Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Pembina Gapasdap Minta Pemerintah Tak Paksakan Penerapan B30, Ini Dampaknya

Pembina Gapasdap Minta Pemerintah Tak Paksakan Penerapan B30, Ini Dampaknya

Penulis: Muhammad Fadhly Ali | Editor: Suryana Anas
RILIS
Ketua Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (Gapasdap), Bambang Haryo Soekartono 

Pembina Gapasdap Minta Pemerintah Tak Paksakan Penerapan B30, Ini Dampaknya

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Pemerintah diminta tidak memaksakan penerapan biosolar B30 karena tidak signifikan mengurangi impor bahan bakar minyak, tetapi justru bisa membahayakan keselamatan transportasi.

Ketua Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (Gapasdap), Bambang Haryo Soekartono menilai, mandatory B30 dengan tujuan mengurangi impor solar tidak efektif sebab dampaknya relatif kecil terhadap total impor migas.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ungkapnya, impor migas Indonesia pada 2018 mencapai 50,4 juta ton, sedangkan impor solar sekitar 4,6 juta ton per tahun. Artinya, kontribusi impor solar hanya 9% terhadap impor migas.

Baca: Terungkap Kejanggalan Wamen Pariwisata Angela Tanoesoedibjo Saat Baru Selesai Dilantik, Perhatikan

Baca: Jadwal Liga Inggris - Liverpool Hadapi Laga Sulit, City Berpeluang Pangkas Jarak. 2 Live di TVRI

Baca: Membandingkan Gaji Nadiem Makarim sebagai Menteri dengan Saat Menjadi Bos GoJek

Adapun impor migas senilai US$ 29,81 miliar berkontribusi 18 persen dari total impor nonmigas yang tercatat US$ 158 miliar. Dilihat dari porsi impor solar terhadap total impor nonmigas akan lebih kecil lagi, yakni hanya 1,6 persen.

Menurut Bambang Haryo, angka impor itu tidak signifikan dibandingkan dengan potensi kerusakan mesin alat transportasi akibat menggunakan B30, terutama pada truk dan kapal laut.

“Ruang bakar atau mesin kapal akan kotor sehingga muncul viskositas, nozel dan saringan injector menjadi rusak, lalu akan muncul sifat detergent yang bisa mengakibatkan mesin kapal mogok. Kondisi ini juga bisa terjadi pada truk yang menggunakan B30,” kata Bambang yang pernah menjabat anggota Komisi V dan VI DPR RI dalam rilisnya, Sabtu (26/10/2019).

Apabila kapal dan truk menjadi mogok, dampak terhadap ekonomi akan sangat besar sebab transportasi barang dan penumpang merupakan urat nadi perekonomian nasional. Lebih dari itu, kondisi ini mengancam keselamatan transportasi.

“Kapal yang mogok di tengah laut akibat mesin mati bisa mengalami stabilitas negatif dan tenggelam. Kejadian ini pernah dialami KMP Senopati Nusantara pada akhir 2006 dan kita tidak ingin terulang,” ungkapnya.

Dewan Pembina Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Sarana Lepas Pantai (Iperindo) ini menambahkan, target pemerintah meningkatkan kandungan minyak sawit pada solar menjadi di atas 30 persen bahkan 100 persen (B100) tidak masuk akal dan berbahaya.

Dia merujuk negara-negara lain yang menerapkan biosolar masih di bawah B10, seperti Argentina dan China maksimal B7, bahkan Malaysia, Australia dan Kanada hanya menerapkan B5.

Bambang Haryo meminta pemerintah tidak mengobankan sektor transportasi untuk mengakomodasi kepentingan perusahaan kelapa sawit yang kehilangan pasar di Eropa.

“Keselamatan nyawa publik lebih berharga dibandingkan kerugian perusahaan sawit itu,” ujarnya.(tribun-timur.com)

Laporan Wartawan Tribun-Timur.com, @fadhlymuhammad

Langganan berita pilihan tribun-timur.com di WhatsApp
Klik > http://bit.ly/whatsapptribuntimur

Follow akun instagram Tribun Timur:
Silakan Subscribe Youtube Tribun Timur:

A

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved