Berburu Keadilan yang Memulihkan
Restorative justice atau jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai keadilan restoratif atau keadilan yang memulihkan
Oleh: Andi Haidir Indar SH
Pembimbing Kemasyarakatan Pertama Bapas Kelas I Makassar - Indonesian delegates for UNODC Restorative Programmes, Bangkok-Thailand
KEADILAN sejak dahulu kala telah menjadi bahan kajian semua pihak, mulai dari para pemikir/filsuf, politikus maupun para ahli hukum. Namun apabila timbul pertanyaan tetang keadilan, tidak bisa ditentukan ukuran apa yang digunakan untuk menentukan sesuatu itu adil atau tidak, sebab tidak ada formulasi khusus untuk ukuran atau cetakan baku Keadilan itu sendiri.
Berbagai jawaban tentang keadilan jarang bahkan tidak pernah ada yang memuaskan, sehingga terus menjadi perdebatan. Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa definisi keadilan merupakan rumusan yang relatif. Persoalan ini pada akhirnya mendorong banyak kalangan untuk mengambil jalan pintas dengan menyerahkan perumusan keadilan kepada Pemerintah sebagai pemangku kebijakan dalam membuat Undang-Undang atau seorang Hakim yang akan merumuskannya berdasarkan pertimbangan mereka sendiri dalam memutus suatu perkara.
Syahdan, penulis berkesempatan menjadi salah satu perwakilan Indonesia untuk menghadiri Training Workshop on Restorative Justice Programmes yang diselenggarakan oleh UNODC (United Nation Office Drugs and Crime) bekerjasama dengan Thailand Institute of Justice (TIJ). Kegiatan yang berlangsung 3 (tiga) hari di Negeri Gajah Putih tersebut menghadirkan para praktisi hukum dari sejumlah Negara di Asia Tenggara, untuk bersama-sama mempelajari "standar" tentang Keadilan yang memulihkan (restorative justice).
Apa itu Restorative Justice?
Restorative justice atau jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai keadilan restoratif atau keadilan yang memulihkan adalah suatu pendekatan yang didasarkan pada prinsip dasar bahwa perilaku kriminal tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga merugikan orang lain dan masyarakat. Konsekuensinya, pendekatan terhadap keadilan yang menawarkan tanggung jawab kepada pelaku dan mereka yang terkena dampak dari kerugian tersebut untuk mendapatkan kesempatan berpartisipasi dalam proses yang dirancang untuk mengatasi kerusakan, kehilangan dan bahkan mungkin cedera yang disebabkan oleh suatu tindakan pelanggaran pidana, dengan berembuk bersama untuk menekan kemungkinan terulangnya tindakan pidana.
Pelibatan beberapa pihak dalam mencapai suatu kesepakatan restoratif diasumsikan pada pernyataan bahwa "Person is not the problem, but problem is the problem". Fokus orientasi penyelesaian perkara ditujukan pada proses identifikasi permasalahan utama hingga terjadinya perkara/pidana dan bagaimana seluruh pihak dapat terlibat untuk mencapai rumusan putusan yang berkeadilan dan memulihkan.
Putusan tersebut seyogianya dapat mencakup rujukan ke program-program seperti reparasi, restitusi dan layanan masyarakat, yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan individu dan kolektif serta tanggung jawab para pihak dan mencapai reintegrasi korban dan pelaku.
"Proses restoratif" didefinisikan sebagai proses apa pun di mana korban dan pelaku, dan, jika sesuai, setiap individu atau anggota masyarakat yang terkena dampak kejahatan, berpartisipasi bersama secara aktif dalam penyelesaian masalah yang timbul dari kejahatan tersebut, umumnya dengan bantuan seorang fasilitator.
Siapa yang berpartisipasi dalam keadilan restoratif? Karena fokus keadilan restoratif adalah kerugian yang ditimbulkan oleh peradilan pidana, pertanyaan kuncinya adalah: "Siapa yang terkena dampaknya?" Pertanyaan ini mengarah langsung ke korban kejahatan.
Para korban, menurut Deklarasi PBB tentang Prinsip-prinsip Dasar Keadilan untuk Para Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan tahun 1985 adalah “orang-orang yang, secara individu atau bersama-sama, telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau kerugian substansial tentang hak-hak dasar mereka, melalui tindakan atau kelalaian yang melanggar hukum pidana yang berlaku di Negara-negara Anggota, termasuk undang-undang yang melarang tindak pidana penyalahgunaan kekuasaan ”.
Deklarasi tersebut juga memasukkan dalam definisi “ korban ”, yang jika diperlukan mencakup keluarga dekat atau tanggungan korban langsung dan orang-orang yang telah menderita kerugian. Dalam praktiknya, program keadilan restoratif kadang-kadang harus juga berurusan dengan apa yang disebut kejahatan tanpa korban, atau pelanggaran yang tidak melibatkan bahaya langsung atau kerugian pada seseorang. Ada juga situasi di mana para korban tidak menyadari bahwa mereka telah menjadi korban, atau para korban tidak ada atau tidak dapat dilacak, atau telah menjadi korban di negara lain (seperti yang sekarang dimungkinkan melalui penipuan yang dibantu komputer). Akhirnya, ada situasi di mana korban bukan individu, tetapi mungkin berupa entitas perusahaan.
Pertanyaan penting kedua adalah: "Siapa yang bertanggung jawab atas sebuah kerusakan/kerugian?" Ini mengarah pada keterlibatan dengan pelaku. Dalam kebanyakan kasus dalam sistem peradilan pidana, pelaku didefinisikan oleh pengakuan bersalah atau hukuman untuk tindak pidana, sehingga Negara hadir melalui putusan Hakim berdasarkan Undang-undang yang berlaku. Tak jarang "hubungan sosial" atau bahkan kekerabatan terputus saat terjadi sebuah tindakan pidana. Hal unik biasanya akan terjadi saat masing-masing pihak merasa "tidak puas" untuk sebuah putusan pengadilan, pihak korban merasa hukuman tidak cukup, disisi lain pihak pelaku atau terpidana merasa putusan terlalu berat, dan makin unik lagi pengamat dari masyarakat yang tidak ada kaitan justru memiliki preferensi tersendiri untuk permasalahan keadilan dalam putusan tersebut. Tidak asing bagi masyarakat +62 bukan?
Keadilan restoratif didasarkan pada premis bahwa kejahatan merupakan tindakan yang merugikan pribadi. Ini tidak berarti bahwa signifikansi sosial dan dampak kejahatan diabaikan, namun bagaimana model keadilan restoratif memberi peran bagi masyarakat untuk turut berpartisipasi karena sangat dimungkinkan masyarakat juga nantinya dapat terkena dampak secara tidak langsung, atau bahkan akan menjadi calon korban potensial di masa mendatang.
Pada akhirnya kerelaan pelaku untuk bertanggungjawab demi menjumput kembali "respect" dan "dignity" sebagai hakikat dasar sebagai manusia dan kepuasan korban dalam menentukan apa hal yang bisa memperbaiki kerusakan dari sebuah tindak pidana, serta pulihnya kondisi masyarakat seperti sedia kala sebelum terjadinya sebuah tindak pidana menjadi tujuan utama Keadilan Restoratif. Pendekatan restoratif setidaknya adalah upaya untuk mau mendengarkan dan melibatkan semua pihak untuk duduk bersama mengembalikan martabat manusia tanpa mengesampingkan esensi dari sebuah kata bernama Keadilan.