Gugat Ayah Kandungnya Gara-gara SPBU, Ini Sejarah Ibrahim Merintis Usaha di Parepare
Pada saat itu, Pertamina (SPBU) Soreang dikelola oleh kakak kedua Ibrahim, yaitu Mukhtar Ibrahim mulai tahun 1990.
Penulis: Darullah | Editor: Imam Wahyudi
Hanya Ibrahim Mukti yang menentang dan memilih menggugat melalui pengadilan.
Ibrahim bersama saudara menjadi pemegang saham PT Imam Laega Jaya Bersama.
Namun, sebagai pemegang saham di perusahaan keluarga, dia meminta jatah lebih dari hasil penjualan SPBU warisan orang tuanya.
4. Sebut anaknya durhaka
Menanggapi gugatan anaknya, Abd Mukti Rachim berkali-kali mengatakan bahwa Ibrahim Mukti anak durhaka dan tidak tahu diri.
“Sudah durhaka itu, anak durhaka, anak durhaka, tidak tahu diri, sudah diberi anu (harta warisan) menuntut lagi,” kata Abd Mukti Rachim di Pengadilan Negeri Parepare.
"Saya tidak ampuni dia, saya besarkan, sekolahkan. Saya berikan SPBU, tapi masih saja menuntut lagi saham bohong-bohong," kata dia geram.
Lebih lanjut, kata Abd Mukti Ibrahim, saham diberikan kepada anaknya hanya sekadar formalitas sebagai syarat pendirian perusahaan pengelola SPBU.
Kendati demikian, SPBU itu tetap diwariskan kepada anaknya.
5. Saling lapor kepada polisi
Selain menggugat ayahnya, Ibrahim Mukti juga melaporkan Abd Mukti Ibrahim kepada polisi dengan dalih pemalsuan tanda tangan.
Namun, sang ayah balik melaoporkan putranya.
"Dilaporkan juga ke polisi," kata Abd Mukti Ibrahim kepada jurnalis.
Pernikahan Tak Direstui, Anak Gugat Ibu soal Warisan
Kasus anak gugat orang tua gegara harta tak hanya terjadi di Parepare, Sulsel.
Seorang anak menggugat ibunya ke pengadilan karena tidak diberi warisan.
Menurut pengacara, anak wanita tersebut tak diberi warisan karena pernah menolak warisan dan pernikahannya tidak direstui.
Kasus itu pun disidangkan di Pengadilan Negeri Kota Probolinggo, Rabu (7/8/2019).
Sidang dengan hakim ketua Eva Rina Sihombing dan hakim anggota Sylvia Yudhiastika dan Isnaini Imroatus, tersebut dihadiri penggugat, Annete Sugiharto (40) didampingi penasihat hukumnya, Muhammad Huna.
Sementara tergugat hanya dihadiri penasihat hukumnya, yakni Djando Gadhohoka.
orang tua yang digugat bernama Meliana Anggreini (68), warga Jalan Gatot Subroto, Kota Probolinggo, Jawa Timur.
Meliana merupakan orang tua Annete yang tinggal di Kelurahan Jati, Kecamatan Mayangan, Kota Probolinggo.
Selain ibunya, Annete juga menggugat kakak kandungnya, Julius Sugiharto (42) dan adiknya, Trifena Sugiharto.
Tak hanya itu, turut tergugat Notaris Dwiana Juliastuti dan kepala Kantor Pertanahan Kota Probolinggo.
Melalui penasihat hukumnya, Annete Sugiharto mengatakan, ia menggugat orang tua sendiri, kakak dan adiknya, setelah mengetahui lahan dan rumah yang ditempati saat dirinya masih kecil hingga dewasa (sebelum nikah) berganti nama ibunya.
Padahal, sebelumnya, lahan seluas 984 meter persegi tersebut diberi Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atas nama ayahnya, almarhum Eddy Lok.
Di sertifikat yang baru tersebut, nama kliennya tidak tercantum. Padahal Annete anak sah pasangan suami istri Eddy Lok dan Meliana Anggreini.
“Annete tidak dimasukkan sebagai ahli waris. Padahal, dia anaknya. Notaris hanya memasukkan 2 anak Meliani Anggreini,” kata Huna.
Huna menambahkan, tidak benar bahwa kliennya telah membuat surat penolakan.
"“Klien saya tidak pernah membuat surat keterangan penolakan pemberian ahli waris. Ia menolak kalau rumahnya dijual. Kalau ditempati ibu dan 2 saudara kandungnya, tidak masalah,” katanya.
Sidang yang berlangsung lima menit itu diputuskan agar dilakukan mediasi, sesuai saran majelis hakim. Sidang akan dilanjutkan pekan depan.
Sementara itu, Djando Gadhohoka, penasihat hukum para tergugat berharap, mediasi menemui titik temu.
Menurutnya, munculnya gugatan lantaran anak atau putri kedua kliennya tidak kebagian waris.
Kliennya tidak memasukkan Anneta sebagai ahli waris, karena tahun 2004, Annete pernah membuat surat pernyataan menolak harta warisan.
Surat penolakan itu akan ditunjukkan nanti di depan hakim.
Menurutnya, Annete tidak diakui sebegai anak oleh ibunya, karena pernikahan dengan seorang pria tidak disetujui.
Bahkan hingga usia pernikahan Annete sekitar 14 hingga 15 tahun, yang bersangkutan dan suaminya tidak pernah menjenguk.
Annete pulang menemui ibunya setelah mendengar bahwa lahan dan rumah orang tuanya hendak dijual.
“Ibunya sudah tidak mau karena sebelumnya penggugat menolak alias tidak akan meminta warisan. Jadi, penggugat sudah tidak dianggap anaknya," kata Djando.(tribun-timur.com/kompas.com)