Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Tribun Wiki

Muhammad Yunus Yosfiah Orang Pertama Larang Pemutaran Film Pengkhianatan G30S/PKI, Ini Profilnya

Selang empat bulan setelah setelah jatuhnya Soeharto, Departemen Penerangan memutuskan tidak lagi memutar film ini.

Penulis: Desi Triana Aswan | Editor: Ina Maharani
int
Muhammad Yunus Yosfiah 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR- Pada 30 September, merupakan hari dimana film Pengkhianatan G30S/PKI tak lagi ditayangkan di TVRI stasiun televisi milik pemerintah.

Padahal sebelumnya, film tersebut menjadi tontonan wajib seluruh rakyat Indonesia.

Sosok pertama yang melarang pemutaran film tersebut ialah Letnan Jenderal TNI Muhammad Yunus Yosfiah.

Dilansir dari Tribunnews, Yunus adalah Menteri Penerangan di era Pemerintahan Presiden Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie.

Baca: Film Pengkhianatan G30S/PK Gambarkan Soeharto Sebagai Superhero, Ini Profil Sutradara Arifin C Noer

Baca: Najwa Shihab Bantah Baru Bertemu Tommy Soeharto, Sebut Serangan Personal, Ini Profil Tommy Soeharto

Yunus mencatatkan diri sebagai orang yang pertama membuat aturan bahwa film Pengkhianatan G30S/PKI tak lagi wajib diputar.

Memang, pada periode kepemimpinan Presiden Soharto, sebuah film legendaris berjudul Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI atau lazim dikenal dengan nama Pengkhianatan G30S/PKI wajib diputar di seluruh bioskop dan stasiun televisi Tanah Air.

Film produksi Perum Produksi Film Negara (PPFN) tahun 1984 ini disutradari dan ditulis oleh Arifin C Noer.

Kala itu, ia menghabiskan waktu dua tahun untuk memproduksi film yang menghabiskan anggaran Rp 800 juta tersebut.

Setelah selesai, film berdurasi 3 jam itu lalu ditayangkan dan diputar secara terus menerus menjelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila selama 13 tahun.

Kemudian, peristiwa reformasi mengubah kembali arah sejarah Bangsa Indonesia.

Selang empat bulan setelah setelah jatuhnya Soeharto, Departemen Penerangan memutuskan tidak lagi memutar film ini.

Arsip pemberitaan Harian Kompas 30 September 1998 menyebutkan, kala itu, Departemen Penerangan beralasan, film ini sudah terlalu sering ditayangkan.

"Karena terlalu sering diputar, filmnya juga sudah kabur," ucap Dirjen RTF Deppen Ishadi SK.

Bahkan Menteri Penerangan Muhammad Yunus Yosfiah berpendapat, pemutaran film yang bernuansa pengkultusan tokoh, seperti film Pengkhianatan G30S/PKI, Janur Kuning, dan Serangan Fajar tidak sesuai lagi dengan dinamika reformasi.

"Karena itu, tanggal 30 September mendatang TVRI dan TV swasta tidak akan menayangkan Lagi Film Pengkhianatan G30S/PKI," ujar Muhammad Yunus seperti dikutip dari Harian Kompas, 24 September 1998.

Selain itu, kalangan seniman, pengamat film, serta artis juga menyuarakan hal serupa.

Menurut pemberitaan Harian Kompas, 2 September 1998, sutradara film Eros Djarot saat itu menolak pemutaran film.

"Film itu sangat tidak perlu diputar," kata Eros. Hal senada juga digaungkan Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Artis Film Indonesia (PB PARFI) periode 1993-1998, Ratno Timoer.

Ada pula yang menganggap, film ini menyimpan rasa dendam yang tidak menguntungkan.

Sebagai gantinya, Deppen bekerja sama dengan Depdikbud menyiapkan telesinema berjudul Bukan Sekedar Kenangan.

Sebagian artikel ini telah dimuat di Kompas, dengan judul Hari Ini dalam Sejarah: Film "Pengkhianatan G30S/PKI" Tak Lagi Wajib Tayang

Film Pengkhianatan G30S/PKI pun akhirnya tak lagi wajib diputar.

