TRIBUN WIKI
Mengenal Sosok Mohammad Yamin dalam Kongres Pemuda II, Jadi Tokoh Pendorong Bahasa Indonesia
Mengenal Sosok Mohammad Yamin dalam Kongres Pemuda II, Jadi Tokoh Pendorong Bahasa Indonesia
Penulis: Desi Triana Aswan | Editor: Anita Kusuma Wardana
Mengenal Sosok Mohammad Yamin dalam Kongres Pemuda II, Jadi Tokoh Pendorong Bahasa Indonesia
TRIBUN-TIMUR.COM-Berbicara tentang Sumpah Pemuda, kurang afdol rasanya jika tak mengenang salah seorang pahlawan yang berperan penting dalam momen tersebut.
Ia adalah Prof. Mr. Mohammad Yamin, S.H. atau yang dikenal M. Yamin.
Ia merupakan satu di antara 13 tokoh yang memperjuangkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dalam Kongres Pemuda II.
Ia merupakan sastrawan, budayawan, sejarawan, politikus dan ahli hukum, sehingga ia dikenal sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Dilansir dari Tribunnews, pria kelahiran 23 Agustus 1903 di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat ini merupakan seorang penyair yang merintis puisi gaya modern di Indonesia.
Ia merupakan putra dari pasangan Usman Baginda Khatib dan Siti Saadah.
M. Yamin terlahir di keluarga yang berpendidikan, sehingga latar belakang pendidikannya juga tak diragukan lagi.

Ia bersekolah dasar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Palembang, yang dilanjutkan ke Algemeene Middelbare School (AMS) Yogyakarta.
M. Yamin kuliah di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, yang kemudian menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Kemudian, M. Yamin berhasil memperoleh gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum) pada tahun 1932.
Dilansir dari Kompas.com, M. Yamin adalah tokoh yang mengusulkan untuk tidak menggunakan bahasa Belanda melainkan bahasa Melayu pada pidatonya di Kongres pemuda I.
Setelah aktif dan memimpin Jong Sumatranen Bond, M. Yamin mulai aktif mengemukakan gagasan tentang persatuan Indonesia.
M. Yamin menganggap bahasa merupakan satu di antara alat pemersatu bangsa.
Hal itu ia sampaikan saat berpidato di Kongres Pemuda I dengan menggunakan bahasa Belanda, karena pada saat itu, para pemuda belum paham bahasa Melayu.
M. Yamin membicarakan tentang kemungkinan bahasa dan kesusasteraan Indonesia dikemudian hari.
Gagasan mengenai bahasa persatuan berlanjut hingga Kongres Pemuda II, yaitu lanjutan dari Kongres Pemuda I yang dirasa belum dapat menyatukan pandangan dan masih memprioritaskan kepentingan suku.
M. Yamin sangat menentang adanya fusi atau menyatukan organisasi pemuda yang bersifat kedaerahan.
Menurut M. Yamin, Indonesia terdiri dari beberapa suku bangsa sehingga dibutuhkannya kemauan untuk bersatu tanpa menghilangkan ciri khas kedaerahannya.
M. Yamin tak ingin Kongres Pemuda II berakhir tanpa hasil.
Ditengah - tengah kongres, M. Yamin menuliskan gagasan Sumpah Pemuda di selembar kertas, yang kemudian diserahkan kepada Ketua Kongres Pemuda II, Soegondo.
Gagasan yang dirumus Yamin ini berbunyi:
Pertama: Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
Kedua: Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.
Ketiga: Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Akhirnya kongres menyepakati adanya penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa.
Kesusastraan
Dilansir dari wikipedia, Mohammad Yamin memulai karier sebagai seorang penulis pada dekade 1920-an semasa dunia sastra Indonesia mengalami perkembangan.
Karya-karya pertamanya ditulis menggunakan bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatra, sebuah jurnal berbahasa Belanda pada tahun 1920.
Karya-karya terawalnya masih terikat kepada bentuk-bentuk bahasa Melayu Klasik.
Pada tahun 1922, Yamin muncul untuk pertama kali sebagai penyair dengan puisinya, Tanah Air; yang dimaksud tanah airnya yaitu Minangkabau di Sumatra.
Tanah Air merupakan himpunan puisi modern Melayu pertama yang pernah diterbitkan.
Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada 28 Oktober 1928.
Karya ini sangat penting dari segi sejarah, karena pada waktu itulah Yamin dan beberapa orang pejuang kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia yang tunggal.
Dramanya, Ken Arok dan Ken Dedes yang berdasarkan sejarah Jawa, muncul juga pada tahun yang sama.
Dalam puisinya, Yamin banyak menggunakan bentuk soneta yang dipinjamnya dari literatur Belanda.
Walaupun Yamin melakukan banyak eksperimen bahasa dalam puisi-puisinya, ia masih lebih menepati norma-norma klasik Bahasa Melayu, berbanding dengan generasi-generasi penulis yang lebih muda.
Ia juga menerbitkan banyak drama, esei, novel sejarah, dan puisi.
