TRIBUNWIKI: Sejarah Adanya Golongan Putih atau Golput pada Pemilihan Umum di Indonesia
TRIBUNWIKI: Sejarah Adanya Golongan Putih atau Golput pada Pemilihan Umum di Indonesia
Penulis: Desi Triana Aswan | Editor: Arif Fuddin Usman
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Sudah dua episode debat capres 2019 digelar.
Masing-masing Capres dan Cawapres baik baik paslon nomor urut 01 Jokowi-Maruf maupun Prabowo-Sandi mengemukaka visi dan misi untuk masa kepemimpinan lima tahun ke depan.
Namun, apakah kalian sudah menentukan kemana suara akan berlabuh?
Baca: 13 Ponpes Ikut Lomba Barazanji dan Talqin Berbahasa Bugis di Masjid Cheng Hoo Makassar
Baca: Ingat Haji Isam, Pria Kaya Raya Disebut Dekat dengan Syahrini Sebelum Nikahi Reino Barack,5 Faktanya
Sudah cukupkah pertimbangan kalian jika hanya melihat debat? atau eksistensi para calon pemimpin bangsa di sosial media dan aksi kampanye lainnya?
Masyarakat dituntut pada 17 April 2019 nanti, harus menjatuhkan pilihan bukan hanya untuk pemimpin negeri namun perwakilan suara rakyat atau dikenal dengan istilah DPR.
Setiap orang berkonsentrasi penuh untuk menghadapi pemilu serentak ini.
Namun, sekali lagi apakah kalian sudah menjatuhkan tambatan hati? Atau kalian malah tidak ingin memilih?
Hampir sebagian besar masih belum bisa menentukan suara ataupun mengklaim diri masing-masing untuk tidak memilih.
Baca: PSM Makassar Upayakan Rahmat dan Pellu Tampil Lawan Lao Toyota
Baca: Pamit ke Papua 10 Hari, Ini Curhatan Kekasih Serda Yusdin, Kopassus yang Tewas Tertembak oleh KKB
Kepada orang-orang yang tidak menentukan pilihan kepada semua calon disebut dengan 'golongan putih'.
Lalu, kapankah golongan putih atau golput terjadi di Indonesia?
Asal Mula Golput
Dilansir dari wikipedia, golongan putih atau yang disingkat golput adalah istilah politik di Indonesia yang berawal dari gerakan protes dari para mahasiswa dan pemuda untuk memprotes pelaksanaan Pemilu 1971 yang merupakan Pemilu pertama di era Orde Baru.
Pesertanya 10 partai politik, jauh lebih sedikit daripada Pemilu 1955 yang diikuti 172 partai politik.
Tokoh yang terkenal memimpin gerakan ini adalah Arief Budiman.
Namun, pencetus istilah “Golput” ini sendiri adalah Imam Waluyo.
Dipakai istilah “putih” karena gerakan ini menganjurkan agar mencoblos bagian putih di kertas atau surat suara di luar gambar parpol peserta Pemilu bagi yang datang ke bilik suara.
Namun, kala itu, jarang ada yang berani tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena akan ditandai.
Golongan putih kemudian juga digunakan sebagai istilah lawan bagi Golongan Karya, partai politik dominan pada masa Orde Baru.
Gerakan Moral 1971
Golongan putih (golput) pada dasarnya adalah sebuah gerakan moral yang dicetuskan pada 3 Juni 1971 di Balai Budaya Jakarta.
Gerakan itu sebulan sebelum hari pemungutan suara pada pemilu pertama di era Orde Baru dilaksanakan.
Arief Budiman sebagai salah seorang eksponen Golput berpendapat bahwa gerakan tersebut bukan untuk mencapai kemenangan politik.
Baca: LOGIN Pendaftaran Pendamping PKH Kemensos, Link ssdm.pkh.kemsos.go.id Sisa 8 Jam, Cek Gaji & Tahapan
Baca: Ingat Haji Isam, Pria Kaya Raya Disebut Dekat dengan Syahrini Sebelum Nikahi Reino Barack,5 Faktanya
Tetapi lebih untuk melahirkan tradisi di mana ada jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa dalam situasi apa pun.
