlu diperkuat.
Problem Administrasi
Sejatinya, konsekuensi dari penerapan demokrasi prosedural yang telah kita laksanakan saat ini, masih memiliki celah dalam rangka politisasi pelaksanaan pemilu ataupun pilkada. Sehingga upaya kita agar terus mengembangkan demokrasi secara subtantif (nilai-nilai demokrasi) harus terus dilakukan.
Menurut Kaldor dan Veivoda (1997), kita bisa menilai potensi Indonesia menjadi demokrasi sejati dengan mempertimbangkan kemampuan cabang administrasi mengubah dirinya sendiri menjadi badan layanan publik sejati yang dipercayai rakyat.
Republik ini dalam sejarahnya telah dilakukan beberapa kali upaya reformasi terhadap birokasi dengan tujuan membuat fungsinya sebagai lembaga netral yang bekerja melulu untuk kepentingan publik.
Tetapi setiap kali dilakukan, upaya perombakan ini dihadang oleh elit penguasa yang memiliki “vest interest” mengendalikan sumber daya manusia dan finansial yang dikelola oleh birokrasi.
Sebagai akibatnya, birokrasi publik selama ini selalu klientelistik, bergantung pada elit penguasa dan partisan. Selama Orde Baru, birokrasi ini juga menjadi mesin memobilisasi rakyat dalam Pemilu agar sesuai dengan keinginan Soeharto.
Pada akhir Orde Baru, beberapa langkah awal dilakukan oleh pemerintah, sebagai bagian dari persyaratan tuntutan oleh Bank Dunia dan kreditur asing, untuk mereformasi administrasi pemerintahan sesuai dengan anjuran kaum neo-liberal.
Buku karya Osborne dan Gaebler, Reinventing Government (1993) menjadi bacaan wajib bagi para birokrat. “Good governance” menjadi buah bibir banyak tokoh perombak birokrasi. Tetapi hasilnya masih terus dijanjikan. Wallahua’lam Bishawab.(*)