CITIZEN REPORTER
Berkunjung ke Kampung Korea di Tanah Sulawesi
Di tempat les, kami dikejutkan oleh anak-anak seumuran SD yang sangat fasih menulis dengan aksara Hangeul Korea Selatan
Penulis: CitizenReporter | Editor: Anita Kusuma Wardana
Dalam kunjungan kami, kami berkesempatan melihat proses bejalar mengajar di beberapa tempat les ini. Sebenarnya kami juga berniat pergi ke sekolahnya untuk melihat lansung pembelajaran bahasa korea, tetapi apalah daya ternyata ketika kami datang, mereka sedang ujian dan belum bisa untuk ditemui.
Di tempat les, kami dikejutkan oleh anak-anak seumuran SD yang sangat fasih menulis dengan aksara Hangeul Korea Selatan, termauk menyanyikan lagu korea. Pada kesempatan itu, mereka menyanyi dengan judul “Geum se mari”, bagi penggemar Korea, tentu tahu dong dengan lagu ini.
Selain mampu menuliskan bahasa lokalnya menjadi huruf Hangeul, mereka juga bisa berbahasa Korea sedikit-sedikit, bahkan fasih memperkenalkan diri memakai bahasa Korea.

Hubungan Suku Cia-cia dan Korea
Sekilas dari sejarahnya, mengapa suku Cia-cia ini mengadopsi huruf Hangeul Korea, hal ini dimulai pada tahun 2009. Sebelumnya, aksara yang mereka pakai adalah arab gundul, tetapi dalam penggunaannya, terdapat ketidakselarasan yang menimbulkan kebingungan bagi penutur bahasa Cia-cia itu sendiri.
Setelah adanya penelitian yang diteliti dari korea (2006), dari hasil studi linguistik, bahasa Cia-cia memiliki kemiripan dengan bahasa korea dalam beberapa “fonem”.
Hasilnya, ia menyimpulkan bahwa agar bahasa Cia-cia tetap eksis dan terjaga, perlu adanya huruf tersendiri dan diusulkanlah menggunakan aksara hangeul.
Tepatnya pada 21 juli 2009, atas kesepakatan pemerintah kota Baubau dengan lembaga riset Korea, huruf Hangeul resmi digunakan sebagai tulisan dari bahasa Cia-cia. Meski, tidak semua warga Cia-cia bisa menuliskan bahsanya dalam bentuk tulisan, apalagi huruf hangeul, namun perlahan tulisan ini telah menyatu dengan suku Cia-cia.
Perancangan Blue Print dan Peningkatan Kesejahteraan Warga
Sejauh pengamatan kami, brand “Kampung Korea” yang dimiliki suku Cia-cia belum mampu memberikan efek peningkatan kesejahteraan yang signifikan bagi masyarakat suku Cia-cia sendiri.
Hal ini dibuktikan dengan kualitas hidup masyarakat Cia-cia yang masih di bawah rata-rata, serta banyaknya masyarakat Suku Cia-cia yang memilih merantau dibanding yang menetap.
Persoalam tersebut sebenarnya menjadi tantangan tersendiri bagi tim kami, yaitu Tim Cia-cia dari Universitas Hasanuddin yang beranggotakan saya sendiri Atikah (Mahasiswi Antropologi 2015), Ali Muhasan (Mahasiswa Akuntansi 2014), dan Muh. Taufik (Ilmu Ekonomi 2016) di bawah bimbingan Dr Aini Indrijawati SE MSi Ak CA.
Kami berupaya untuk merancang blue print pengembangan pariwisata Kampung Korea Suku Cia-Cia melalui Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian Sosial-Humaniora (PKM P-SH) 2018.
Melalui blue print ini, saya pun berharap ini dapat menjadi batu loncatan bagi Kampung Korea suku Cia-cia sehingga mampu memberikan implikasi yang lebih besar bagi peningkatan lapangan pekerjaan dan ekonomi daerah.
Saya dan tim pun berharap penelitian ini dapat menjadi sumbangsih ide dan solusi kreatif bagi pemerintah Kota Baubau maupun seluruh stake holder setempat untuk mampu mewujudkan Kampung Korea Suku Cia-cia sebagai Little Seoul sehingga dapat dikenal lebih luas oleh wisatawan domestik maupun mancanegara.
Satu hal yang penting, penggunaan tulisan Korea bagi suku Cia-cia di pulau Buton ini, tentunya semakin menambah keragaman budaya di Indonesia.
Dari catatan ini, saya berharap pembaca bisa terinspirasi, atau menyumbangkan ide untuk kami, sehingga bisa ikut membantu dalam membangun Indonesia menjadi lebih hebat dan lebih maju dari sekarang. Semangat Indonesia. (*)