Tribun Wiki
Diterjang Kabut Asap Hingga Jadi Viral, di Mana Itu Riau? Ini Lokasi, Sejarah, dan Data Lengkapnya
Pada tahun 2002, pemerintah menetapkan pemekaran Kepulauan Riau yang beribu kota di Tanjung Pinang, dari provinsi Riau.
Penulis: Nur Fajriani R | Editor: Ina Maharani
Sejarah Riau pada masa pra-kolonial didominasi beberapa kerajaan otonom yang menguasai berbagai wilayah di Riau.
Kerajaan yang terawal, Kerajaan Keritang, diduga telah muncul pada abad keenam, dengan wilayah kekuasaan diperkirakan terletak di Keritang, Indragiri Hilir.
Kerajaan ini pernah menjadi wilayah taklukan Majapahit, namun seiring masukkan ajaran Islam, kerajaan tersebut dikuasai pula oleh Kesultanan Melaka.
Selain kerajaan ini, terdapat pula Kerajaan Kemuning, Kerajaan Batin Enam Suku, dan Kerajaan Indragiri, semuanya diduga berpusat di Indragiri Hilir.
Masa kerajaan Melayu
Kesultanan Indragiri didirikan pada tahun 1298 oleh Raja Merlang I, yang uniknya tidak berkedudukan di Indragiri, melainkan di Melaka.
Urusan pemerintahan diserahkan pada para pembesar tradisional. Baru pada masa kekuasaan Narasinga II sekitar tahun 1473, para raja Indragiri mulai menetap di pusat pemerintahannya di Kota Tua.
Pada tahun 1815, dibawah Sultan Ibrahim, ibu kota kerajaan dipindahkan ke Rengat, yang kini menjadi ibu kota Kabupaten Indragiri Hulu.
Pada masa inilah Belanda mulai campur tangan dengan urusan internal Indragiri, termasuk dengan mengangkat seorang Sultan Muda yang berkedudukan di Peranap.
Kesultanan Siak
Sultan Siak bersama para tetua adat di afdeling Bengkalis pada 1888. Siak menyerahkan Bengkalis kepada Belanda pada tahun 1873.
Kesultanan Siak Sri Inderapura didirikan oleh Raja Kecil dari Pagaruyung pada tahun 1723.
Siak segera saja menjadi sebuah kekuatan besar yang dominan di wilayah Riau: atas perintah Raja Kecil, Siak menaklukkan Rokan pada 1726 dan membangun pangkalan armada laut di Pulau Bintan.
Masa kolonial Belanda
Lukisan pesisir Riau oleh seorang pelukis Belanda, sekitar tahun 1850.
Invasi Belanda yang agresif ke pantai timur Sumatra tidak dapat dihadang oleh Siak.
Belanda mempersempit wilayah kedaulatan Siak, dengan mendirikan Keresidenan Riau (Residentie Riouw) di bawah pemerintahan Hindia Belanda yang berkedudukan di Tanjung Pinang.
Para sultan Siak tidak dapat berbuat apa-apa karena mereka telah terikat perjanjian dengan Belanda.
Kedudukan Siak semakin melemah dengan adanya tarik-ulur antara Belanda dan Inggris yang kala itu menguasai Selat Melaka, untuk mendapatkan wilayah-wilayah strategis di pantai timur Sumatra.
Para sultan Siak saat itu terpaksa menyerah kepada kehendak Belanda dan menandatangani perjanjian pada Juli 1873 yang menyerahkan Bengkalis kepada Belanda, dan mulai saat itu, wilayah-wilayah yang sebelumnya menjadi kekuasaan Siak satu demi satu berpindah tangan kepada Belanda.
Pada masa yang hampir bersamaan, Indragiri juga mulai dipengaruhi oleh Belanda, namun akhirnya baru benar-benar berada di bawah kekuasaan Batavia pada tahun 1938.
Penguasaan Belanda atas Siak kelak menjadi awal pecahnya Perang Aceh.
Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, Riau menjadi salah satu sasaran utama untuk diduduki.
Bala tentara Jepang menduduki Rengat pada 31 Maret 1942.
Seluruh Riau dengan cepat tunduk di bawah pemerintahan Jepang.
Salah satu peninggalan masa pendudukan Jepang adalah jalur kereta api sepanjang 300 km yang menghubungkan Muaro Sijunjung dan Pekanbaru yang terbengkalai.
Ratusan ribu rakyat Riau dipaksa bekerja oleh tentara Jepang untuk menyelesaikan proyek ini.
Era kemerdekaan
Pada awal kemerdekaan Indonesia, bekas wilayah Keresidenan Riau dilebur dan tergabung dalam Provinsi Sumatra yang berpusat di Bukittinggi.
Seiring dengan penumpasan simpatisan PRRI, Sumatra Tengah dimekarkan lagi menjadi tiga provinsi, yakni Sumatra Utara, Sumatra Tengah, dan Sumatra Selatan.
Ketika itu, Sumatra Tengah menjadi basis terkuat dari PRRI, situasi ini menyebabkan pemerintah pusat membuat strategi memecah Sumatra Tengah dengan tujuan untuk melemahkan pergerakan PRRI.
Selanjutnya pada tahun 1957, berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 19 tahun 1957, Sumatra Tengah dimekarkan menjadi tiga provinsi yaitu Riau, Jambi dan Sumatra Barat.
Kemudian yang menjadi wilayah provinsi Riau yang baru terbentuk adalah bekas wilayah Kesultanan Siak Sri Inderapura dan Keresidenan Riau serta ditambah Kampar yang sebelumnya pada masa pendudukan tentara Jepang dimasukkan ke dalam wilayah Rhio Shu.
Riau sempat menjadi salah satu daerah yang terpengaruh Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia pada akhir 1950-an.
Pemerintah pusat menggelar Operasi Tegas dibawah pimpinan Kaharuddin Nasution, yang kelak menjadi gubernur provinsi ini, dan berhasil menumpas sisa-sisa simpatisan PRRI.
Setelah situasi keamanan berangsur pulih, pemerintah pusat mulai mempertimbangkan untuk memindahkan ibu kota provinsi dari Tanjung Pinang ke Pekanbaru, yang secara geografis terletak di tengah-tengah.
Pemerintah akhirnya menetapkan Pekanbaru sebagai ibu kota provinsi yang baru pada 20 Januari 1959 lewat Kepmendagri No. Desember 52/I/44-25.
Masa Orde Baru
Eksploitasi minyak bumi di Riau dimulai di Blok Siak pada September 1963, dengan ditandatanganinya kontrak karya dengan PT California Texas Indonesia (kini menjadi Chevron Pacific Indonesia).
Provinsi ini sempat diandalkan sebagai penyumbang 70 persen dari produksi minyak nasional pada tahun 1970-an.
Riau juga menjadi tujuan utama program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintahan Soeharto.
Banyak keluarga dari Pulau Jawa yang pindah ke perkebunan-perkebunan kelapa sawit yang baru dibuka di Riau, sehingga membentuk suatu komunitas tersendiri yang kini berjumlah cukup signifikan.
Era reformasi
Pada tahun 1999, Saleh Djasit terpilih menjadi putra daerah asli Riau kedua (selain Arifin Achmad) dan pertama dipilih oleh DPRD Provinsi sebagai gubernur.
Pada tahun 2003, mantan Bupati Indragiri Hilir, Rusli Zainal, terpilih menjadi gubernur, dan terpilih kembali lewat pemilihan langsung oleh rakyat pada tahun 2008.
Mulai tanggal 19 Februari 2014, Provinsi Riau secara resmi dipimpin oleh gubernur, Annas Maamun.
Baru memimpin 7 Bulan, Annas Maamun dilengserkan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Menangkap Tangan Annas Maamun dalam kasus Alih Fungsi Lahan di Kabupaten Kuansing.
Saat Ini Provinsi Riau di pimpin oleh Arsyadjuliandi Rachman (Andi Rachman).
Setelah kejatuhan Orde Baru, Riau menjadi salah satu sasaran provinsi yang akan dimekarkan.
Pada tahun 2002, pemerintah menetapkan pemekaran Kepulauan Riau yang beribu kota di Tanjung Pinang, dari provinsi Riau.
Kondisi dan sumber daya alam
Geografi
Luas wilayah provinsi Riau adalah 87.023,66 km², yang membentang dari lereng Bukit Barisan hingga Selat Malaka.
Riau memiliki iklim tropis basah dengan rata-rata curah hujan berkisar antara 2000-3000 milimeter per tahun, serta rata-rata hujan per tahun sekitar 160 hari.
Sumber daya alam
Provinsi ini memiliki sumber daya alam, baik kekayaan yang terkandung di perut bumi, berupa minyak bumi dan gas, serta emas, maupun hasil hutan dan perkebunannya.
Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah, secara bertahap mulai diterapkan sistem bagi hasil atau perimbangan keuangan antara pusat dengan daerah.
Aturan baru ini memberi batasan tegas mengenai kewajiban penanam modal, pemanfaatan sumber daya, dan bagi hasil dengan lingkungan sekitar.
