Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

FAKTA di Balik Fenomena Langit Merah di Jambi dan Ular Berkaki di Riau Saat Kebakaran Hutan, Bahaya?

TRIBUN-TIMUR.COM - Fakta di balik fenomena langit merah di Jambi dan ular berkaki di Riau saat kebakaran hutan, bahaya?

Editor: Aqsa Riyandi Pananrang
kolase foto handover
Fakta di balik fenomena langit merah di Jambi dan ular berkaki di Riau saat kebakaran hutan, bahaya? 

TRIBUN-TIMUR.COM - Fakta di balik fenomena langit merah di Jambi dan ular berkaki di Riau saat kebakaran hutan, bahaya?

Warga Desa Pulau Mentaro, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi heboh dengan fenomena langit merah pada Sabtu (21/9/2019) siang.

Foto dan Video langit merah Jambi itupum viral di media sosial baik Facebook, Instagram, dan Twitter.

Setelah sebelumnya, Video viral seekor ular berkaki ditemukan mati di lokasi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Kecamatan Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Provinsi Riau, juga beredar.

Warga Muaro Jambi, Mardiana mengatakan perubahan warna langit merah tersebut terjadi sekitar pukul 10.42 WIB hingga 14.00 WIB.

"Saya dapat kiriman video dari sepupu saya, Ummu Ria, jam 10.42 WIB udah mulai merah langitnya, kak. Azan dzuhur udah mulai gelap," katanya dihubungi, Kompas.com, Sabtu (21/9/2019) malam.

Lantas, apa sebenarnya yang menjadi penyebab perubahan warna langit ini?

Plt Kepala Pusat Data dan Informasi (Kapusdatin) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo Soetarno  mengatakan bahwa warna merah terjadi karena pergerakan kabut asap dari titik api atau hotspot.

Baca: Viral Video Mesum Mojang Bandung Seragam PNS, Hijab, Durasi 2,19 Menit, 4 Foto Syur Juga Tersebar

Baca: Ustadz Abdul Somad Tanggapi Film The Santri Wirda Mansur & Gus Azmi, Ini Balasan Ustad Yusuf Mansur

"Warna merah tersebut merupakan kabut asap yang bergerak dari hotspot yang ada di provinsi bagian selatan Provinsi Riau," ujar Agus saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (21/9/2019) malam

Menurutnya, titik api ini sudah ada sejak pertengahan Agustus 2019.

Di sisi lain, astronom amatir Indonesia, Marufin Sudibyo menjelaskan fenomena langit berwarna merah bukan disebabkan tingginya suhu atau pengaruh api.

"Ini nampaknya fenomena Hamburan Rayleigh. Hamburan Rayleigh itu hamburan elastis pada cahaya oleh partikel-partikel mikro/nano di udara yang ukurannya lebih kecil dari panjang gelombang cahaya tampak," ujar Marufin saat dikonfirmasi terpisah Kompas.com, Sabtu (21/9/2019).

Marufin mengungkapkan bahwa fenomena ini umum dijumpai.

Pasalnya, fenomena Rayleigh ini menjadi penyebab langit berwarna biru pada siang hari dan memerah kala senja atau fajar.

"Dalam kasus Jambi ini, kepadatan partikel-partikel mikro/nano di udara nampaknya cukup besar sehingga lebih padat ketimbang konsentrasi partikel pada udara normal," ujar Marufin.

"Karena lebih padat maka berkas cahaya Matahari yang melewatinya akan dihamburkan khususnya pada panjang gelombang pendek (spektrum biru dan sekitarnya) hingga medium (spektrum hijau dan sekitarnya)," kata dia.

Sehingga, hanya menyisakan panjang gelombang panjang (spektrum merah dan sekitarnya) yang dapat menerus sampai ke permukaan bumi.

Hal itulah yang membuat langit tampak berwarna kemerahan yang terlihat seperti di Muaro Jambi.

Selain itu, Marufin menyampaikan bahwa mekanisme serupa dengan langit memerah yang cukup lama (dan tidak umum) dengan lama waktu berjam-jam sebelum terbenam matahari.

Misalnya, pasca terjadi letusan dahsyat gunung berapi seperti teramati pada kejadian pasca-letusan Krakatau pada tahun 1883 maupun Pinatubo pada tahun 1991.

