Riba Hasanah, Adakah?
Ia menjelaskan rangkaian sejarah perilaku orang Arab pra-Islam yang ketika hutangnya telah jatuh tempo, meminta penangguhan yang disertai dgn tambahan
Oleh: Azwar Anwar
Mahasiswa Pascasarjana UIN Alauddin
Riba secara bahasa berarti meningkatkan, penambahan, ekspansi atau pertumbuhan. Dalam syariah, secara teknis mengacu pada “premium” yang harus dibayar oleh peminjam kepada pemberi pinjaman bersama dengan jumlah pokok sebagai kondisi untuk pinjaman atau untuk perpanjangan jatuh tempo. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Manzur (dalam Chapra 2008) menetapkan bahwa “Apa yang dilarang adalah jumlah tambahan, manfaat atau keuntungan yang diterima pinjaman apa pun.”
Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam buku A’lam al-Muwaqqiin riba ada dua macam: Jali dan Khafi. Jali telah dilarang karena bahaya besar yang dibawanya dan Khafi telah dilarang karena itu merupakan instrumen untuk Jali . Karenanya larangan terhadap yang pertama bersifat mutlak sementara yang terakhir adalah pencegahan.
" Jali adalah riba al-Nasiah dan ini adalah apa yang terlibat dalam selama Jahiliyyah, seperti mengizinkan penundaan pembayaran pokok terhadap kenaikan, dan setiap kali ada penundaan, ada peningkatan. Adapun riba al-fadl telah dilarang untuk menutup akses ke riba al-Nasih” (Ibn al-Qayyim, 1968, vol. 2, hlm. 154-55). Menurut Ibn Qudamah al-Miqdasi, larangan riba al-fadl melibatkan pertukaran satu komoditas dengan dirinya sendiri dan mencakup semua komoditas yang dipertukarkan berdasarkan volume atau berdasarkan beratnya
terlepas dari apakah jumlah yang dipertukarkan kecil, seperti satu kurma untuk dua dua kurma atau satu biji-bijian untuk dua butir. Sebagaimana diterangkan dalam hadis riwayat Muslim No. 1584.
Larangan dan hukuman bagi pelaku riba sangat jelas dan berat. Bahkan Allah dan RasulNya akan memeranginya sebagaimana dijelaskan dalam Alquran surah al-Baqarah [2] ayat 279 dan surah an-Nisá ayat 161. Hanya saja, terjadi silang pendapat beberapa ulama dan
cendekiawan muslim mengenai bunga bank. Para ulama dan cendekiawan muslim yang berpegang pada paradigma bahwa setiap utang-piutang yang disyaratkan ada tambahan atau manfaat dari modal adalah riba, walaupun tidak berlipat ganda.
Namun, beberapa cendekiawan dan ulama seperti Al-Tabarî (w. 923 M), dalam menafsirkan Alquran surah Âli Imrân [3]: (130), ia menjelaskan rangkaian sejarah perilaku orang Arab pra-Islam yang ketika hutangnya telah jatuh tempo, meminta penangguhan yang
disertai dengan tambahan berupa kelipatan hutang, sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Mujahid, bahwa riba ad’afan muda’âfah (berlipat ganda) merupakan riba jahiliyah. Maka berdasarkan hadis ini, ia berpendapat bahwa riba yang diharamkan hanyalah riba yang sama dengan yang dipraktekkan di masa jahiliyah, sedangkan riba jenis lain tidak diharamkan.
Senada dengan pandangan Rasyid Rida (w. 1935 M) (dalam Fadel 2007) , yang memuji aturan era Ottoman yang menempatkan suku bunga maksimum pada pinjaman transaksi yang dianggap konsisten dengan aturan definitif Alquran yang melarang penggandaan hutang sementara pada saat yang sama memperhitungkan kesejahteraan orang atau kebutuhan.
Pendapat lain yang ikut mendukung adanya riba jenis lain yang tidak diharamkan dikemukakan oleh Abdullah Yusuf Ali dan Muhammad Asad (tulisan Hasyim dalam Jurnal Studia Islamika, 2008) yang berpendapat bahwa bunga yang diharamkan adalah riba yang berlipat ganda (tidak wajar), sementara bunga yang tidak berlipat ganda boleh, termasuk dalam kategori ini bunga bank yang dipraktekkan pada saat ini.
Perbedaan pendapat ini dilatarbelakangi adanya perbedaan penafsiran mufassirin terhadap ayat-ayat tentang riba. Pengharaman riba (usurios) dalam Islam berdasarkan pertimbangan-pertimbangan moral dan kemanusiaan sebab esensi pelarangan riba adalah
penghapusan segala bentuk praktik ekonomi yang menimbulkan kezaliman dan ketidakadilan.
Ábd al-Razzaq al-Sanhuri (1895–1971) seorang professor dan konseptor yang merevisi hukum perdata Mesir, membahas doktrin riba secara panjang lebar dalam karyanya, masadir al-haqq fi al-fiqh al-Islami, menyimpulkan bahwa pinjaman berbunga tidak secara mutlak tunduk pada doktrin riba, tetapi hanya melibatkan quasi-riba dan harus diperlakukan sebagai jenis riba antara kelebihan atau riba menunda.
Menurut Mardani dalam bukunya, Ayat-ayat dan Hadis Ekonomi Syariah (2019: 18), “bunga tabungan adalah HALAL dan tidak haram sebab uang yang ditabung bukanlah piutang dari pemilik kepada pos (bank-red) dan pos juga tidak meminjam kepada pemiliknya tetapi
pemilik uang itu sendiri dengan sukarela datang ke kantor pos minta supaya uangnya diterima (disimpan).” Pemilik uang tidak menentukan bunga atau jumlah tambahan yang harus dikembalikan pos serta dengan rela uangnya digunakan untuk keperluan pengembangan usaha.
Selanjultnya, dengan usaha yang terus berkembang dan menghasilkan banyak laba akan memberikan manfaat kepada karyawan, pemerintah dan tentu saja penabung yang didalamnya tidak terdapat unsur pemerasan, penipuan dan penindasan. Kerja sama ini, menurutnya, belum dikenal para ahli fiqih kita dahulu sewaktu mereka membicarakan bentuk-bentuk serikat dan menentukan syarat-syaratnya.
Perbedaan pendapat di kalangan ulama dan cendekiawan muslim hendaknya dipandang sebagai sebuah rahmat. Penegasan pada prinsip bahwa setiap penambahan atas pokok pinjaman adalah riba dapat dipandang sebagai tindakan yang mengutamakan kehati-hatian (prudential), sedangkan kecenderungan menganggap bahwa bunga bank bukanlah riba dapat dipandang sebagai tindakan yang mengutamakan kemaslahatan (maslahah) dan bahkan beberapa berpandangan sebagai keadaan darurat dikarenakan bila seseorang terpaksa berutang dengan membayar bunga, maka keterpaksaan itu menghilangkan dosa dari perbuatannya sebagaimana dijelaskan di dalam Q.S. Al Anám ayat 119. Sebagai gambaran, apakah sebuah perusahaan yang mempekerjakan ratusan karyawan yang terancam tutup namun masih berpeluang menjadi sehat kembali dengan cara mengambil kredit berbunga ke Bank dapat dikatakan darurat? Wallahu
álam bisshawab.(*)