Menurut kelompok ini, dengan atau tanpa pemilu, kekuatan efektif yang banyak menentukan nasib negara ke depan adalah ABRI.
Diakomodasi Orde Baru
Kebanyakan tokoh pencetus Golput adalah “Angkatan ‘66”, walaupun sebagian tokoh “Angkatan ‘66” diakomodasi Orba dalam sistem.
Mereka ada yang menjadi anggota DPR-GR, bahkan Menteri. Namun, ada pula yang tetap kritis melawan rezim baru yang dianggap mengingkari janji itu.
Pencetusan gerakan itu disambung dengan penempelan pamflet kampanye yang menyatakan tidak akan turut dalam pemilu.
Jangan Lupa Subscribe Channel Youtube Tribun Timur:
Tanda gambarnya segi lima dengan dasar warna putih, kampanye tersebut langsung mendapat respons dari aparat penguasa.
Pangkopkamtibda Djakarta menyatakan Golput sebagai organisasi terlarang dan pamflet tanda gambar golput mesti dibersihkan.
Sejumlah diskusi yang digelar anasir golput juga dilarang oleh Komando Keamanan Langsung (Kokamsung) Komda Metro Jaya.
Kokamsung sempat pula memanggil para eksponen Golput, yaitu Arief Budiman, Julius Usman, Imam Walujo, Husin Umar, dan Asmara Nababan.
Jangan Lupa Subscribe Instagram Tribun Timur:
Larangan serupa juga dilakukan di Jawa Tengah. Bahkan Menteri Luar Negeri Adam Malik menyebut golput sebagai golongan setan.
Menyambut minggu tenang, Golput sebagai gerakan moral membuat memorandum berisi seruan agar masyarakat menggunakan haknya dengan keyakinan.
Siapa pun dipersilakan memilih atau tidak memilih. Memorandum berbunyi, "kalau ada jang merasa lebih baik tidak memilih daripada memilih, bertindaklah atas dasar kejakinan itu pula".
Survei Terus Naik
Sejak Pemilu 1955 angka Golput cenderung terus naik. Bila dihitung dari pemilih tidak datang dan suara tidak sah,golput pada pemilu 1955 sebesar 12,34%.
Pada pemilu 1971, ketika Golput dicetuskan dan dikampanyekan, justru mengalami penurunan hanya 6,67%.
Baca: Doktor M Said Protes Diganti Jadi Anggota DPRD Makassar Saya Mau Gugat Pemprov Sulsel
Baca: 13 Ponpes Ikut Lomba Barazanji dan Talqin Berbahasa Bugis di Masjid Cheng Hoo Makassar
Pemilu 1977 Golput sebesar 8,40%, 9,61% (1982), 8,39% (1987), 9,05% (1992), 10,07% (1997), 10.40% (1999), 23,34% (Pileg 2004), 23,47% (Pilpres 2004 putaran I), 24,95% (Pilpres 2004 putaran II).
Pada Pilpres putaran II setara dengan 37.985.424 pemilih. Pemilu legislatif 2009 partisipasi pemilih sebesar 71%. Artinya jumlah golput (dalam arti longgar) terdapat 29%.
Sedangkan menurut perkiraan berbagai sumber jumlah golput pada pemilu Presiden 2009 sebesar 40%. Angka-angka golput ini cukup tinggi.
Dasar hukum
Klausul yang dijadikan dalil pembenaran logika golput dalam Pemilu di Indonesia yaitu UU No 39/1999 tentang HAM Pasal 43.
Selanjutnya, UU No 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil Politik yaitu di Pasal 25 dan dalam UU No 10/2008 tentang Pemilu disebutkan di Pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: "WNI yang pada hari pemungutan suara telah berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.
Golput itu hak
Dalam klausul tersebut kata yang tercantum adalah "hak" bukan "kewajiban".
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang diamendemen pada 1999-2002, tercantum dalam Pasal 28 E: "Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali".
Hak memilih di sini termaktub dalam kata "bebas". Artinya bebas digunakan atau tidak. (*)