Ia juga menterjemahkan karya-karya William Shakespeare (drama Julius Caesar) dan Rabindranath Tagore.
Politik
Karier politik Yamin dimulai ketika ia masih menjadi mahasiswa di Jakarta.
Ketika itu ia bergabung dalam organisasi Jong Sumatranen Bond dan menyusun ikrah Sumpah Pemuda yang dibacakan pada Kongres Pemuda II.
Dalam ikrar tersebut, ia menetapkan Bahasa Indonesia, yang berasal dari Bahasa Melayu, sebagai bahasa nasional Indonesia.
Melalui organisasi Indonesia Muda, Yamin mendesak supaya Bahasa Indonesia dijadikan sebagai alat persatuan.
Kemudian setelah kemerdekaan, Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi serta bahasa utama dalam kesusasteraan Indonesia.
Pada tahun 1932, Yamin memperoleh gelar sarjana hukum. Ia kemudian bekerja dalam bidang hukum di Jakarta hingga tahun 1942.
Pada tahun yang sama, Yamin tercatat sebagai anggota Partindo.
Setelah Partindo bubar, bersama Adenan Kapau Gani dan Amir Sjarifoeddin, ia mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).
Tahun 1939, ia terpilih sebagai anggota Volksraad.
Semasa pendudukan Jepang (1942-1945), Yamin bertugas pada Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA), sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh pemerintah Jepang.
Pada tahun 1945, ia terpilih sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam sidang BPUPKI, Yamin banyak memainkan peran.
Ia berpendapat agar hak asasi manusia dimasukkan ke dalam konstitusi negara.
Ia juga mengusulkan agar wilayah Indonesia pasca-kemerdekaan, mencakup Sarawak, Sabah, Semenanjung Malaya, Timor Portugis, serta semua wilayah Hindia Belanda.
Soekarno yang juga merupakan anggota BPUPKI menyokong ide Yamin tersebut.
Setelah kemerdekaan, Soekarno menjadi Presiden Republik Indonesia yang pertama, dan Yamin dilantik untuk jabatan-jabatan yang penting dalam pemerintahannya.
Setelah kemerdekaan, jabatan-jabatan yang pernah dipangku Yamin antara lain anggota DPR sejak tahun 1950, Menteri Kehakiman (1951-1952), Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1953–1955), Menteri Urusan Sosial dan Budaya (1959-1960), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962) dan Menteri Penerangan (1962-1963).
Pada saat menjabat sebagai Menteri Kehakiman, Yamin membebaskan tahanan politik yang dipenjara tanpa proses pengadilan.
Tanpa grasi dan remisi, ia mengeluarkan 950 orang tahanan yang dicap komunis atau sosialis.
Atas kebijakannya itu, ia dikritik oleh banyak anggota DPR.
Namun Yamin berani bertanggung jawab atas tindakannya tersebut.
Kemudian disaat menjabat Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Yamin banyak mendorong pendirian univesitas-universitas negeri dan swasta di seluruh Indonesia.
Di antara perguruan tinggi yang ia dirikan adalah Universitas Andalas di Padang, Sumatra Barat.
Mohammad Yamin meninggal pada 17 oktober 1962.
Ia wafat di Jakarta dan dimakamkan di tanah kelahirannya, Desa Talawi, Kabupaten Sawahlunto, Sumatera Barat.
Data Diri:
Nama: Mohammad Yamin
Lahir: 24 Agustus 1903
Tempat Lahir: Sawahlunto, Sumatra Barat, Hindia Belanda
Meninggal dunia :17 Oktober 1962 (umur 59)
Bendera: Jakarta, Indonesia
Kebangsaan: Indonesia
Karier:
Menteri Penerangan Indonesia Ke-14 (6 Maret 1962 – 17 Oktober 1962)
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Ke-9 (30 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
Menteri Kehakiman Indonesia Ke-6 (27 April 1951 – 14 Juni 1951)
Karya-karyanya
Tanah Air (puisi), 1922
Indonesia, Tumpah Darahku, 1928
Kalau Dewa Tara Sudah Berkata (drama), 1932
Ken Arok dan Ken Dedes (drama), 1934
Sedjarah Peperangan Dipanegara, 1945
Tan Malaka, 1945
Gadjah Mada (novel), 1948
Sapta Dharma, 1950
Revolusi Amerika, 1951
Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, 1951
Bumi Siliwangi (Soneta), 1954
Kebudayaan Asia-Afrika, 1955
Konstitusi Indonesia dalam Gelanggang Demokrasi, 1956
6000 Tahun Sang Merah Putih, 1958
Naskah Persiapan Undang-undang Dasar, 1960, 3 jilid
Ketatanegaraan Madjapahit, 7 jilid
Penghargaan
Bintang Mahaputra RI, tanda penghargaan tertinggi dari Presiden RI atas jasa-jasanya pada nusa dan bangsa
Tanda penghargaan dari Corps Polisi Militer sebagai pencipta lambang Gajah Mada dan Panca Darma Corps
Tanda penghargaan Panglima Kostrad atas jasanya menciptakan Pataka Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat