Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Sedang Salat Tiba-tiba Terjadi Gempa, Tetap Lanjut atau Batalkan? Ini Penjelasan Lengkap Para Ulama

Sedang Salat Tiba-tiba Terjadi Gempa, Tetap Lanjut atau Batalkan? Ini Penjelasan Lengkap Para Ulama

Editor: Sakinah Sudin
Ilustrasi salat berjamaah. 

TRIBUN-TIMUR.COM -  Sedang Salat Tiba-tiba Terjadi Gempa, Tetap Lanjut atau Batalkan? Ini Penjelasan Lengkap Para Ulama

Sebuah video yang memperlihatkan seorang imam tetap melanjutkan salat menjadi perbincangan publik di dunia maya.

Banyak yang memuji sang imam yang tak meninggalkan salatnya.

Baca: Video Viral - Terjadi Gempa, Jemaah Berlarian, Imam Tetap Lanjutkan Salat Meski Tubuhnya Terguncang

Baca: sscn.bkn.go.id - CPNS 2018 Akhirnya Siap, Alur Pendaftaran Lebih Singkat, Ketahui 10 Hal Penting Ini

Baca: Gempa Lombok - Maia Estianty Panik saat Rasakan 2 Kali Getaran di Bali, Ini yang Dilakukannya

Namun ada pula yang mengatakan apa yang dilakukan sang imam bisa membahayakan dirinya.

Hal inipun menjadi perdebatan.

Publik di jagat maya berdebat soal boleh tidaknya membatalkan salat wajib saat terjadi gempa.

Baca: Maju Maccaleg, Kasubag Kominfo Soppeng Pilih Mundur Jadi ASN

Baca: INNALILLAH! Foto Namira Ramadhani Calon Bidan Meninggal karena Kebakaran Tinumbu

Lantas, mana yang harus dipilih, lanjut atau membatalkannya?

Berikut penjelasan lengkap Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com), dilansir tribun-timur.com dari konsultasisyariah.com, yang menjawab salah satu pertanyaan netizen.

Pertanyaan:

Di medsos ada perdebatan, boleh tidaknya membatalkan sholat wajib ketika ada gempa.

Mohon penjelasannya ustadz. Jawaban lengkapnya, mohon bisa ditampilkan di konsultasisyariah.com…Agar faedahnya bisa lebih meluas.

Jawab:

Bismillah was salatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Terdapat kaidah umum yang disampaikan para ulama fiqh. Kaidah itu menyatakan,

                                                                                         دَرْءُ المَفَاسِد أَولَى مِن جَلبِ المَصَالِح

Menghindari mafsadah (potensi bahaya) lebih didahulukan dari pada mengambil maslahat (kebaikan).

Dalam banyak literatur yang membahas qawaid fiqh, kaidah ini sering disebutkan.

Diantara dalil yang mendukung kaidah ini adalah firman Allah,

                                                              ولا تَسُبُوا الَّذِينَ يَدْعُونَ من دوُنِ اللهِ فَيَسُبُّوا اللهَ عَدْواً بِغَيْرِ عِلْمٍ

Janganlah kamu memaki tuhan-tuhan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa ilmu.” (QS. al-An’am: 108)

Syaikh Dr. Muhammad Shidqi al-Burnu menjelaskan kandungan makna ayat ini,

ففي سب آلهة الكفار مصلحة وهي تحقير دينهم وإهانتهم لشركهم بالله سبحانه، ولكن لما تضمن ذلك مفسدة وهي مقابلتهم السب بسب الله عز وجل نهى الله سبحانه وتعالى عن سبهم درءاً لهذه المفسدة.

Memaki tuhan orang kafir ada maslahatnya, yaitu merendahkan agama mereka dan tindakan kesyirikan mereka kepada Allah – Ta’ala –. Namun ketika perbuatan ini menyebabkan potensi bahaya, yaitu mereka membalas makian, dengan menghina Allah, maka Allah melarang memaki tuhan mereka, sebagai bentuk untuk menghindari potensi bahaya. (al-Wajiz fi Idhah Qawaid Fiqh, hlm. 265).

Karena pertimbangan inilah, pelaksaan kewajiban yang sifatnya muwassa’ (waktunya longgar), harus ditunda untuk melakukan kewajiban yang waktunya terbatas.

salat wajib termasuk wajib muwassa’ (waktunya longgar).

salat isya rentang waktunya sejak hilangnya awan merah di ufuk barat, hingga tengah malam.

Sehingga, kalaupun seseorang tidak bisa menyelesaikan di awal malam, dia bisa tunda di waktu setelahnya.

Sementara menyelamatkan nyawa juga kewajiban. Karena secara sengaja berdiam di tempat yang berbahaya, hukumnya haram.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

                                                                                  لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain.” (HR. Imam Ahmad 2863, Ibnu Mâjah 2341 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth)

Ketika terjadi gempa, sementara posisi kita sedang salat, di sana terjadi pertentangan antara maslahat dengan mafsadah.