Adapun, Marufin menyampaikan, adanya kejadian langit merah ini juga tidak berdampak gangguan kesehatan mata.

"Menurut saya enggak sampai pada gangguan mata. Karena ini hanya hamburan cahaya biasa.

Sakit mata berpeluang terjadi lebih karena partikel-partikel mikro/nano itu. Bukan karena cahayanya," ujar Marufin.

Sementara, Marufin menjelaskan bahwa lamanya durasi hamburan cahaya ini bergantung pada kepadatan partikel-partikel tersebut.

Semakin besar kepadatannya dengan ditunjukkan oleh makin tingginya nilai PM10 atau PM2.5 pada Air Quality Index (AQI).

Jika semakin tinggi kepadatan, maka semakin intensif hamburan Rayleigh yang melewatkan cahaya merah dari matahari terjadi.

Tak hanya itu, hamburan Rayleigh juga tergantung juga pada seberapa luas kepadatan besar dari partikel-partikel tersebut.

"Umumnya kalau makin dekat dengan sumbernya ya makin padat atau pekat. Hanya masih ada pengaruh angin yang juga menentukan," ujar Marufin.

Video Ular Berkaki

Ular berkaki empat ditemukan jadi korban kebakaran hutan di Riau
Ular berkaki empat ditemukan jadi korban kebakaran hutan di Riau (kompas.com)

Seekor ular berkaki ditemukan mati di lokasi Karhutla di Kecamatan Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Provinsi Riau.

Karnivora sangat langka ini ditemukan petugas yang sedang melakukan pemadaman titik api.

Dalam rekaman video berdurasi 2 menit 7 detik yang dilihat Kompas.com, Kamis (19/9/2019) malam, ular tersebut tampak memiliki dua kaki dibagian ekor.

Jenis ular tersebut seperti king kobra. Ukurannya cukup besar dan panjang.

Namun, kondisinya sudah mati akibat terbakar. Sebagian badannya sudah hangus. Lokasi kejadian masih tampak berasap setelah api dipadamkan petugas.

Salah seorang anggota Manggala Agni Daops Rengat, Maidi, yang dihubungi Kompas.com, Kamis malam, membenarkan temuan ular berkaki mati tersebut.

"Ya, ular berkaki ditemukan mati di Desa Sekip Hilir, Kecamatan Rengat, Kabupaten Inhu. Itu (ular) ditemukan di lahan masyarakat yang terbakar," sebut Maidi melalui sambungan telepon, Kamis.

Dia mengatakan, ular langka tersebut ditemukan oleh petugas TNI AD dari Kodim 0302/Inhu, Rabu (18/9/2019) malam. Sebab, prajurit saat itu masih berada di lokasi karhutla hingga malam hari.

Sementara tim dari Manggala Agni Daops Rengat, terlebih dahulu pulang sebelum ditemukan ular tersebut.

"Tim kami pulang duluan, karena sudah malam. Ternyata tim TNI menemukan ular berkaki mati di lokasi. Aku pun kaget setelah nengok videonya. Karena jarang ada ular berkaki," kata Maidi.

Baca: Viral Video Mesum Mojang Bandung Seragam PNS, Hijab, Durasi 2,19 Menit, 4 Foto Syur Juga Tersebar

Baca: Ustadz Abdul Somad Tanggapi Film The Santri Wirda Mansur & Gus Azmi, Ini Balasan Ustad Yusuf Mansur

Sementara itu, terkait penemuan ular berkaki tiga, ahli herpetologi (reptil dan amfibi) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Amir Hamidy menjelaskan, organ tersebut bukan kaki, melainkan hemipenis ular.

"Itu bukan kaki, itu adalah hemipenis dari ular ya. Hemipenis itu alat kelamin ular jantan," kata Amir dikutip Kompas Sains, Jumat (20/9/2019)

Dia menjelaskan, semua jenis ular jantan itu memiliki hemipenis. Namun jenis penisnya berbeda dari manusia laki laki.

Biasanya, seorang pria memiliki satu penis, sedangkan ular dua hemipenis di pangkal ekor.

Dengan demikian, Amir menegaskan.bahwa penemuan ular yang disebut berkaki tiga itu bukan kejadian langka.(*)

(kompas.com)

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved