OPINI
OPINI - Fenomena Uang Panaik
Penulis adalah Sarjana Tafsir Hadis di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar.
Oleh:
Suanto
Sarjana Tafsir Hadis di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar.
Masyarakat Sulawesi Selatan sering kali dikagetkan dengan pemberitaan uang panaik yang nilainya mencapai ratusan juta.
Hal ini, secara tidak sadar membentuk paradigma dalam masyarakat akan pertimbangan kelas sosial saat hendak menikahkan anaknya.
Bahkan dapat memunculkan rasa gengsi ketika nilai nominal tidak sebanding dengan berita yang beredar di tengah-tengah masyarakat.
Akibatnya, uang panaik menjadi momok menakutkan bagi kalangan anak muda di daerah ini. Khususnya mereka yang ingin menikahi gadis berdarah Bugis-Makassar.
Namun paradigma semacam itu lambat laun terkikis dengan pemberitaan mengenai fenomena al-Qur’an dijadikan mahar.
Salah satu contoh kasus yang viral baru-baru ini adalah pernikahan antara Salahuddin dan Nur Awaliyah yang berlangsung di Sungguminasa, Kabupaten Gowa, Kamis (13/6/2019).
Salahuddin sebagai mempelai pria menjadikan al-Qur’an dan cincin emas sebagai mahar tanpa uang panaik.
Haru dan bahagia pun menyelimuti ruangan yang penuh hikmah ketika Salahuddin mempersembahkan surah al-Rahman di hadapan banyak orang.
Fenomena al-Qur’an dijadikan mahar sebenarnya bukanlah hal yang baru di erah milenial ini, melainkan sudah ada pada masa Rasulullah saw.
Baca: 57 Pasangan di Gowa Memilih Bercerai Setelah Idul Fitri, Ada yang Pisah Sehari Usai Salat Ied
Ketika itu Rasulullah hendak menikahkan salah seorang sahabat namun, ia tak memiliki sesuatupun selain sehelai sarung yang dikenakan.
Lalu Rasulullah memerintahkan untuk mencari sesuatu yang dapat dijadikan mahar meskipun cincin yang terbuat dari besi. Tetap saja pemuda itu tidak menemukan sesuatu yang dapat dijadikan mahar.
Lalu Rasulullah menanyai pemuda tersebut akan hafalan Qur’annya yang ternyata menghafalkan beberapa surah.
Akhirnya Rasulullah menikahkannya dengan mahar Al Quran yang dihafal oleh pemuda tersebut. (Dikisahkan dalam Sahih Bukhari no. 4742)
Gambaran kisah tersebut seharusnya menjadi bahan pertimbangan para orangtua ketika hendak menikahkan anaknya.
Sebab Rasulullah memberikan isyarat kepada ummatnya agar pernikahan dapat dimudahkan, bukan justru dipersulit dengan mahar. Apa lagi uang panaik.
Namun kisah tersebut bukanlah dalil bahwa wanita hendaknya dinikahi dengan mahar berupa al-Qur’an semata. Sebab Rasul tidak serta merta menikahkan pemuda tersebut dengan mahar berupa al-Qur’an.
Melainkan tetap diperintahkan untuk berusaha mewujudkan mahar dalam bentuk materi yang dapat dimiliki berupa harta meski jumlahnya sangat kecil.
Sebab mahar merupakan wujud kesungguhan seorang laki-laki kepada perempuan.
Baca: HUT Bhayangkara, Ustadz Dasad Latief Bakal Hadir di Toraja
Di samping itu, perempuan juga merupakan makluk yang patut dihargai dan punya hak untuk memiliki harta.
Sedangkan Al-Qur’an adalah alternatif yang dapat dijadikan mahar jika tidak terdapat harta sama sekali.
Itulah gambaran tentang aturan dalam agama Islam yang tidak mempersulit dalam hal pernikahan namun tetap menjaga kehormatan seorang perempuan dengan diwajibkannya mahar.
Al-Qur’an dijadikan mahar sesunguhnya tidak menjadi persoalan selama perempuan yang hendak dinikahinya ridha.
Bahkan mereka menganggap hal tersebut merupakan langka awal dalam membina keluarga yang sakinah mawaddah wa rahma.
Di samping itu diperkuat asumsi bahwa sangat sulit menemukan pemuda di era modern ini yang menghafalkan al-Qur’an dan istiqamah di jalan Allah.
Sehingga penghafal al-Qur’an menjadi sosok yang sangat bernilai di hati masyarakat saat ini.
Baca: Teken MoU, Ini Perjanjian Kerjasama Pemkab Majene dan Lipi
Baca: Kasus Tindak Pidana Pemilu TPS Saluleang Kini di Tangan Kejari Mamasa
Tidak heran jika beberapa orang tua meminta agar anaknya dinikahi dengan mahar al-Qur’an tanpa uang panaik. Kesempatan semacam ini kerap kali muncul di saat bulan suci Ramadan telah usai.
Selama sebulan penuh, orangtua melakukan penilaian terhadap hafalan pemuda yang menjadi imam di masjid sekitar rumah mereka.
Maka tidak jarang resepsi pernikahan berlanjut di luar bulan suci Ramadan.
Pemahaman orang tua tentang harta dalam hal ini uang panaik telah tergantikan oleh kekuatan iman dan taqwa yang melekat pada seorang pemuda yang hendak dijadikan menantu.
Barometer kebahagiaan tidak lagi diukur melalui materi yang ditawarkan melainkan seberapa bisa ia membangun keluarga yang taat kepada pencipta.
Tidak lagi gengsi dengan rendahnya uang panaik tetapi gengsi akan rendahnya akhlak dan iman yang ada pada calon menantu.
Sehingga wajar jika perlahan uang panaik dilemahkan akan hadirnya fenomena al-Qur’an dijadikan mahar. Wallahu a’lam bi al-shawab. (*)
Catatan: tulisan ini telah terbit di Tribun Timur edisi cetak, Selasa (18/06/2019)