Mempertahankan salat, itu maslahat, sehingga jemaah bisa segera menyelesaikan kewajibannya.

Namun di sana ada potensi bahaya, karena jika bangunan itu roboh, bisa mengancam nyawa jemaah.

Baca: 107 Atlet Jeneponto Ikut Porda Sulsel di Pinrang, Butuh Anggaran Rp 1,6 Miliar

Baca: Daftar Pemilih Sementara Lutra untuk Pemilu 2019 Naik 5.871 Jiwa Dibanding saat Pilgub Sulsel

Mana yang harus didahulukan?

Kaidah di atas memberikan jawaban, menghindari potensi bahaya lebih didahulukan, dari pada mempertahankan maslahat.

Apalagi salat termasuk kewajiban yang waktunya longgar.

Baca: AHM Best Student 2018 Lahirkan Wirausaha Milenial

Baca: KDI 2018 - Janwar Kristhy Wakil Sinjai Bakal Tampil Kamis Ini

Wajib Menyelamatkan Nyawa dengan Membatalkan salat

Karena itulah, para ulama menegaskan wajib mendahulukan penyelamatan nyawa, dari para salat wajib.

Kita simak keterangan mereka,

[1] Keterangan Hasan bin Ammar al-Mishri – ulama Hanafiyah –

فيما يوجب قطع الصلاة وما يجيزه وغير ذلك… يجب قطع الصلاة باستغاثة ملهوف بالمصلي

Penjelasan tentang apa saja yang mewajibkan orang untuk membatalkan salat dan apa yang membolehkannya… wajib membatalkan salat ketika ada orang dalam kondisi darurat meminta pertolongan kepada orang yang salat… (Nurul Idhah wa Najat al-Arwah, hlm. 75)

[2] Keterangan al-Izz bin Abdus Salam – ulama Syafi’iyah – wafat 660 H.

Dalam kitabnya Qawaid al-Ahkam, beliau menjelaskan,

تَقْدِيمُ إنْقَاذِ الْغَرْقَى الْمَعْصُومِينَ عَلَى أَدَاءِ الصَّلَوَاتِ، لِأَنَّ إنْقَاذَ الْغَرْقَى الْمَعْصُومِينَ عِنْدَ اللَّهِ أَفْضَلُ مِنْ أَدَاءِ الصَّلَاةِ، وَالْجَمْعُ بَيْنَ الْمَصْلَحَتَيْنِ مُمْكِنٌ بِأَنْ يُنْقِذَ الْغَرِيقَ ثُمَّ يَقْضِي الصَّلَاةَ…

Harus mendahulukan upaya penyelamatan orang yang tenggelam, dari pada pelaksanaan salat.

Karena menyelamatkan nyawa orang yang tenggelam, lebih afdhal di sisi Allah dibandingkan melaksanaan salat.

Di samping menggabungkan kedua maslahat ini sangat mungkin, yaitu orang yang tenggelam diselamatkan dulu, kemudian salatnya diqadha. (Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 1/66).

Beliau berbicara tentang penyelamatan nyawa orang lain. dia didahulukan dibandingkan pelaksanaan salat wajib.

Tentu saja, menyelamatkan diri sendiri harus didahulukan dibandingkan salat.

[3] Keterangan al-Buhuti – ulama hambali – (wafat 1051 H),

ويجب إنقاذ غريق ونحوه كحريق فيقطع الصلاة لذلك فرضاً كانت أو نفلاً، وظاهره ولو ضاق وقتها لأنه يمكن تداركها بالقضاء بخلاف الغريق ونحوه، فإن أبى قطعها لإنقاذ الغريق ونحوه أثم وصحت صلاته

Wajib menyelamatkan orang tenggelam atau korban kebakaran, sehingga harus membatalkan salat, baik salat wajib maupun sunah.

Dan yang kami pahami, aturan ini berlaku meskipun waktunya pendek. Karena salat tetap bisa dilakukan dengan cara qadha, berbeda dengan menolong orang tenggelam atau semacamnya.

Jika dia tidak mau membatalkan salatnya untuk menyelamatkan orang yang tenggelam atau korban lainnya, maka dia berdosa meskipun salatnya sah. (Kasyaf al-Qi’na, 1/380).

Karena itulah, bagi mereka yang sedang salat jemaah, kemudian terjadi gempa, sikap yang tepat bukan bertahan salat namun segera dibatalkan.

Karena ini potensi bahaya yang seharusnya dihindari.

Terlebih, salat bisa ditunda setelah situasi memungkinkan.

Demikian, Allahu a’lam." (konsultasisyariah.com)

(tribun-timur.com/ Sakinah Sudin)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved