Gelar Dialog Sosial Politik, FSPBI Harap Keadilan Soal Upah
dialog sosial politik ini digelar sebagai salah sentuk bentuk perjuangan kaum buruh yang selama ini masih banyak yang tak terpenuhi haknya.
Penulis: Fahrizal Syam | Editor: Nurul Adha Islamiah
Laporan Wartawan Tribun Timur, Fahrizal Syam
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Federasi Serikat Perjuangan Buruh Indonesia (FSPBI) menggelar Dialog Sosial Politik bertema Gerakan Rakyat Pekerja Menentukan Masa Depan Bngsa, di Baruga Anging Mamiri Rujab Wali Kota Makassar, Minggu (2/12/2018).
Dialog dihadiri Kepala Dinas Tenaga Kerja Kota Makassar Andi Irwan Bangsawan, anggota Dewan Pengupahan Kota Makassar, dan ratusan buruh.
Presiden FSPBI Mukhtar Guntur, mengatakan, dialog sosial politik ini digelar sebagai salah sentuk bentuk perjuangan kaum buruh yang selama ini masih banyak yang tak terpwlenuhi haknya.
Baca: NGERI Video Instruktur Paralayang Meregang Nyawa Demi Lindungi Turisnya, Lihat Kepanikannya di Udara
Baca: Hasil SKD CPNS Jeneponto Segera Diumumkan
Baca: Antisipasi Banjir, Dinas PUPR Bersihkan Sampah di Pasar Minasa Maupa Gowa
"Kita melihat selama ini pekerja tak dianggap, bahkan dari kebijakan-kebijakan pemerintah dinomorduakan, dan tak menjadi prioritas. Padahal penggerak ekonomi makro itu adalah para pekerja atau buruh," kata Mukhtar.
"Kalau buruh di Indonesia tak bekerja atau tak mau melakukan pekerjaan, maka perekonomian pasti akan ambruk. Itu yang kemudian menjadi kesimpulan kita, seperti tema bahwa rakyat pekerja menetukan masa depan bangsa, apalagi kalau bicara pajak, industri, dan lain-lain," sambung dia.
Ia melanjutkan, bicara soal keinginan pekerja, mestinya kesejahteraan yang selalu dituntut kaum buruh itu terpenuhi, bagaimana perbaikan nasib semakin hari semakin baik.
"Terkait situasi sekarang, seperti yang selalu disampaikan Presiden Jokowi bahwa di Indonesia harus ditegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, karena itu kemudian, bicara soal keadilan kita menyikapi penetapan upah itu harus rata secara nasional, sehingga UMP atau UMK tidak jadi masalah," imbuhnya.
Menurut Mukhtar, UMP dan UMK saat ini menjadi salah satu bentuk ketidakadilan sosial, sehingga serikat buruh sampai hari ini tetap memperjuangkan agar penetapan upah seragam secara nasional.
"Tak mungkin tercapai keadilan jika seperti sekarang, ada yang upahnya terlalu tinggi, di Karawang misalnya upahnya lebih 4 juta rupiah, tapi di sekitarnya, Bogor, baru di kisaran 3 juta rupiah. Contoh terdekat, di Makassar UMK-nya 2,9 juta lebih, sedangkan UMP 2,7 juta lebih. UMP berlaku di Maros, UMK di Makassar, padahal orang kerja di Makassar bisa jadi tinggalnya di Maros, dan sebaliknya," ucapnya.
Lanjut dia menjelaskan, cita-cita atau harapan pekerja ke depan agar pekerja tidak hanya sebagai objek, tetapi subjek dalam artian buruh tidak hanya menuntut tapi tidak mempersiapkan dirinya atau konsep dan gagasan yang sifatnya untuk perbaikan perubahan.
"Gagasan itu yang kita angkat agar pekerja di Indonesia lebih dewasa menghadapi persoalan, tak sedikit-sedikit demo atau tutup jalan, itu dibutuhkan tapi nanti kalau terpaksa," kata dia.
"Yang dibutuhkan sekarang, apalagi pemerintahan sudah terbuka, karena banyak serikat pekerja yang cara berfikirnya jaman old, artinya tidak bisa. Seolah-olah pemerintah sama saja dulu dan sekarang. Kalau kami di KSN dan FSPBI melihat sudah ada perubahan, walau masih banyak kekurangan, inilah yang dibenhi melalui gagasan," pungkasnya.
Lebih dekat dengan Tribun Timur, subscribe channel YouTube kami:
Follow juga akun instagram official kami: