Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Hj Tampang, Nenek Asal Sinjai Punya Ilmu Seperti Kanjeng Dimas, Tipu Orang Nunukan hingga Jakarta

Hj Tampang, Nenek Asal Sinjai Punya Ilmu Seperti Kanjeng Dimans, Tipu Orang Nunukan hingga Jakarta

Editor: Ilham Arsyam
darul
Pelaku penipuan dan penggelepan, Hj Tampang (61) saat dihadirkan dalam rilis kasusnya di Mapolsek Bontoala, Kota Makassar, Sulsel. 

Dia, nenek Tampang diduga ada orang yang menyuruh untuk melakukan aksi tersebut.

"Kami menduga ada orang lain, kalau mau dikata seperti sindikat, ini yang masih kami dalami, begitulah orangtua, pengakuannya berbelit-belit," tambah Saharuddin. 

Dari tangan pelaku polisi berhasil temukan beberapa kertas bacaan ayat suci Al Qur’an yang digunakan oleh pelaku sebagai jimat untuk gandakan uang.

Analisa Psikolog

Menurut Dosen Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Avin Fadilla Helmi menilai, fenomena ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat Indonesia masih mudah tergoda iming-iming untuk kaya secara instan, seperti ingin kaya melalui penggandaan uang.

Seseorang, lanjut dia, hanya berpikir bahwa uang adalah jalan keluar untuk berbahagia dan menikmati kemewahan.

Akibatnya, logika kerap diabaikan.

Seringkali, pengabaian ini disebabkan hilangnya pola hidup sederhana. Kemewahan malah menjadi penanda utama modernisasi untuk semua kelas ekonomi.

"Model-modelnya lebih cenderung hedonistik, menyenangkan, hal-hal yang sifatnya keduniawian. Kota-kota saja saat ini banyak mal, mau tidak mau yang diciptakan bukan kesederhanaan," ujar Ivan kepada Kompas.com beberapa waktu lalu.

Ivan lalu mengatakan, ilmu psikologi mengenal proses seperti netralisasi terhadap perilaku yang tidak betul yang disebut moral disengagement.

Orang seharusnya merasa bersalah dan malu jika melakukan sesuatu yang salah atau tidak logis, tetapi kini kepekaan itu hilang.

Dia mengaku pernah melakukan survei sederhana tentang cara orang membuat SIM.

Sebagian besar menjawab bahwa mereka mau membayar lebih mahal agar SIM jadi lebih cepat tanpa mengikuti prosedur yang berbelit-belit.

"Ini menurut saya tidak sengaja telah tercipta sistem nilai dan perilaku, menggambarkan semua bisa dibeli dengan instan dan tidak harus bekerja keras. Nilai semua dipangkas, tidak melalui fase-fase yang mendidik, misalnya untuk berpahit-pahit dahulu lalu buahnya manis," ungkapnya.

Seseorang, lanjut dia, tidak lagi memiliki ketangguhan personal untuk mampu meregulasi diri dengan menggunakan kekuatannya untuk menerima hal yang positif dan menolak yang negatif.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved