Penembak 50 Jamaah Christchurch Ajukan Tes Kejiwaan Hingga Usai Idul Fitri
“saya hanya akan dipenjara 27 tahun, dan saat keluar penjara akan mendapat hadiah nobel perdamaian, seperti Mandela.”
Penulis: Edi Sumardi | Editor: Thamzil Thahir
AUCKLAND, TRIBUN — Brenton Harrisson Tarrant (28), terdakwa tunggal aksi penembakan sadis pada dua masjid di Christchurch, New Zealand, Jumat (15/3/2019) lalu, mengajukan rangkaian tes kejiawaan, sebelum menjalani rangkaian sidang panjang di Pengadilan Tinggi Christchurch di Auckland.
Tes kejiwaan dalam pengawasan ketat pengadilan ini dan otoritas hukum NZ ini, diajukan dua pengacara lokal, Shane Tait dan Jonathan Hudson dalam sidang kedua Brenton, di Pengadilan Tinggi Christchurch, Jumat (5/4/2019) pagi.
Hukum acara di NZ, memungkinkan seorang pesakitan mengajukan “mental health assessment” dalam periode tertentu.
Harian Stuff, melansir permintaan klien duo pengacara publik kasus kriminal dari Auckland Community Law, semacam LBH di Indonesia itu, dimohonkan ke mejelis hakim untuk periode 60 hari. Tepatnya, hingga 14 Juni 2019, atau usai Hari Raya Lebaran Idul Fitri 1439 H.
Sejak ditangkap, --sekitar 30 menit usai insiden berdarah-, hingga Jumat (5/4/2019), Brenton masih mendekam di penjara “high security wing’ di Auckland Prison, Suburb Paremoremo, NZ.

Baca: Monster Pembunuh 50 Jamaah Christchurch Sebut Dirinya Seperti Nelson Mandela, Siapa Dia ?
Baca: Pelaku Penembakan 49 Jamaah di Masjid, Brenton Tarrant Batal Diberi Hukuman Mati, UU Terorisme?
Sidang pertama 16 Maret, sehari pasca-kejadian berdarah yang menawaskan 50 orang dan melukai 39 jamaah dari masjid di kota terbesar ketiga di NZ itu.
Sidang kedua, kemarin dihadiri puluhan keluarga dan kerabat korban tewas. Komunitas Muslim New Zealand, bergabung bersama para korban luka, yang khusus datang menyaksikan sidang kedua.
Awalnya, Brenton tak ingin didampingi pengacara. Kepada otoritas penyidik, Brenton menegaskan siap menghadapi sidang dan hukuman penjara.
Dia berspekulasi, “saya hanya akan dipenjara 27 tahun, dan saat keluar penjara akan mendapat hadiah nobel perdamaian, seperti Mandela.
Brenton mengibaratkan, dirinya seperti Nelson Mandela, mendiang pejuang hak kesetaraan kulit hitam di Afrika Selatan.
Dengan tagan diborgol, berpakaian abu-abu gelap, tanpa penutup kepala laiknya kriminal sadis lain, Brenton dikawal dua aparat memasuki ruang sidang.

Otoritas hukum NZ, menjaga sidang dan menerapkan aturan ketat. Wartawan asing dan jaringan berita internasional, harus memperoleh izin tertulis. Laiknya melewati kotak screen imigrasi di bandara, semua pengujung diperiksa.
Wartawan sama sekali dilarang memplubikasikan raut muka Brenton. Wartawan yang akan meliput sidang, menekan perjanjian harus mem-buramkan- muka Brenton saat disiarkan. Pertimbangan keamanan, serta saran dari satuan polisi ‘conterterorism” jadi pertimbangan.
Hakim kasus ini, Cameron Mander dilaporkan menolak 12 aplikasi peliputan dan pengambilan gambar sidang. “Kami ingin, publik menghargai prosedur hukum negara kami.”
Ke-12 organisasi media asing dan kantor berita dari Asia dan Eropa itu, hanya meliput jalannya sidang dari layar audio-video dalam sebuah ruangan yang dijaga ketat aparat. Video sidang itu tidak disiarkan langsung, melainkan diedit dan dengan izin majelis hakim.
Helal Uddin, salah seorang pengunjung menyebut raut muka Brenton sama sekali tak menunjukkan penyesalan. “Bahkan dia sepertinya sangat arogan, dan memusuhi keluarga korban,”.