Kependudukan
Jumlah penduduk provinsi Riau berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Riau tahun 2010 sebesar 5.543.031 jiwa.
Kabupaten/Kota yang memiliki jumlah penduduk terbanyak adalah Kota Pekanbaru dengan jumlah penduduk 903.902 jiwa, sedangkan Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk terkecil adalah Kabupaten Kepulauan Meranti yakni sebesar 176.371 jiwa.
Suku Bangsa
Penduduk provinsi Riau terdiri dari bermacam-macam suku bangsa.
Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa Suku Melayu merupakan masyarakat terbesar dengan komposisi 33.20% dari seluruh penduduk Riau.
Mereka umumnya berasal dari daerah pesisir di Rokan Hilir, Dumai, Bengkalis, Kepulauan Meranti, hingga ke Pelalawan, Siak, Inderagiri Hulu dan Inderagiri Hilir.
Suku bangsa lainnya yaitu Jawa (29.20%), Batak (12.55%), Minangkabau (12.29%), Banjar (4.13%), Bugis (1.94%), Tionghoa (1.85%), Suku Sunda 1.41%, Nias 1.29% dan Suku Lainnya 2.14%.
Ada juga masyarakat asli Riau bersuku rumpun Minangkabau terutama yang berasal dari daerah Rokan Hulu, Kampar, Kuantan Singingi, dan sebagian Inderagiri Hulu.
Juga masyarakat Mandailing di Rokan Hulu, yang lebih mengaku sebagai Melayu daripada sebagai Minangkabau ataupun Batak.
Abad ke-19, masyarakat Banjar dari Kalimantan Selatan dan Bugis dari Sulawesi Selatan, juga mulai berdatangan ke Riau.
Mereka banyak bermukim di Kabupaten Indragiri Hilir khususnya Tembilahan.
Di bukanya perusahaan pertambangan minyak Caltex pada tahun 1940-an di Rumbai, Pekanbaru, mendorong orang-orang dari seluruh Nusantara untuk mengadu nasib di Riau.
Suku Jawa dan Sunda pada umumnya banyak berada pada kawasan transmigran.
Sementara etnis Minangkabau umumnya menjadi pedagang dan banyak bermukim pada kawasan perkotaan seperti Pekanbaru, Bangkinang, Duri, dan Dumai.
Begitu juga orang Tionghoa pada umumnya sama dengan etnis Minangkabau yaitu menjadi pedagang dan bermukim khususnya di Pekanbaru, serta banyak juga terdapat pada kawasan pesisir timur seperti di Bagansiapiapi, Selatpanjang, Pulau Rupat dan Bengkalis.
Selain itu di provinsi ini masih terdapat sekumpulan masyarakat asli yang tinggal di pedalaman dan pinggir sungai, seperti Orang Sakai, Suku Akit, Suku Talang Mamak, dan Suku Laut.
Bahasa
Bahasa pengantar masyarakat provinsi Riau pada umumnya menggunakan Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia.
Bahasa Melayu umumnya digunakan di daerah-daerah pesisir seperti Rokan Hilir, Bengkalis, Dumai, Pelalawan, Siak, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir dan di sekitar pulau-pulau.
Bahasa Minang secara luas juga digunakan oleh penduduk di provinsi ini, terutama oleh para oleh penduduk asli di daerah Kampar, Kuantan Singingi, dan Rokan Hulu yang berbudaya serumpun Minang serta para pendatang asal Sumatra Barat.
Selain itu Bahasa Hokkien juga masih banyak digunakan di kalangan masyarakat Tionghoa, terutama yang bermukim di Pekanbaru, Selatpanjang, Bengkalis, dan Bagansiapiapi.
Dalam skala yang cukup besar juga didapati penutur Bahasa Jawa yang digunakan oleh keturunan para pendatang asal Jawa yang telah bermukim di Riau sejak masa penjajahan dahulu, serta oleh para transmigran dari Pulau Jawa pada masa setelah kemerdekaan.
Di samping itu juga banyak penutur Bahasa Batak di kalangan pendatang dari Provinsi Sumatra Utara.
Tentang Riau:
Nama: Riau
Hari jadi: 9 Agustus 1957
Dasar hukum: Undang-Undang RI No. 19/drt Tahun 1957, tanggal 10 Agustus 1957
Ibu kota: Pekanbaru
- Total luas: 87.023,66 km2
Populasi
- Total: 6.657.911 jiwa (2017)
- Kepadatan: 76,50 jiwa/km2
Sumber berita: https://www.kompas.com/tren/read/2019/09/13/191302665/viral-soal-alat-pengukur-kualitas-udara-yang-bertuliskan-tinggalkan-riau?page=all