Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Mahfud MD & Megawati Pernah Minta Jabatan ke Presiden, Ada yang Ditolak dan Disuruh Belajar ke SBY

Mahfud MD & Megawati Pernah Minta Jabatan ke Presiden, Ada yang Ditolak dan Disuruh Belajar ke SBY

Editor: Rasni
Mahfud MD & Megawati Pernah Minta Jabatan ke Presiden, Ada yang Ditolak dan Disuruh Belajar ke SBY 

TRIBUN-TI,UR.COM - Mahfud MD & Megawati Pernah Minta Jabatan ke Presiden, Ada yang Ditolak dan Disuruh Belajar ke SBY

Menghadapi Pilpres 2019, Joko Widodo memilih Ma'ruf Amin sebagai pasanganya.

Tepatnya, Ma'ruf dipilih Jokowi sebagai bakal calon wakil presiden (bacawapres).

Pemilihan nama Ma'ruf sempat menjadi kabar yang mengejutkan.

Baca: Mantap Maccaleg, Ini Motivasi Ketua Apdesi Sulsel Asal Bone

Baca: Ditanya Sopan, Jawaban Netizen Malaysia Ini Sampai Disorot Menpora Syed Saddiq

Baca: Viral Kocaknya Video Atlet Goda Petugas Imigrasi Pakai Bahasa Indonesia & Nyanyi Indonesia Raya

Mahfud MD mengaku sudah mendengar kabar penetapan cawapres tersebut.

Setelah mengetahui bahwa dia tidak dipilih, Mahfud mengaku tidak kecewa dengan keputusan Jokowi dan sembilan partai koalisi pendukungnya.

"Saya tidak kecewa, kaget saja, karena sudah diminta mempersiapkan diri, bahkan sudah agak detail," kata Mahfud, dalam sebuah wawancara di Kompas TV, pada Kamis (9/8/2018) lalu.

Dilansir dari Kompas.com, Jokowi dan para partai pendukungnya mengungkap nama Ma'ruf Amin sebagai cawapres dalam sebuah pertemuan di restoran Plataran, Menteng, pada Kamis sore.

Setelah diminta mempersiapkan diri, Mahfud MD sebenarnya sempat menunggu di restoran yang tidak jauh dari tempat pertemuan.

Namun, setelah beberapa lama menunggu, Mahfud memutuskan pulang.

Meski begitu, Mahfud menilai bahwa hal yang dialaminya sebagai peristiwa politik biasa.

"Biasa di dalam politik, itu tidak apa-apa," ujar mantan Menteri Pertahanan di era Presiden Abdurrahman Wahid ini.

"Kita harus lebih mengutamakan keselamatan negara ini daripada sekadar nama Mahfud, nama Ma'ruf Amin," ucap Mahfud.

Riwayat Mahfud MD

Mahfud MD, akademisi yang pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi ini, tercatat pernah menjadi Ketua Pemenangan pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa pada Pemilihan Presiden 2014.

Menjelang Pilpres 2019, namanya masuk daftar kandidat bakal calon wakil presiden bagi Joko Widodo.

Seperti apa rekam jejak Mahfud?

Mohammad Mahfud MD lahir pada 13 Mei 1957 di Omben, Sampang, Madura, Jawa Timur.

Dia lahir dari pasangan Mahmodin dan Siti Khadijah.

Dilansir dari Kompas.com, pendidikan dasarnya dijalani di Kecamatan Waru, Pamekasan.

Dilansir dari Kompas.com, masa kecil Mahfud juga diisi dengan menjalani pendidikan di Madrasah Diniyah pada sore hari.

Setelah menamatkan pendidikan dasar, ia melanjutkan Sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) di Pamekasan.

Setelah tamat dari PGA, dia melanjutkan ke Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) di Yogyakarta.

Selanjutnya, Mahfud berhasil masuk Sastra Arab Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) secara bersamaan.

Akhirnya, dia lebih memilih UII karena keinginan untuk lebih mendalami hukum.

Ketika berada di kampus, dia aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan lembaga pers.

Di sinilah jiwa politik Mahfud terasah.

Pada 1983, Mahfud lulus dari Fakultas Hukum UII dan kemudian bekerja sebagai dosen untuk almamaternya.

Sembari menjadi dosen, dia melanjutkan kuliah S2 dan S3 di UGM.

Kariernya semakin cemerlang ketika Mahfud MD dikukuhkan sebagai guru besar bidang politik hukum pada 2000.

Sepak terjang Mahfud membuat Gus Dur memilihnya menjadi Menteri Pertahanan pada Kabinet Persatuan Nasional.

Mahfud juga merangkap sebagai Menteri Kehakiman dan HAM setelah Yusril Ihza Mahendra diberhentikan oleh Gus Dur.

Setelah menapaki karier sebagai menteri, Mahfud mencoba masuk ke dunia politik.

Awalnya, dia tergabung dalam Partai Amanat Nasional (PAN), dan kemudian pindah ke Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Mahfud terpilih menjadi anggota DPR RI periode 2004-2008 untuk Fraksi PKB.