"Bukan Sekedar Kenangan" Pemutaran film tahunan yang menjadi agenda wajib itu pun dibatalkan.

Menurut Dirjen Kebudayaan Depdikbud, Edi Sedyawati, film Bukan Sekedar Kenangan pada awalnya disiapkan sebagai tayangan penunjang yang juga disiarkan pada tanggal 30 September.

Sehingga sebagai gantinya, tayangan ini yang awalnya disiapkan sebagai film beralih menjadi sajian utama.

Film berdurasi 72 menit ini adalah episode pertama dari trilogi yang ditayangkan pada waktu berbeda.

Sinema Bukan Sekedar Kenangan berkisah mengenai trauma seorang kepala keluarga akan peristiwa G 30S yang diperankan oleh Dina Lorenza, Atalarik Syach, dan Derry Drajat.

Tokoh utama yang diperankan Dina Lorenza (Fitria) akhirnya berusaha mencari tahu soal trauma itu.

Keingintahuannya kemudian membawa Fitria sampai ke Yogyakarta.

Di sini dia bertemu dengan Prapti, adik kandung ayahnya.

Perempuan setengah baya tersebut terganggu jiwanya akibat melihat langsung suaminya disiksa pada 33 tahun lalu.

Siapa Muhammad Yunus Yosfiah?

Dilansir dari wikipedia, Letjen TNI (Purn.) Muhammad Yunus Yosfiah lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, 7 Agustus 1944.

Ia adalah salah seorang tokoh militer Indonesia yang pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan yang terakhir pada masa pemerintahan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie.

Ia adalah lulusan Akademi Militer Nasional (AMN) tahun 1965.

Jabatan tersebut, beserta Departemen Penerangan yang dibawahinya, kemudian dihapuskan oleh Presiden Abdurrahman Wahid.

Pada bulan Maret 2007, petugas penyidik sebab kematian di Australia mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Yosfiah atas kematian lima wartawan di Timor Timur pada tahun 1975.

Saat itu Yosfiah diduga memimpin sebuah penyerangan ke Balibo.

Namun, Pemerintah Indonesia menolak permintaan itu karena Australia tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili warganegara Indonesia dan menganggap kasus tersebut telah ditutup.

Kasus itu dikenal dengan nama Balibo Five.

Aksi di Timor Timur

Balibo Five

Pada tahun 1975, seorang Kapten memimpin unit pasukan khusus Indonesia ke Balibo, Timor Timur, dituduh bahwa Yosfiah menembaki wartawan Australia yang mencoba untuk menyerah, dan memerintahkan anak buahnya untuk melakukan hal yang sama.

Setelah dibunuh, beberapa tubuh wartawan dipakaikan seragam tentara Portugis dan difoto dengan senapan mesin seolah-olah mereka telah tewas terbunuh karena berperang melawan pasukan Indonesia.

Pada bulan Februari 2007 Mark Tedeschi QC, penasihat pembantu koroner pada pemeriksaan kematian salah satu wartawan yang tewas, Brian Peters, mengatakan Yosfiah tidak menanggapi undangan untuk tampil pada pemeriksaan.

Deputi Koroner New South Wales, Dorelle Pinch dalam temuannya menemukan bahwa: "Brian Raymond Peters, beserta rekan wartawannya Gary James Cunningham, Malcolm Rennie Harvie, Gregory John Shackleton dan Anthony John Stewart, yang dikenal sebagai Balibo Five, meninggal di Balibo, Timor Leste pada 16 Oktober 1975 akibat luka yang diderita ketika mereka ditembak dan/atau ditusuk dengan sengaja, dan tidak berada dalam panasnya pertempuran, oleh anggota Pasukan Khusus Indonesia, termasuk oleh Christoforus da Silva dan Kapten Yunus Yosfiah atas perintah Kapten Yosfiah.

Tujuannya, untuk mencegah mereka mengekspos bahwa Pasukan Khusus Indonesia telah berpartisipasi dalam serangan di Balibo."

Namun Yosfiah membantah tuduhan itu. Dia menyatakan tidak pernah bertemu dengan kelima wartawan asing tersebut selama bertugas di Balibo.

Beberapa saksi, termasuk mantan pasukan Timor yang mendukung invasi Indonesia (UDT dan Apodeti) mengidentifikasi Yosfiah sebagai partisipan kunci dalam pembunuhan wartawan.

Sebagai konsekuensi Dorelle Pinch mengeluarkan laporan pada 16 November 2007 yang menyimpulkan bahwa Yosfiah telah berpartisipasi dalam kejahatan perang, dia terlibat dalam pembunuhan dan mesti dihukum sesuai dengan konvensi Jenewa yang mana Indonesia adalah salah satu penandatangannya.

Nicolau dos Reis Lobato

Dia juga diduga telah membunuh Nicolau dos Reis Lobato, pemimpin Fretilin pada tahun 1978.

Menteri Penerangan

Yosfiah menjabat sebagai Menteri Penerangan dalam Kabinet Reformasi Pembangunan pada era Presiden Habibie tahun 1998 sampai 1999.

Tindakannya dalam menghilangkan pembatasan terhadap media dan bentuk komunikasi lainnya, antara lain seperti penghapusan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan menjamin kebebasan pers, telah digambarkan sebagai, "salah satu terobosan besar pemerintahan Habibie".

Dugaan pendanaan milisi Timor Timur

Yosfiah diduga pada tahun 1999 terlibat dalam penyaluran uang pemerintah Indonesia untuk kelompok-kelompok milisi Timor Timur sebelum referendum kemerdekaan Timor Timur yang berakhir dengan terjadinya pertumpahan darah.

Karier politik

Yosfiah pernah menjadi Ketua Fraksi ABRI di MPR pada 1997.

Ia pensiun dari TNI pada tahun 1999.

Pada 2002 Yosfiah menjadi anggota Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Yosfiah juga adalah Sekretaris Jenderal PPP dari bulan Desember 2003 hingga tahun 2007.

Pada bulan Februari 2007 Yosfiah ikut dalam pemilihan Ketua Umum PPP, tetapi ia gagal.

Terakhir, ia menjadi anggota DPR dari PPP periode 2004-2009 dan duduk di Komisi XI.

Data Diri:

Nama: Muhammad Yunus Yosfiah

Lahir: 7 Agustus 1944

Tempat Lahir: Rappang, Sulawesi Selatan, Masa Pendudukan Jepang

Partai politik: Partai Gerindra

Pasangan: Hj. Antonia Ricardo

Anak: Eric Akbar Ricardo Yunus

Erica

Melissa

Pierre Akbar

Alma mater: Akademi Militer Nasional (1965)

Pekerjaan: Tentara

Dinas militer:

Pihak: Indonesia

Dinas/cabang: Insignia of the Indonesian Army.svg TNI Angkatan Darat

Masa dinas: 1965–1999

Pangkat: Letnan Jenderal TNI

Satuan: Infanteri

Komando: Kopassus

Pertempuran/perang: Operasi Seroja

Jabatan militer:

  1. Kolonel
  2. Asisten Operasi Kepala Staf Komando ABRI XVI
  3. Komandan Resort Militer 164 Wiradharma, Dili, Timor Timur
  4. Brigadir Jenderal
  5. Direktur Peningkatan Pembangunan dan Pendidikan Akademi Militer
  6. Kepala Staf Daerah Militer VI/Tanjungpura
  7. Mayor Jenderal
  8. Komandan Pusat Kesenjataan Infanteri TNI-AD
  9. Panglima Daerah Militer II/Sriwijaya
  10. Komandan Sekolah Staf dan Komando ABRI
  11. Letnan Jenderal
  12. Kepala Staf Sosial Politik ABRI

Sumber berita: https://www.tribunnewswiki.com/2019/09/30/hari-ini-tepat-21-tahun-lalu-jenderal-ini-yang-pertama-larang-tayang-film-pengkhianatan-g30spki?page=all
Foto: Wikipedia

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Medium

    Large

    Larger

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved