Ini Memoriam Sulastomo
Terungkap Setelah Mantan Ketua Umum PBHMI Meninggal Dunia, HMI vs PKI & HMI vs PKI, Juga Dana Abadi
Senior KAHMI Sulsel menyebar tulisan in memoriam Sulastomo di Group WhatsApp.
Tanpa dukungan NU, Bung Karno tak berani melangkah. NU yang memberikan gelar “waliyul amri dharuri bis-syaukah (pemegang kekuasaan negara darurat) kepada Bung Karno, menjadikan Sang Pemimpin Besar Revolusi makin “terikat” dengan jebakan politik Nahdhiyyin. Sedangkan Dr. Subandrio, adalah orang kepercayaan Bung Karno yang telah teruji kesetiaannya.
Bung Karno sangat mempercayai Dr. Subandrio, sehingga mengangkatnya sebagai ketua BPI yang membawahi seluruh jaringan intelejen baik di sipil maupun militer.
Sulastomo muda yang cerdik, sengaja mempererat silaturahmi dengan dua tokoh itu.
Ketika yel-yek PKI “Bubarkan HMI” makin membahana, Tom muda mohon kepada kedua beliau agar mempengaruhi Bung Karno untuk tidak memenuhi permintaan PKI. Ketika PKI mendesak Bung karno agar membubarkan HMI, Subandrio benar-benar memenuhi permintaan Tom muda.
Subandriomenyarankan Bung Karno agar tidak membubarkan HMI. Alasannya, nanti umat Islam marah. Sedangkan Saifuddin Zuhri – tokoh NU yang saat itu jadi Menteri Agama – berani menantang Bung Karno.
“Kalau Presiden membubarkan HMI, hari ini juga saya mundur dari kabinet.” Konon, Bung Karno terkejut melihat keberanian Saifuddin Zuhri membela HMI.
AncamanKH Saifuddin Zuhri membuat Bung Karno berpikir dua kali mengabulkan tuntutan PKI untuk membubarkan HMI.
Sebab jika Saifuddin Zuhri mundur dari Kabinet, itu artinya sama dengan NU tidak lagi mendukung Bung Karno.
Secara politik ini membahayakan. Akhirnya Bung Karno memetuskan: menolak permintaan PKI untuk membubarkan HMI.
Tom menang! Dan itulah jasa terbesar Tom muda dalam memperjuangkan Islam di Indonesia. Nurchlolish Madjid yang menggantikan Tom di HMI setelah kepemimpinannya, memuji peran Sulastomo yang gagah dan cerdik itu. Tanpa keberanian dan diplomasi yang handal dari Sulastomo, kata Nurchlolish Madjid – mungkin HMI hanya tinggal kenangan!
Tom adalah tokoh mahasiswa yang terlibat langsung dalam hiruk pikuk politik menjelang peristiwa G30S PKI. Ia tak hanya berhasil menyelamatkan HMI, tapi juga menjadi saksi perjuangan rejim Orde Baru dalam menyelamatkan Indonesia dari cengkeraman PKI. Tom, di samping membangun relasi dengan ulama, juga dengan militer yang anti-PKI, terutama dengan Jenderal Soeharto.
Pak Tom di hari tuanya, seperti diceritakan Amidhan, sahabat dekatnya – merasa heran, kenapa generasi muda Indonesia antipati terhadap Pak Harto yang menyelamatkan Indonesia dari kremusan PKI. Fitnah-fitnah terhadap Pak Harto yang menyatakan Jenderal Bintang Lima itu terlibat dalam kup deta – sangat merisaukan Pak Tom. Kenapa ada orang lebih mempercayai Cornell Paper yang menyatakan Peristiwa Gestapu adalah akibat konflik internal Angkatan Darat ketimbang pengkhianatan PKI? Aneh bin ajaib! -- ujar Pak Tom yang tahu banyak peristiwa G30S PKI. Beliau heran terhadap sikap para pengamat yang tak terlibat langsung pada tragedi itu menyalahkan Pak Harto.
Tahun 1955, pada Pemilu demokratis pertama, PKI (Partai Komunis Indonesia) berada di empat besar partai pemenang Pemilu. Setelah itu, perkembangan PKI sangat cepat. Kedekatannya dengan penguasa dan janji-janjinya yang memukau rakyat kecil – terutama pembagian tanah secara merata – menjadikan PKI seperti penyelamat untuk kehidupan petani miskin. Di pihak lain, kaum buruh menatap masa depannya penuh harap. Karena PKI menjanjikan, jika ia menguasai negara, buruh bukan lagi pekerja di pabrik; tapi pemilik pabrik itu sendiri. Buncahan harapan itulah yang menjadikan wong cilik tertarik PKI.
Perjalanan PKI dengan ideologi marxisme- materialisme yang atheistis ini, ternyata berhasil memukau rakyat kecil. Bahkan Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno menempatkan komunisme dalam narasi besar Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Nasakom adalah tiga pilar yang -- menurut Bung Karno -- harus menjadi landasan pembangunan bangsa Indonesia. Ketiga pilar itu harus berjalan seirama.
Bagaimana fakta lapangannya? Komunisme sebagai ideologi PKI, tak hanya bertentangan dengan prinsip kaum agamawan yang ber-Tuhan, tapi juga bertentangan dengan prinsip kaum nasionalis yang menempatkan Pancasila sebagai ideologi negara. Dengan demikian, integrasi Nasakom sulit terjadi. Yang mengejutkan kemudian, Nasakom jadi “instrument” PKI untuk memojokkan musuh-musuh politiknya. Dengan mudah, PKI mengecap musuh- musuh politiknya sebagai kaum Anti-Nasakom. Jika sudah demikian, negara pun akan memojokkannya.