Ia ditempatkan di Komisi III DPR RI.

Mahfud juga tercatat sebagai Anggota Tim Konsultan Ahli pada Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).

Tidak hanya masuk ranah politik, pada 2008, ia terpilih menjadi hakim konstitusi melalui jalur DPR dan terpilih sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi selama dua periode, 2008-2011 dan 2011-2013.

Pada 2014, ia menjadi ketua tim pemenangan Koalisi Merah Putih yang mengusung Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa.

Namun, Prabowo-Hatta kalah dalam Pilpres 2014.

Mahfud MD menawar jabatan ke Gus Dur

Mahfud MD menjadi salah satu orang yang dipercaya Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, untuk mengisi Kabinet Persatuan Nasional.

Pengalaman Mahfud ditunjuk sebagai menteri oleh Gus Dur ia ceritakan dalam bukunya "Setahun Bersama Gus Dur: Kenangan Menjadi Menteri di Saat Sulit" (2003).

Mahfud menceritakan, ia dipanggil dan menghadap Gus Dur di sebuah rumah di Jalan Irian Nomor 7, Jakarta Pusat.

Rumah tersebut memang dikenal sebagai tempat bertemunya Gus Dur dengan tamu-tamunya di luar jam kerja.

Setelah bertemu Mahfud, Gus Dur pun mengatakan bahwa di kabinetnya saat ini dibutuhkan tiga orang ahli tata negara yang tegas untuk jabatan menteri.

"Saya sudah punya dua, yaitu Marsillam (Marsillam Simanjuntak) dan Yusril (Yusril Ihza Mahendra). Satunya lagi saya minta Antum (Anda) bergabung di kabinet," kata Gus Dur.

Dilansir dari Kompas.com, Mahfud yang saat itu menjabat Rektor I Universitas Islam Indonesia lantas bertanya ke Gus Dur, di pos menteri apa ia akan ditempatkan.

Gus Dur menjawab dengan cepat, "menteri pertahanan".

Mahfud pun kaget mendengar jawaban tersebut.

Saking tidak percayanya, Mahfud bahkan merasa dirinya salah dengar.

Ia mengira yang dimaksud Gus Dur adalah menteri pertanahan.

Ia merasa jabatan menteri pertanahan lebih masuk akal karena masalah agraria banyak sekali bersangkutan dengan hukum administrasi negara yang merupakan cabang dari hukum tata negara.

Namun, Gus Dur menegaskan bahwa jabatan yang disediakan untuk Mahfud adalah menteri pertahanan.

Mahfud pun menyatakan kepada Gus Dur bahwa ia sama sekali tidak memiliki pengalaman di bidang militer dan pertahanan sehingga kurang tepat mengisi pos itu.

"Kalau cuma itu, Antum bisa tanya-tanya pada Pak Yudhoyono (Susilo Bambang Yudhoyono), sebab yang penting otoritas dan arah kebijakannya, bukan soal teknis kemiliterannya," ucap Gus Dur santai.

Tak puas, Mahfud pun masih mencoba menawar ke Gus Dur.

Ia meminta posisi menteri pertahanan diberikan saja ke Yusril, sementara ia mengisi menteri kehakiman.

Namun, Gus Dur menjawab bahwa Yusril lebih tepat menjadi menteri kehakiman.

Mahfud pun akhirnya mencoba menawar lagi.

"Kalau Yusril menteri kehakiman, saya jadi menteri muda urusan HAM saja, tidak apa-apa, toh sekarang ini saya adalah staf ahli menteri negara urusan HAM," kata Mahfud.

Namun, lagi-lagi Gus Dur menolak penawaran Mahfud.

"Ah, Kementerian HAM akan ditiadakan, disatukan dengan Departemen Kehakiman," kata Gus Dur.

Alwi Shihab yang saat itu mendampingi Gus Dur, sampai mencolek paha Mahfud sebagai isyarat agar ia tak bisa lagi menawar.

Akhirnya, Mahfud pun menerima tawaran Gus Dur.

"Kalau begitu, baiklah. Bismillah," ucap Mahfud.

Hampir mundur

Sejak awal, Mahfud sudah menduga penunjukan dirinya sebagai Menhan akan mengundang kritik keras.

Sebab, ia tidak mempunyai basis partai politik dan bukan pula pakar yang dikenal publik.

Namun, reaksi yang muncul benar-benar di luar dugaan Mahfud.

"Tidak sedikit yang mengecam Gus Dur dan melecehkan saya," kata Mahfud.

Salah satu komentar yang cukup keras, kata Mahfud, datang dari Amien Rais.

Amien menilai Mahfud MD adalah orang yang tidak mengerti masalah pertahanan.

Kalaulah mau diangkat menteri, Amien menilai bahwa Mahfud lebih pas sebagai menteri kehakiman.

Mahfud merasa keraguan Amien atas dirinya adalah hal yang wajar.

Sebab, Mahfud juga sempat mengalami keraguan yang sama terhadap dirinya saat pertama kali diberitahu Gus Dur mengenai jabatan menteri pertahanan.

Keraguan pun kembali menyelimuti hati Mahfud.

"Setelah mengikuti pemberitaan media massa, esoknya, saya menjadi ragu dan agak gamang. Ada sedikit penyesalan saya menerima jabatan itu," kata Mahfud.

Mahfud pun berpikir untuk meminta pembatalan pengangkatan kepada Gus Dur.

Ada dua alasan yang hendak ia kemukakan.

Pertama, agar kabinet benar-benar diisi oleh orang yang tepat.

Kedua, agar Gus Dur tak dihantam oleh kritik dari segala penjuru.

Jumat pagi, 24 Agustus 2000, Mahfud pun mengundang sejumlah rekan yang biasa memberinya saran dan masukan.

Pembicaraan Mahfud dengan para rekannya mendadak berhenti karena telepon genggam Mahfud yang berdering.

Telepon itu rupanya datang dari Gus Dur.

"Begini ya, Pak Mahfud. Antum jangan ragu, jangan berpikir untuk mundur. Kecaman dan kritik itu biasa dalam politik dan hanya akan berlangsung sebentar, kok," kata Gus Dur.

"Nanti Antum kalau sudah bekerja akan mendapat pujian. Pokoknya saya percaya Antum, dan semuanya saya yang tanggung jawab," kata mantan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama itu.

Mahfud agak heran karena Gus Dur seperti tahu persis bahwa ia sedang resah dan tengah berpikir untuk meminta pembatalan pengangkatan.

"Baik, Bapak Presiden, nanti siang saya berangkat ke Jakarta untuk pelantikan besok pagi. Saya sudah ditelepon oleh Sesneg," ucap Mahfud.

Akhirnya, pada 25 Agustus 2000, Mahfud MD resmi dilantik sebagai menteri pertahanan.

Di era pemerintahan Gus Dur, Mahfud MD menjadi salah satu kepercayaan cucu dari pendiri NU, Hasyim Asy'ari itu.

Meski Gus Dur dikenal sebagai presiden yang kerap merombak kabinet, namun Mahfud kerap bertahan.

Akan tetapi, Mahfud sempat mengalami perombakan.

Ketika itu, Mahfud tidak dicopot dari jabatan sebagai menteri pertahanan, tetapi digeser sebagai menteri hukum dan perundang-undangan.

Megawati pernah minta jadi cawapres ke Jokowi

Megawati Soekarnoputri, yang merupakan Ketua Umum PDIP memberikan sebuah pengakuan terkait proses penjaringan cawapres beberapa waktu lalu.

Mantan presiden RI itu sempat bercanda dan meminta agar Jokowi memilih dirinya sebagai cawapres (calon wakil presiden).

Hal itu diungkapkan Megawati saat membuka Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) PDI-P di Kantor DPP PDI-P, Diponegoro, Jakarta, Sabtu (1/9/2018).

Dilansir dari Kompas.com, Megawati mengatakan, awalnya ia sempat merasa lucu karena kedua rekannya di Badan Ideologi Pembinaan Pancasila (BPIP) masuk kedalam bursa cawapres Jokowi.

Keduanya yakni Mahfud MD dan Ma'ruf Amin, yang sama-sama menjabat sebagai anggota dewan pengarah BPIP.

"Jadi ketika ada cerita soal katanya Pak Ma'ruf dan Pak Mahfud, sepertinya saya ingin ketawa-ketawa saja. Aduh sahabat-sahabat saya masuk nominasi," kata Megawati yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP.

Megawati pun berseloroh ke Presiden Jokowi agar ia juga bisa masuk nominasi cawapres.

"Saya bilang ke Pak Jokowi, yang ganteng-ganteng pada masuk nominasi, saya juga masuk nominasi boleh apa enggak?" kata Megawati menceritakan ulang percakapannya dengan Jokowi.

Menurut Megawati, Jokowi saat itu langsung kaget mendengar permintaannya itu.

Jokowi tidak percaya Megawati yang pernah menjabat sebagai presiden RI mau menjadi cawapresnya.

"Pak Jokowi kaget, dan bilang ibu gitu kan," kata Megawati menirukan perkataan Jokowi.

"Emang enggak boleh Pak Jokowi?" Terus Pak Jokowi bilang, 'Ini benar atau tidak'," cerita Megawati yang langsung disambut tawa para kader PDI-P yang hadir.

Pada akhirnya, Jokowi memilih Ma'ruf Amin.

Megawati mengatakan, siapapun cawapres yang dipilih, yang terpenting adalah dia mampu menjadi satu kesatuan dengan Presiden Jokowi pada Pilpres 2019.

Artikel ini telah tayang di Tribunjatim.com dengan judul Megawati dan Mahfud MD Pernah Minta Jabatan ke Presiden, Ada yang Ditolak dan Disuruh Belajar ke SBY, http://jatim.tribunnews.com/2018/09/03/megawati-dan-mahfud-md-pernah-minta-jabatan-ke-presiden-ada-yang-ditolak-dan-disuruh-belajar-ke-sby?page=all.
Penulis: Januar Adi Sagita
Editor: Dwi Prastika

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved